Jakarta,Barta1.com– Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia belum lama ini meluncurkan buku berjudul refleksi pandemi dan bahaya zoonosis, Bakoel Koffie, Kecamatan Menteng, Kota Jakarta Pusat, Rabu (22/11/2023). Buku tersebut merupakan kumpulan liputan mendalam dari 10 jurnalis, yang berasal dari Sulawesi Utara dan Jabotabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi). 10 jurnalis itu dibimbing langsung oleh dua mentor, yakni Sinta Maharani Jurnalis Tempo.co, dan Chris Paino Jurnalis Mongabay.co.id.
Pada peluncuran buku tersebut, diundang juga para penyangga, di antaranya tim kerja zoonosis P2PM (pencegahan dan pengendalian penyakit menular), Instansi pencegahan dan pemberantasan penyakit hewan, peneliti Indonesia dari Universitas Griffith Australia, Akademisi IPB University Bogor Indonesia, dan Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia.
Tim kerja zoonosis P2PM, dr Yulita Evarini Yuzwar, mengatakan zoonosis bukan sesuatu yang populer di mata masyarakat. Zoonosis merupakan penyakit menular dari hewan ke manusia bahkan sebaliknya. Selama ini banyak yang belum menyadari bahwa 60 persen dari penyakit menular itu berawal dari zoonosis.
“Bagaimana kita bisa mengenalkan kepada masyarakat terkait zoonosis ini, tentunya diperlukan pendekatan one health. Untuk itu, saya mau mengucapkan terimakasih kepada AJI dan beberapa adik-adik semua yang sudah mengangkat tema zoonosis ini. Jika kebanyakan masyarakat tidak tau tentang zoonosis, kiranya liputan-liputan ini bisa menciptakan pengetahuan dan kepedulian masyarakat tentang zoonosis,” ungkap Yulita.
Ia menambahkan bahwa pentingnya kolaborasi dengan jurnalis untuk sama-sama meningkatkan kepedulian kepada masyarakat.
“Kami dari sektor pemerintah berkaitan dengan one health ini sudah tidak ada kurang-kurangnya lagi yeah, nah, bagaimana dengan implementasi ke tingkat bawah, baik itu tingkatan puskesmas maupun puskeswan, di mana kami melakukan sosialisasi dan bimbingan teknis kepada teman-teman di daerah. Mudah-mudahan tulisan yang sudah dibuat oleh adik-adik ini bisa memberikan pengetahuan kepada masyarakat tentang zoonosis, apalagi pemberitaan ini dilakukan secara fakta dan berimbang,” ujar Yulita sembari menganggap bahwa jurnalis merupakan mitra dari pemerintah, yang bisa menyampaikan komunikasi resiko kepada masyarakat.
Tentunya, kata Yulita, membangun one health itu berkaitan dengan komunikasi, kolaborasi, dan koordinasi. “Kami sering berkoordinasi dengan teman-teman kementerian pertanian, KLHK (kementerian lingkungan hidup dan kehutanan) dan tentunya sampai kebawa. Bagaimana kita bisa mengawasi lalu lintas dari satwa liar ini, di mana kami melakukan koordinasi dengan teman-teman pertanian hingga tingkatan provinsi dan kabupaten/kota. Jika kami dari sektor kesehatan manusia, lebih memberikan penguatan kepada dinas kesehatan provinsi dan kabupaten/kota, serta puskesmas yang di mana kita bisa melakukan deteksi dini. Kemudian dari hulunya kan ada dari sektor kesehatan hewan dan kami ada di hilir. Dan kami akan terus membangun koordinasi dan kolaborasi, supaya mendapatkan informasi dari teman-teman dari sektor kesehatan hewan ini. Agar penyakit tidak merebak lebih luas, dan menekankan komunikasi tidak putus dari tingkatan pusat hingga kabupaten/kota,” jelasnya.
Siti Yulianti dari instansi pencegahan dan pemberantasan penyakit hewan membenarkan bahwa isu-isu zoonosis masih sangat minim, mungkin bagi para jurnalis masih sangat asing dengan kata-kata zoonosis.
