PINTU
PEMAIN
LELAKI: Sosok manusia sekaligus sosok Yesus.
BULAN: Sosok imajinatif.
SETAN: Sosok Iblis.
IBU: Sosok ibu yang peragu.
PEMBURU: Sosok penguasa.
SATU: PEMBUKA
Tangan berdarah Sang Lelaki menerobos pintu berbentuk sekat di tengah panggung bagian belakang. Tak lama diikuti kepala yang bermahkota duri bergantung seperti gambar pada sebuah bingkai.
Suara Kepala Sang Lelaki:
Aku Anak itu. Aku selalu ingin lahir. Lahir dengan damai dalam hati setiap orang. Tapi dari abad ke abad, dari waktu ke waktu, seakan tak ada pintu hati yang terbuka bagiku. Nasibku tak lebih dari sebuah pigura dalam rumah orang-orang. Orang-orang memajang gambar kesedihanku. Orang-orang memajang lukisan keagungan cintaku. Tapi orang-orang itu pula menolak kelahiranku dalam hati mereka, dalam rumah mereka, dalam keluarga mereka.
Dari Langit, turun Sang Rembulan. Betapa sedih hati rembulan melihat anak yang tergantung dibingkai itu. Rembulan dengan sedih ia menyanyi lagu.
Bunyi halilintar lagi susul menyusul, kemudian redah.
Bunyi Gong. Di langit bulan tampak sedih. Suasana tampak hening. Bulan melempar kertas-kertas ke udara.
BULAN:
Jika engkau ditinggalkan Sang Keberanian
Dengan apa kau ubah dunia?
Sia-sia kau buat pintu atau jendela di hatimu
Sementara matamu tak berani melihat Matahari
Dan kulitmu beku di angin
Takdir manusia adalah mencari dan mengubah
Membuat dan melahirkan.
Masuklah, Wahai lelaki.
Sang Lelaki membuang mahkota duri dan, menerobos pintu mencari-cari sesuatu pada kertas yang dilempar Bulan. Ia mengenakan kafan panjang tergerai.
LELAKI :
Setiap hari, aku selalu ingin lahir.
Seperti bayi yang baru melewati rahim ibu.
Putih. Penuh kebenaran.
Lelaki itu terkulai lagi.
Bulan dengan payung hitam. Ia mengelilingi Sang Lelaki.
BULAN:
Yang terpenting kau harus memperjuangkan kehidupan.
Menjaga api keberanian dalam nafas dan jiwamu
Sehingga kau tak perlu gugur sebelum ajal
Tak perlu mati sebelum bertempur
Bulan keluar.
BAGIAN DUA :
Dari pintu yang lain. Setan muncul menerobos pintu.
SETAN :
(Terbahak. Wajahnya jahat dan busuk)
Plato, Humerus, Shakespiere, Hugo, Michaelangelo,
Beethoven, Pascal, dan Newton, mereka semua adalah pahlawan jenius.
Mereka semua bergumul dengan kebenaran-kebenaran fundamental,
dengan esensi paling dalam dari semesta alam.
Mereka semua memiliki akal budi
untuk menciptakan ilmu pengetahuan dan kesenian.
Tetapi, mereka tidak dapat menciptakan suatu dunia yang adil
penuh rasa persaudaraan dan damai.
(terbahak )
Tidurlah, wahai lelaki.
LELAKI :
Keadilan adalah keadilan.
Keadilan hanya ada karena ada ketidakadilan.
Kedamaian adalah bunga dari keadilan.
Sedang buah dari ketidakadilan adalah derita.
Kasih dan kebenaran adalah obat mujarab
untuk mengalahkan ketidakadilan.
SETAN:
Hebat … hebat.
Kau dapat mendefinisikan arti penderitaanmu.
Tapi kau tak mampu mengakhiri penderitaanmu.
Apa artinya?
LELAKI :
Perjuangan seorang yang menderita bukanlah mengakhiri penderitaan.
Tetapi menikmati penderitaan.
Penderitaan jika dinikmati,
lambat laun akan terasa mengenakkan.
SETAN :
Perkataanmu tak dapat dibuktikan.
LELAKI :
Setan, berabad-abad kau telah menyaksikan pembuktian dari kata-kataku.
Tapi, karena kau sumber ketidakadilan maka kau dan hamba-hambamu
tak pernah mengerti kenikmatan suatu penderitaan.
Hanya orang-orang menderitalah yang memahami indahnya penderitaan.
