Manado, Barta1.com – Kembang api indah dipandang oleh mata, apalagi melihat ledakannya yang penuh dengan cahaya warna-warni di udara. Hal itu bisa dilihat pada perayaan hari-hari besar, seperti perpisahan tahun. Namun, dari sisi keindahannya itu rupanya memiliki dampak yang buruk bagi lingkungan dan kesehatan.
Secara definisi, kembang api merupakan hasil piroteknik kecil yang meledak dengan cara yang sangat spesifik, yang kemudian menghasilkan bunyi ledakan kencang bersama dengan ketupan warna-warna cerah di udara.
Warna-warna yang dihasilkan oleh kembang api merupakan hasil dari reaksi fisika dan kimiawi, karena warna-warna tersebut berasal dari garam logam padat serta bahan-bahan peledak yang akan menghasilkan warna saat dipanaskan pada suhu tertentu.
Melansir waste4change.com, ada beberapa komponen logam yang berbeda memberikan warna yang berbeda pula, misalnya, garam litium (Li) menghasilkan warna merah muda/pink, garam sodium (Na) digunakan untuk menciptakan warna jingga atau kuning, sedangkan logam tembaga (Cu) dan Barium (Ba) untuk penghasil warna hijau atau biru, dan kalsium (Ca) atau Strontium (Sr) untuk warna merah.
Logam dan bahan peledak yang terkandung dalam kembang api mengalami perubahan kimiawi ketika digabungkan dengan oksigen (Pembakaran). Reaksi kimia ini kemudian melepas gas rumah kaca, seperti karbon dioksida, karbon monoksida, serta nitrogen.
Tidak hanya itu, sampah komponen-komponen logam yang menjadi sumber warna – warni dari kembang api tidak akan terbakar habis di udara. Partikel logamnya masih ada, bahkan berubah menjadi partikel aersol yang bisa mencemari linkungan mulai dari udara, air, dan tanah.
Kemudian ketika partikel logam itu terhirup atau terencana, logam tersebut dapat mengakibatkan reaksi jangka pendek maupun panjang, mulai dari munta-munta, diare, serangan asma, sampai penyakit yang lebih parah seperti ginjal, kardiotoksik, serta beberapa jenis kanker.
Hubungan antara Kembang Api dan Polusi Udara
Kembang api akan berpengaruh secara langsung terhadap kualitas udara di sekitarnya, dan hal ini dapat dibuktikan dengan membandingkan kualitas udara sebelum dan sesudah kembang api dinyalakan dengan menggunakan sistem bernama Air Quality Index. Sistem tersebut pada dasarnya memoitor dan mengukur konsentrasi polutan di udara.
Penelitian tersebut mengungkapkan adanya peningkatan gas oksida nitrat (NOx) dan sulfur dioksida (SO2), yang notabene merupakan penyebab utama hujan asam dan juga gas rumah kaca.
Selain itu, penelitian tersebut juga menemukan adanya peningkatan konsentrasi PM dan juga mendeteksi sisa konsentrasi logam berat seperti strontium (Sr), magnesium (Mg), potassium (K), barium (Ba), dan timbal (Pb).
Dampaknya Terhadap Kesehatan Manusia
Sebuah penelitian di tahun 2010 memantau konsentrasi polutan di udara seperti SPM (suspended particulate matter), PM10, PM2.5, SO2 dan NO2 selama 6 hari berturut-turut selama perayaan Diwali di Salkia, sebuah area pemukiman padat penduduk di dekat Kalkuta, India.
Penelitian tersebut juga menggunakan data epidemiologis untuk memperkirakan resiko kesehatan dari polusi yang dihasilkan kembang api, dan hasilnya adalah resiko relatif kematian kardiovaskular meningkat menjadi 125.11%, sedangkan resiko relatif untuk morbiditas kardiovaskular meningkat menjadi 175.16% dalam satu hari biasa saat musim dingin.
Selain itu, jumlah pasien yang dilarikan ke rumah sakit akibat asma dan permasalahan pernafasan lainnya juga meningkat pesat sehari setelah acara kembang api berlangsung.
Hal yang serupa juga ditemukan di perayaan Diwali di tahun 2015, dimana ada peningkatan jumlah orang yang dirawat di rumah sakit akibat gejala penyakit pernafasan dalam kurun waktu pelaksanaan kembang api dibandingkan saat tidak.
Aktivis Lingkungan Sulut, Ing Samiadji, ketika diwawancarai Barta1.com, Minggu (31/12/2023), secara blak-blakan mengakatan walau ini menjadi kebiasaan akhir tahun, namun sangat merusak lingkungan. Apalagi tingkat polusi racun dari setiap kembang api, bisa mengancam beberapa jenis satwa seperti burung.
“Selain burung, guk-guk (Anjing) dan kucing pasti akan panik. Langit akan dipenuhi dengan polutan yang berbahaya bagi kesehatan. Walaupun, tidak langsung mati manusiannya. Berikutnya berkaitan dengan sampah. Daripada membeli kembang api yang begitu mahal, lebih berguna membeli cabai untuk kebutuhan tahun baru,” terangnya.
Lanjut Ing, tahun 2022 Presiden Indonesia Fuel Cell and Hydrogen Energy, Prof. Eniya Listiani Dewi, pernah mengatakan bahwa semua negara di dunia harus bersatu dalam melakukan upaya maksimal untuk membangun masyarakat rendah karbon dengan mengurangi emisi global hingga separuh dari tingkat saat ini pada tahun 2050. Masyarakat dan industri diharapkan secara proaktif mengambil tindakan untuk berkontribusi pada terciptanya masyarakat rendah karbon menuju Indonesia bebas emisi karbon di tahun 2060. (*)
Peliput: Meikel Pontolondo
Discussion about this post