“Instansi kami juga melakukan pengendalian terhadap penyakit zoonosis bersama dengan kementerian kesehatan, KLHK dan sektor lainnya. Berkaitan dengan checkpoint (pos pemeriksaan), sangat penting kolaborasi di tingkatan nasional. One health harus dilakukan dengan pendekatan antar sektor, apalagi ini berkaitan dengan hewan dan manusia. Jadi kita tidak bisa bekerja sendiri,” tuturnya.
Setiap jurnalis sudah menyampaikan kendala tentang peliputan isu zoonosis ini, sama halnya dengan apa yang dirasakan oleh instansi pencegahan dan pemberantasan penyakit hewan.
“Untuk koordinasi dengan kementerian pertanian, di mana instansi kami sebagai penampung media terkait kesehatan hewan. Di kami juga ada keterbatasan. Keterbatasannya bagaimana kesehatan hewan ini menjadi salah satu bagian yang utama. Sebenarnya urusan utama adalah ketahanan pangan, di level nasional keorganisasiannya cukup bagus, tapi di level paling bawah terutama di kabupaten/kota, di mana dinasnya bisa urus macam-macam, baik itu pertanian, perikanan dan kehutanan. Semua disatukan menjadi satu dinas, dan mungkin bagian kesehatan hewan hanya 2 orang saja, ini menjadi salah satu kendala di lapangan,” ucapnya.
Menurut Siti, saat ini juga terjadi keterbatasan di lokasi pos perbatasan, sementara jalur-jalur transporasi itu sangat banyak. Akan tetapi, ia berbangga dengan adanya pemberitaan-pemberitaan ini yang tentunya mendorong kesadaran masyarakat.
“Di sisi lain juga kirannya bisa mendorong pemerintah untuk melihat setiap kekurangan yang ada. Kita mengakui masih banyak kekurangan di dalam jumlah petugas, apalagi juga berkaitan dengan regulasi. Petugas melakukan pengawasan dan pemeriksaan kesehatan, berupa hewan domestik beserta dokumen-dokumennya, tetapi ketika ada sesuatu di luar tidak ada penamaan penindakan. Mungkin di situ kelemahannya,” ucapnya.
Dirinya juga mengharapkan bagaimana kemudian pemberitaan-pemberitaan ini mengedukasi lebih banyak kepada masyarakat, karena itu paling sulit sebenarnya. Sebagus apapun regulasinya, tapi perubahan masyarakat itu tidak ada, maka dari itu harus ada yang saling melengkapi.
“Berkaitan dengan pencegahan yang sudah dilakukan. Di Pelabuhan itu, ada badan karantina yang menangani lalu lintas antar pulau. Di situ dari SDM (sumber daya manusia) kami lebih banyak. Jika darat ini masih agak sulit, mengingat yang melakukan perdangangan lalu lintas itu perdagangan besar, melainkan juga ada perorangan yang menggunakan transportasi pribadi, sejauh ini, hal ini yang tidak bisa kami tangani,” sahutnya.
Sementara, dr. Diki Budiman,M.Sc.PH, merupakan salah satu peneliti Indonesia dari Universitas Griffith Australia, menyampaikan isu zoonosis merupakan hal yang menarik.
“Kita memiliki masalah tentang literasi. Permasalahan ini bukan hanya di Indonesia saja, melainkan di negara maju sekalipun. Menulis one health bukan hanya satu aspek saja. Bukan hanya manusianya, melainkan ada lingkungan dan aspek hewannya. Itu memang tidak mudah.” terangnya.
Menulis one health ini mau tidak mau sering kali berdampak dengan politik dan sosial, Jadi bukan ketika ada pemilihan presiden (Pilpres) saja. Pemilu saat ini faktanya sangat ilmiah, bisa mendukung bahkan menghambat.
