Oleh: Iverdixon Tinungki
Harus dikemukakan lebih awal, pertunjukan teater konsep “Belajar Melipat Kertas” secara filosofis adalah kritik terhadap determinisme, sekaligus menawarkan sebuah dunia yang responsif terhadap akal. Ia menohok keyakinan filosofis yang memandang semua peristiwa terjadi sebagai akibat dari adanya beberapa keharusan yang tak terelakkan.
Sejauh ini tidak ada definisi tentang bentuk Teater Konsep. Pada 2021, teater konsep adalah diskusi saya dengan Amato Assagaf di beranda dapur rumah saya sebagai bagian dari pengembangannya terhadap teater ide. Lalu, membutuhkan waktu 2 tahun untuk bertemu dengan gagasan-gagasan dia dalam wujud pertunjukan yang lengkapnya berjudul “Belajar Melipat Kertas Dalam Sejarah Sebuah Potret di Pagi Hari” dengan aktor Poetri Pulumbara. Pertunjukan itu berlangsung pada Sabtu, 18 Novermber 2023 di Aula Balai Pelestarian Kebudayaan, Manado, Sulawesi Utara.
Sejak awal memasuki ruang pertunjukan, penonton telah disuguhkan pemandangan area panggung yang berisi titik, garis, bidang, ruang dan bentuk, sebagaimana pemahaman konsep dalam bidang arsitektur. Sementara kosep sendiri diartikan sebagai ide yang diabstrakkan dari peristiwa kongkret. Sedangkan teater adalah tampilan dari perilaku manusia dengan gerak, tari, dan nyanyian yang disajikan lengkap dengan dialog dan akting.
Dari setidaknya tiga pengertian inilah saya membangun asumsi awal tentang teater konsep Amato Assagaf. Sebagai sebuah bentuk pertunjukan, Amato menempatkan teater tak sekadar bentuk ritual mula-mula, bahkan ia mencoba bergeser dari pandangan teori dramaturgi modern. Teater baginya tak sebatas tontonan, melainkan bingkai ketat dari konsep-konsep yang bermuatan nilai yang disuguhkan sekaligus ditawarkan kepada spectator (penonton). Ia menyajikan pertunjukan tak sekadar ruang identifikasi emosional penonton lewat karakter aktor, tapi lebih memfasilitasi terbukanya daya kritis penonton untuk berpikir dan mengenali kondisi sosial.
Aktor dimainkan sebabagi sosok provokatif yang merangsang refleksi rasional yang pada akhirnya melahirkan pandangan kritis terhadap persoalan sosial dan kemanusian yang menjadi pesan utama dalam pertunjukan. Pada titik itu, Amato menjadikan teater sebagai medium untuk mengemukakan kritik terhadap gejala aktual di masyarakat.
Amato menyebut pertunjukannya itu sebagai bentuk paling mungkin dari interpretasi teatrikal atas puisi “Kwatrin Tentang Sebuah Poci” karya Goenawan Mohamad. Sebuah puisi yang mengasosiasikan kefanaan manusia.
Dalam 8 bagian pertunjukan yang bermula pada “Potret hitam putih yang menyanyi di kamar pengantin” dan berakhir pada “Setelah Itu apa?”, itulah saya menemukan Amato sebagai seorang libertarian. Seseorang yang membayangkan sebuah dunia di mana orang-orang bebas bereksperimen dengan berbagai cara hidup, bebas mencoba ide-ide baru yang mungkin cukup gila untuk berhasil.
Saya menonton bersama istri saya. Ia seorang penonton aktif beragam pertunjukan teater baik di Manado bahkan di Jakarta. Tapi kali ini, sepulang dari pertunjukan, ia terus terpingkal-pingkal mengenang makian “sukimai”, sebuah makian indigineous dan ikonik dari masyarakat adat Sangihe.
