Gerimis mengguyur Weda Tengah sejak subuh. Cahaya matahari bahkan masih terlihat susah payah menerobos gumpalan awan hitam yang ada diatas langit Desa Lelilef, Weda Tengah, Halmahera Tengah, Maluku Utara pada Sabtu 07 Oktober 2023. Pagi itu Nimodius Yusak 50 tahun sudah ingin bergegas ke hutan yang tak jauh dari desanya. Jaraknya tujuh kilometer arah timur. Ia ingin segera mungkin masuk hutan untuk melihat jerat rusa yang ia pasang tiga hari lalu. Ia tak ingin rusa yang terjerat lalu lepas.
Sesampainya di hutan. Nimo tak istirahat. Ia memeriksa empat jerat rusa yang dipasang di lokasi berbeda. Hasilnya, ia tak melihat seekor rusa pun terjerat. Wajahnya langsung lesu. Ia tak banyak bicara dan kembali memasang jerat rusa baru di lokasi yang sama.
“Lima belas tahun lalu banyak rusa di kawasan ini. Kalau kita pasang empat jerat pagi hari, besoknya kita bisa dapat. Tapi sekarang untuk bisa menjerat satu ekor saja susah sekali,” kata Nimo
Tepat pukul 12 siang, Nimo memilih untuk kembali pulang ke desa. Ia ingin segera sampai rumah untuk melanjutkan membuat anyaman tikar yang belum selesai dikerjakan. Nimo mengambil jalur berbeda saat pulang dan memilih melalui sebuah bukit dengan pemandangan pabrik smelter milik PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP). “Jarak ini lebih dekat ke desa,” kata Nimo.
Sesampainya di atas bukit, Nimo memilih untuk berhenti sejenak. Dari atas bukit ia menatap kawasan pabrik milik PT IWIP dengan tatapan kosong. Tak ada suara yang keluar dari mulutnya saat deru mesin pabrik bergema. Ia hanya sesekali terlihat memotong pohon kecil di depannya dengan sebilah parang yang dipegang.
“Dulu di sana hutan lebat, kami berkebun tak jauh dari bukit itu,” kata Nimo kepada Barta1 sembari menunjukan lokasi perkebunan yang telah berubah menjadi kawasan pabrik Smelter.
Dua puluh tahun lalu, kawasan tersebut merupakan bukit yang dipenuhi dengan pepohonan dengan diameter 100 centimeters. Hamparan ladang pala, cengkeh dan kelapa menyebar dari batas kaki bukit hingga pesisir pantai. Jejeran pohon aren tumbuh liar di kawasan pabrik milik PT IWIP itu. Ada hutan mangrove di sebelah selatan. Tak sedikit warga desa saat itu mengambil rotan, kayu dan madu di kawasan hutan tersebut. Semua tersedia dan mudah ditemukan.
Nimo adalah salah satu masyarakat adat Sawai yang masih tinggal di wilayah sekitar Tanjung Ulie, Halmahera Tengah. Dulu Iia dan keluarganya sangat bergantung hidup dari hasil hutan dan perkebunan pala, cengkeh dan kelapa yang berada empat kilometer dari desa. Kini Iia mengaku sudah tidak lagi berkebun sejak nikel di hutan ditambang.
Aktivitasnya berhenti saat lahan mereka berubah menjadi kawasan pabrik smelter Industri baterai mobil listrik. Lebih satu dasawarsa, Iia sudah tak lagi pernah mencari rotan dan pohon ulin di hutan. Biasanya, sebelum tambang nikel hadir, saban akhir pekan Nimo mengajak keluarganya masuk hutan untuk berburu rusa dan mencari rotan untuk dipakai membuat tikar.
“Sekarang kalau masuk hutan lebih jauh sudah dilarang. Biasanya petugas keamanan perusahaan sudah jaga di jalan masuk. Tidak lagi bebas kayak dulu,” ungkap Niko
Masyarakat adat Sawai – merupakan salah satu suku di Halmahera Tengah, Maluku Utara yang mendiami pesisir Weda bagian Timur, seperti di Desa Kobe Gunung, Kobe Peplis, Lelilef Wo’e Bulan, Lelilef Sawai, Gemaf, Sagea, Yeke, Sepo, Wale, Mesa dan Dote. Populasi suku ini diperkirakan tidak lebih dari 7 ribu orang. Mayoritas hidup mereka bekerja sebagai petani dan nelayan. Hasil hutan dan perkebunan kelapa, cengkeh dan pala menjadi andalan hidup mereka.