“Dalam pemberitaan foto juga sangat berbicara, apalagi dalam konteks one health dan perubahan iklim. Foto bisa berbicara lebih dari tulisan anda, ketika orang melihatnya. Saat ini juga, kita memiliki pekerjaan rumah yaitu regulasi yang memihak kepada publik dan penyelesaian konflik of interest. Konflik of interest ini banyak dari kita, terutama pejabat publik perlu lebih banyak belajar,” sahutnya.
Ada pesan peting dalam pemberitaan ini, yakni LSM sebagai mitra penting, tetapi pada gilirannya apa yang dilakukan dan diinisiasi oleh LSM itu harus dilakukan oleh pemerintah, karena itu tanggungjawab utama ada pada pemerintah.
“Ada pertanyaan di sini dapatkah kita mencegah pandemi berikutnya. Tentunya, pada risert sejauh ini bahkan sepuluh sampai dua puluh tahun ke depan tidak bisa dicegah pandemi itu, tetapi yang bisa kita lakukan adalah memitigasi, termasuk kehadiran kita saat ini jangan dianggap enteng-enteng yeah. Karena ini bagian dari memitigasi atau meminimalisir,” tambahnya.
Kemudian manusia itu memiliki sifat pelupa, dan peran jurnalis itu mengingatkan termasuk kepada pejabat publik. Saat pandemi, isu kesehatan itu di halaman pertama, tetapi sekarang kembali lagi, mungkin halaman kedua terakhir.
“Oleh karena itu, jurnalis adalah pengingat. Yang harus dibangun saat ini bukan jurnalis berimbang, ini merupakan pandangan keilmuan saya yeah. Jurnalis yang berimbang saat ini mengarah pada informasi atau komunikasi-komunikasi yang merugikan. Seorang jurnalis seharusnya mengarah kepada jurnlis publik, di mana kita harus membangun wawasan untuk bisa membantu jurnalis dalam konteks one health, maka anda perlu memiliki ilmu one health itu,” imbuhnya.
Akademisi IPB University Bogor Indonesia, Dr. Drh. Ligaya ITA Tumbelaka, M.Sc, Sp.MP, mengungkapkan pembicaraan soal satwa merupakan hal yang menarik. “Bagaimana dengan kondisi saat ini kita bisa mengangkat hal-hal yang positif, yang artinya manusia bisa baik tanpa ada penyakitnya. Itu yang kita sangat inginkan.”
“Orang manado terkenal dengan pemakan segalanya, namun kadang-kadang saya berpikir kenapa mereka seperti itu. Tadi sudah ada yang menyingung soal ekonomi, kenapa tidak diangkat dari segi itu juga. Jangan hanya makananya saja. Kenapa itu ada, karena berkaitan dengan zoonosis. Liputan one health karena zoonosis, itu juga menakut-nakutin orang. Makan bisa mati loh, tetapi apakah itu betul. Tujuan kita kan mendidik sampai orang itu sadar berkaitan dengan resiko dan penyakitnya. Ini kan yang kita inginkan,” ucapnya.
Lanjut Ligaya, pemberitaan itu baik, tetapi beretika. Untuk itu, mari sama-sama membangun dan yang jelas setiap orang tidak mau terjangkit penyakit. Diangkat tentang zoonosis agar masyarakat Indonesia sadar, sejahtera dan bahagia. Teruslah menulis dan lebih banyak mempelajari pengetahuan tentang apa yang ditulis, mungkin kedepannya bisa lebih lancar dan baik.
Samadi dari Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia, mengakui dirinya dahulunya sebagai pegawai pemerintah di kementerian kehutanan. Dan sudah 20 tahun, ia mencoba untuk merevisi undang-undang nomor 5 tahun 1990, tapi sampai sekarang belum terwujudkan.
“Sejak tahun 2003 saya sudah mulai menginisiasi perubahan undang-undang nomor 5 tahun 1990. Permasalahan-permasalahan yang sudah disampaikan oleh teman-teman jurnalis itu sangat berkaitan dengan tidak efektifnya sebuah aturan, atau tidak efektifnya implementasi dari sebuah aturan. Mungkin kedua-duanya tidak efektif, berkaitan dengan tidak efektifnya sebuah atauran dan implementasinya. Mungkin sampai ketiganya yaitu efektif aturannya, tapi implementasinya kurang,” jelas Samadi.