Mengapa keterpingkalan istri saya menjadi penting disentil? Jawabannya, bukan karena istri saya memang perempuan Sangihe yang juga mahir memaki sebagaimana yang diekspresikan tokoh Poetri sehingga ia bersua karakternya sendiri dalam sepotong lakon itu. Tapi dari sisi konteks, Amato wajib disimpulkan berhasil menghadirkan konsep latar kultural tokoh perempuan Sangihe yang hidup sebagai penyintas melawan determinisme dalam lakon ini.
Seorang perempuan yang berjuang membuat sesuatu yang abadi pada tubuh yang kelak retak dengan jalan pulang kepada hakekat tubuh naturalnya yang merdeka. Tubuh yang berbicara dengan simbol-simbol sebagaimana gagasan neoplatonisme. Tubuh yang dihantui keinginan-keinginan absurd. Tubuh yang hidup dalam kehendak bebas. Tubuh yang harus dibebaskan dari penjara determinisme.
Tubuh yang percaya pada pandangan cinta sejati, cinta yang bebas mengeksplorasi gagasan suci dari sejatinya hidup, sejatinya cinta. Cinta yang dikandung tanpa noda dalam perspektif Maria Immaculata dalam iman Samawi Kristen. Cinta yang berada di bilik lain dari padangan dunia esoteris sinkretis Gnostisisme yang menjerumuskan Maria Magdala sebagai pelacur. Cinta yang meneriakan “sukimai” pada gagasan patriarki.
Sampai di sini 8 alur dari eksplorasi tubuh yang bergerak pada titik, garis, bidang, ruang dan bentuk dalam lakon ini menjadi jelas terajut dengan benang merah konsep cinta tokoh poetri kepada sosok ilusi bernama Fernando. Secara tekstual, Fernando memang sosok ilusif yang berasal dari sebuah lagu lama “Fernando”. Sebuah lagu dari grup musik pop asal Swedia, ABBA yang dirilis pertama kali oleh Polar Music pada tahun 1976.
Dengan meminjam metode analisis semiotika, Fernando sebagai sebuah konsep dapat diresepsi sebagai cinta yang menggerakkan manusia terbaik untuk mencari yang terbaik bagi dirinya, yakni kebijaksanaan. Cinta yang senantiasa membawa manusia untuk menemukan yang terbaik bagi dirinya, dan seterusnya bagi sesama manusia, bagi bangsanya, negara dan peradaban dunia. Itulah jawaban dari pertanyaan terakhir di bagian 8 “setelah itu apa?” dari pertunjukan ini.
Dari Teater Ide ke Teater Kobsep
Desember 1994, Amato mementaskan “Rekonstruksi Kematian Mama Dalam Catatan Harian Keluarga”. Pentas yang berlangsung di Balai Wartawan Sulut itu sontak memantik diskusi panjang lebar kalangan pegiat teater di Manado, karena Amato menghadirkan sebuah tontonan baru di luar kelaziman teater yang berkembang di Manado waktu itu, yaitu suatu pertunjukan teater nonverbal dan nonlinear. Ia hadir dengan pencarian-pencarian bentuk yang berbeda dengan teater sebelumnya dengan menghadirkan aktor dan peristiwa yang dilakoninya sebagai serententan ide yang memiliki makna berlapis-lapis.
Di Indonesia sendiri, masyarakat teater belum lama bersua dengan bentuk teater Minikata yang dipelopori WS Rendra lewat pertunjukan “Bip Bop” dan “Rambate-Rate Rata” sejak 1968. Minikata menghadirkan pertunjukan teater yang sedikit sekali menggunakan dialog tapi kaya gerak atau improvisasi spontan. Rendra meyakini kemampuan aktor di atas pentas, dan aktor bukanlah mesin kata-kata, tetapi sosok artis. Di atas segalanya, aktor menjadi pusat perhatian dan tumpuan pertunjukan dengan membatasi bentuk plot kata-kata, tetapi dipenuhi oleh gerak.