Pemukiman suku ini sangatlah sederhana. Rumahnya rata-rata terbuat dari papan kayu dan beratap anyaman daun sagu. Dalam keseharian mereka berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Melayu Maluku Utara yang merupakan ragam bahasa yang dibawa oleh orang-orang dari Kesultanan Ternate pada masa lalu.
Saat ini ada tiga komunitas adat Sawai yang masih berada di dalam konsesi tambang milik Weda Bay Nikel. Komunitas adat ini adalah Sawai Lelilef Woebulen, Lelilef Sawai dan Sawai Gemaf. Jumlahnya kurang lebih mencapai 800 kepala keluarga.
Di Halmahera Tengah, Weda Bay Nickel diketahui memiliki wilayah konsesi tambang mencapai 54 ribu hektar hektar. Wilayahnya mencangkup kawasan hutan dan perkampungan masyarakat adat Sawai di Desa Gemaf, Desa Lelilef Sawai dan Desa Lelilef Woebulen.
Weda Bay Nikel sendiri merupakan pemegang Kontrak Karya Generasi Ketujuh (KK) berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No.B.53/PRES/ 1/1998 tanggal 19 Januari 1998 kegiatan pertambangan dan pengolahan bijih nikel dengan luas semula 120 ribu hektar dan setelah melalui penciutan terakhir menjadi 54 ribu hektar.
Masril (38 tahun), salah satu pemuda Sawai mengatakan, sebelum ada tambang nikel, hutan yang berada tak jauh dari Desa Lelilef, Kobe dan Gemaf dikenal merupakan sumber kehidupan masyarakat Sawai. Mayoritas dari mereka berburu komoditas seperti rotan dan madu di Kawasan hutan tersebut.
Namun kini, kawasan hutan di beberapa desa di wilayah Weda Tengah sudah mulai menyusut. Hutan primer sudah dikonversi menjadi lokasi pertambangan nikel. Bukit-bukit dan mangrove yang tak jauh dari desa sudah habis dibabat dan telah diubah menjadi kawasan pabrik smelter. Kebun kelapa, pala dan cengkih milik masyarakat Sawai tak ada lagi.
“Dulu di kawasan ini dikenal sebagai penghasil pala. Sekarang dikenal sebagai lokasi tambang nikel,” ujar Masril.
Secara historis, masyarakat Sawai secara turun-temurun sudah mendiami wilayah Tanjung Ulie yang saat ini menjadi lokasi pertambangan nikel. Sebagian dari mereka saat itu banyak menggarap lahan pertanian yang kini telah berubah menjadi kawasan pabrik smelter dan industri baterai mobil listrik. Ladang dan hutan di kawasan itu bagi masyarakat sawai bahkan sudah menjadi rumah kedua. Setiap akhir pekan, tak sedikit dari mereka yang menghabiskan waktu tinggal ladang.
“Tapi untuk saat ini masyarakat Sawai lebih memilih diam di desa,” ungkap Masril.
Menurut Masril, pada tahun 2013 masyarakat adat sSawai sempat menyampaikan bentuk protes terhadap investasi pertambangan yang merusak hutan dan ladang dengan memasang plang di wilayah adat. Tulisan dalam plang itu mereka ingin menyampaikan pada pihak luar bahwa ada pemilik wilayah Aadat yang harus dihormati.
“Hasilnya aksi mereka tidak didengar. Investasi tetap jalan. Ladang mereka tetap hilang,” ujar Masril.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, hingga 2023 lahan perkebunan di wilayah Weda Tengah, Halmahera Tengah tinggal menyisakan 143 hektar dari sebelumnya 523 hektar di tahun 2013. Lahan perkebunan tersebut rata-rata didominasi perkebunan kelapa dan pala.
Sementara untuk kawasan hutan di Halmahera Tengah, hingga 2022 tinggal menyisakan 181 ribu hektar yang terdiri dari dari hutan lindung 33 ribu hektar, suaka Aalam dan Ppelestarian Aalam 16 ribu hektar, hutan produksi terbatas 63 ribu hektar, hutan produksi tetap 25 ribu hektar dan hutan produksi konversi 42 ribu hektar.
Data Global Forest Watch mencatat hingga 2022, daerah ini sudah kehilangan 823 hektar hutan primer atau setara dengan setara dengan 823 luas lapangan sepak bola. Halmahera Tengah juga kehilangan tutupan pohon seluas 121 ribu hektar. Padahal kawasan hutan di Halmahera Tengah rata-rata merupakan hutan alami yang sering menjadi ruang hidup satwa endemik seperti burung kakatua putih (Cacatua alba), bidadari halmahera (Semioptera wallacii) dan Nuri halmahera.