Dirinya berpendapat undang-undang berkaitan dengan konservasi sudah tidak efektif. Dari sisi regulasi sudah sulit, karena dari tahun 1990. Apalagi saat ini banyak hal yang berubah, baik itu dari internasional bahkan nasional, dan juga untuk melaksanakan peraturan yang tidak efektif semakin sulit di lapangan.
“Seperti satwa dilindungi dan dipelihara orang, kemudian dihukum. tetapi, ketika seseorang menyerahkan secara sukarela tidak ada hukumannya. Ini kan bertolak belakang. Permasalahan ini yang akan kita revisi atau perbaiki. Kelemahan di undang-undang 1990 ini, karena kita hanya membagi spesies yang dilindungi dan tidak dilindungi. Tadi sudah disampaikan yang dilindungi ada aturan yang berkaitan dengan sanksi maksimum 5 tahun penjara, tapi kenyatannya tidak pernah ada yang dihukum maupun di denda 100 juta rupiah. Berkaitan dengan aturan ini sangat jelas ada, berkaitan dengan sanksi dan sebagainya, tapi ada spesies jauh lebih banyak jumlahnya namun tidak dilindungi dan sepertinya tidak ada aturan apapun,” ujar Samadi.
Misalnya, kata Samadi, hewan ini sudah akan punah, namun tidak ada aturan yang melindunginya. Ini merupakan sebuah permasalahan. “Banyak sekali spesies tidak dilindungi, tetapi sangat berpengaruh terhadap kesehatan manusia. contohnya monyet tidak dilindungi. Sebetulnya orang-orang bisa memelihara. Ada monyet-monyet yang dipakai sebagai topeng monyet dan sebagainya. Aturan atau undang-undang konservasi, tidak bisa menegakan hukum kepada pelaku yang menjalankan atraksi topeng monyet itu, makanya sekarang dari sisi etika dan kesejahteraan hewan itu dianggap tidak baik,” katanya.
Ia juga mengingatkan untuk berhati-hati dalam mendorong revisi undang-undang, namun dirinya tidak menginginkan adanya undang-undang yang buruk dari sisi tidak efektifnya di lapangan.
Febriana Galuh Permanasari dari AJI Indonesia pada sambutannya mengatakan, AJI telah melakukan pelatihan jurnalis muda dengan harapan para jurnlis lebih profesional dan memahamai bagaimana mengimplementasikan bahasa-bahasa peniliti yang sangat teknis, yang sulit dipahami, sehingga bisa dipahami oleh masyarakat pada umumnya.
“Untuk itu, selamat buat ke 10 jurnalis muda yang sudah mengikuti berbagai rangkaian kegiatan, semoga materi yang didapatkan tidak di situ-situ saja. Ilmu yang didapatkan bisa disebarkan ke teman-teman AJI lainnya, dan kawan-kawan jurnalis di medianya, kemudian bisa menyoroti pemerintah, bagaimana kementerian kesehatan dan KLHK dalam menerapkan one health untuk mengatasi permasalahan yang ada. Kita mendorong bersama-sama, agar masyarakat lebih menerimanya,” pungkasnya.
Ini nama-nama penulis buku berjudul refleksi pandemi dan bahaya zoonosis:
1.Adhe Firmansyah, Baklak.News.
2. Fandri Mamonto, Torangpeberita
3. Indri Panigoro, TribunManado.co.id
4. Juan Robin, Narasi Newsroom
5. Meikel Pontolondo, Barta1.com
6. Mutiara Ananda Hidayat, Isu Bogor
7. Muhammad Irfan Al Amin, Tirto.id
8. Rangga Firmansyah, ProjectMultatuli.org
9. Willa Wahyuni, Hukumonline.com
10. Yegar Sahaduta, Pantau24.com
Peliput: Meikel Pontolondo
Discussion about this post