Sebagai upaya mencari bentuk-bentuk yang berbeda dengan teater sebelumnya, Amato melangkah lebih jauh mencari dan menggali “jiwa” atau “esensi” teater itu sendiri sebagai ide. Lewat “Rekonstruksi Kematian Mama Dalam Catatan Harian”, ia menghadirkan “kematian mama” bukan lagi sebagai peristiwa, namun sebagai gagasan dialogis. Penonton tidak diajak melewati suatu alur peristiwa dramatik, tapi diseret ke dalam gelombang-gelombang renungan filofosif. Amato menyajikan pertunjukan yang khas dirinya dan baru sama sekali untuk masyarakat teater di Manado. Sebagaimana ciri perkembangan teater kontemporer Indonesia yang sudah marak sejak era 1970-an, Amato dapat dikata sebagai pelopor teater kontemporer di Manado yang menghadirkan kemungkinan ekspresi artistik di kembangkan lewat gaya khasnya sendiri.
Lalu di tahun 1996. Sekembalinya dari pendidikan teater di Jakarta, Amato mengajak saya dan musikus Albert Sumlang mementaskan “Ritus Manusia”, sebuah lakon yang saya tulis kemudian disutradarainya dalam bentuk teater ide. Panggung Ruang Pub di Hotel Richardo, Winangun, yang dikelola Albert Sumlang, dirombak habis-habisan hingga layak untuk pertunjukan teater. Produksi ini mendapat bantuan penuh dari Harian Suluh Merdeka yang menjadi sponsor utama. Karcis pertunjukan Rp. 100.000 habis terjual dan penonton berjubel. Ritus Manusia adalah karya penyutradaraan awal Amato yang ditonton luas. Pertunjukannnya yang penting juga terlacak pada tahun 2010 dengan lakon “ Ayah Yang Menyulam Tembaga Ketika Anak-anaknya Menjadi Tanah” yang berlangsung di ruang teater Fakultas Sastra Universitas Sam Ratulangi. Sejauh itu, Amato masih hadir dengan bentuk teater ide yang dicirikan teater puitis yang dinamik, energik, bebas, dan tidak mempunyai bentuk yang baku.
Amato Assagaf dikenal sebagai dramawan asal Manado yang tercatat sebagai bagian penting dalam sejarah perkembangan teater kontemporer Indonesia. Ia telah bermain dalam lebih 300 produksi pertunjukan di berbagai kota di Indonesia, dan melahirkan sekitar 75 pertunjukan karyanya sendiri yang disutradarainya. Pertunjukannya dalam bentuk teater konvensional yaitu pada tahun 2008 di Bolaang Mangondow Timur (Boltim) bersama Komunitas Seni dan Sastra (kosesa) dengan “Fajar di Timur” sebuah lakon yang ditulis dan disutradarai Amato dalam menyambut pemekaran Kabupaten Boltim. Lalu pada 2011, bersama Teater gereja St. Franciscus Xaverius, Amato mememantaskan lakon “Passion of Christ”. Amato bisa dikata sebagai satu-satunya dramawan Manado yang tak pernah ikut dalam festival. Ia lebih memilih pentas mandiri dengan penonton terbatas. Pertunjukan-pertunjukannya berkualitas dan berbeda dengan kelaziman teater realis yang berkembang pesat di Manado.
Kini ia hadir dengan “Belajar Melipat Kertas Dalam Sejarah Sebuah Potret di Pagi Hari”, suatu lompatan pengembangan dari bentuk teater ide dan teater tubuh menjadi sebuah teater konsep. Dan saya menyaksikan Poetri Pulumbara sebagai aktor yang memerankan tokoh Poetri berhasil menerjemahkan gagasan-gagasan pelik Amato dalam eksplorasi tubuh dan akting yang memikat. Terima kasih telah menyuguhkan saya suatu pertunjukan yang original baru di Sulawesi Utara, bahkan mungkin di Indonesia. (*)
Discussion about this post