Munadi Kilkoda, aktivis masyarakat adat Halmahera Tengah mengatakan, hingga 2022, ada ratusan hektar hutan dan ladang yang menjadi sumber kehidupan masyarakat sSawai di Halmahera Tengah telah hilang dan berubah menjadi lokasi pabrik dan tambang nikel. Izin konsesi milik Weda Bay Nikel berdasarkan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) bahkan telah merampas tanah 154 Kepala Keluarga Suku Sawai yang berada di dekat wilayah pertambangan.
Tambang juga tumpang tindih dengan hHutan lLindung Ake Kobe seluas 35 ribu hektar, hutan produksi terbatas 20 ribu hektar, hutan produksi tetap 8.886 hektar, dan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) seluas 8 ribu hektar. “Akibatnya, tak sedikit orang Sawai yang kehilangan akses pada lahan dan hutan,” ujar Munadi.
Hasil penyampaian laporan (inkuri) Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mencatat, setidaknya lima komunitas masyarakat yang terpaksa kehilangan mata pencaharian akibat meningkatnya aktivitas pertambangan nikel di Halmahera Tengah. Tiga komunitas masyarakat ini berada langsung di wilayah konsesi tambang seperti masyarakat Lelilef Woebulen, Lelilef Sawai dan Gemaf. Masing-masing desa ini dihuni sekitar 300 kepala keluarga.
Adlun Fiqri, aktivis masyarakat adat asal Maluku Utara ini menilai desa-desa yang berdekatan langsung dengan lokasi tambang merupakan lingkaran utama yang akan terkena dampak lingkungan pertama kalinya dari aktivitas pertambangan. Masyarakat desa seperti Lelilef Sawai, Lelilef Woebulen dan Gemaf serta Sagea diyakini tidak akan lagi memiliki akses terhadap lahan perkebunan dan hutan. “Mereka akan sulit beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi, termasuk beradaptasi karena tak lagi memiliki lahan perkebunan,” kata Adlun.
Menurut Adlun, perusahaan tambang di Halmahera Tengah rata-rata tidak memenuhi Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) terutama dalam menjamin hak-hal yang dimiliki masyarakat adat atau lokal untuk memberikan atau tidak memberikan persetujuan atas setiap proyek yang berpotensi menimbulkan dampak terhadap lahan, mata pencaharian, dan lingkungan. Kebanyakan perusahaan tambang di Halmahera diragukan komitmennya.
“Seharusnya kawasan hutan dan lahan perkebunan yang menjadikan wilayah adat tidak dijadikan sebagai lokasi tambang yang memungkinkan hilangnya hak komunitas masyarakat adat. Ini justru tidak,”ungkap Adlun.
Ikram M Sangadji, pejabat Bupati Halmahera Tengah mengungkapkan, Pemerintah Daerah akan memastikan investasi yang hadir tidak mengabaikan hak-hak masyarakat lokal termasuk akses terhadap sumber kehidupannya. Pemerintah Daerah juga akan selalu mengawasi permasalah dan dampak yang muncul dari investasi di Halmahera Tengah termasuk mendorong perusahaan tambang untuk memberikan program Corporate Social Responsibility (CSR) yang berbasis pada kebutuhan masyarakat lokal dan adat serta mengedepankan peningkatan kapasitas masyarakat secara transparan.
“Itu sudah kami lakukan. Komitmen kami adalah bekerja untuk masyarakat. Kami akan terus menyusun pembangunan untuk kepentingan masyarakat termasuk memastikan investasi yang masuk di daerah ini,” ujar Ikram yang ditemui Barta1 pada awal November 2023.
Sementara PT Indonesia Weda Bay Industrial Park mengaku dalam melaksanakan tanggung jawab sosialnya, IWIP berpedoman kepada prinsip pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs) yang mengacu pada 4 (empat) pilar utama, yaitu pendidikan, kesehatan, pengembangan ekonomi masyarakat lokal, sosial budaya dan lingkungan.
Keempat program tersebut dijalankan sebagai kelanjutan dari program yang sama di tahun sebelumnya. Dukungan bagi upaya peningkatan pendapatan ekonomi masyarakat desa di Kabupaten Halmahera Tengah dan Halmahera Timur adalah beberapa kegiatan yang didukung Perusahaan.
BUDI NURGIANTO I NURCHOLIS
Artikel ini diproduksi atas dukungan Internews dan Earth Journalism Network
Discussion about this post