SETAN :
Tidak mungkin!
Tidak mungkin!
Penderitaan adalah penderitaan.
Tidak ada kenikmatan dalam penderitaan.
Banyak orang bunuh diri karena tak mampu menahan derita.
Karena itu, banyak orang berusaha mencari jalan pintas
untuk mengalahkan penderitaan.
LELAKI :
Penderitaan adalah persoalan eksistensi.
Bunuh diri adalah penyangkalan eksistensi.
Filsuf Albert Camus, pernah mengatakan bahwa
manusia harus mengalami tragedi sisipus,
manusia harus mengalami penderitaan.
Manusia yang menolak tragedi sisifus,
adalah mereka yang memilih bunuh diri.
SETAN:
Kau sedang sekarat.
Mengabdilah padaku.
Jika kau mengabdi padaku kau akan kuberi kehidupan.
Tolaklah penderitaanmu.
Keimananmu telah membuat engkau tidak pandai membaca kesempatan.
LELAKI:
Setan pergilah!
Aku tak bersedia menukar jiwaku dengan kemuliaan dunia
yang ditawarkan Mefisto, setan seperti kau.
SETAN:
Kau keras kepala!
Aku tak suka padamu!
Kita akan bertemu di pintu yang lain.
Setan keluar
BAGIAN TIGA :
DI PINTU DUKA IBU
IBU :
Milik siapakah kebahagiaan itu?
Apakah kebahagiaan hanya milik segelintir orang?
Apakah kebahagian hanya milik orang yang punya kuasa, punya kekayaan?
Lalu, kaum miskin, orang-orang sederhana,
apakah tak ada pintu bagi mereka untuk mencari kebahagiaan.
70 persen bahkan lebih penduduk dunia adalah kaum miskin,
70 persen bahkan lebih penduduk Indonesia adalah kaum miskin,
70 persen bahkan lebih penduduk Sulawesi Utara adalah kaum miskin.
Oh betapa banyak kaum miskin,
betapa banyak orang yang tak mencicipi kebahagiaan.
LELAKI:
Setiap keringat yang jatuh di tanah,
akan menjadi benih kebahagiaan bagi rumah tangga,
istri dan anak-anak.
Mereka bisa makan dan minum.
Mereka bisa sehat. Mereka bisa tersenyum.
Itulah kebahagiaan.
Kebahagiaan harus dipetik bukan dari kemunafikan dan tipu daya.
Tapi dari kebenaran keseimbangan antara hak dan kewajiban seorang pekerja
dan seorang manusia.
IBU :
Definisi kebahagiaan yang kau pahami begitu absurd.
Kapan kita jadi kaya? Kapan kita punya mobil?
Kapan kita punya rumah mewah?
LELAKI :
Kekayaan dan kemewahan hanyalah realisasi dari imajinasi.
Banyak pintu mengkongkritkan imajinasi.
Pintu pertama mencuri. Pintu kedua korupsi.
Pintu ketiga merampok.
Pintu keempat manipulasi.
Dan masih banyak lagi pintu.
Dari 5 milliar lebih penduduk bumi, 70 persen bahkan lebih
adalah kaum miskin.
Jika semua kaum miskin ini ingin menjadi kaya,
bayangkan malapetaka apa yang akan terjadi.
IBU:
Kau lelaki yang pesimistik. Apriori.
LELAKI :
Delila menggunting rambut Samson,
adalah contoh pengkhianatan rumah tangga terabadi di
alam peradaban umat manusia.
Pergilah, aku bukan Samson.
Aku seorang lelaki sejati.
Ibu keluar.
BAGIAN EMPAT:
Setan muncul kembali.
SETAN:
Kau akan kehilangan semuanya jika kau teguh pada prinsipmu.
Hari ini, jutaan manusia bangsamu ada di jalanan
memperjuangkan kehidupan yang layak.
LELAKI :
Banyak pintu menuju kehidupan yang layak.
Tapi sedikit sekali orang memilih pintu kebenaran menuju kehidupan yang layak.
SETAN:
Tapi tak mungkin mengubah dunia hanya dengan diam!
LELAKI :
Dunia pun tidak akan berubah karena keriuhan.
Keriuhan hanya mengakibatkan kehancuran.
Ambon, Ternate, Poso, Tasikmalaya, Aceh, Afghanistan,
Palestina, Aleppo dan berbagai pelosok yang dilanda rusuh,
adakah damai di sana?
Haruskah perubahan dibarengi penghancuran?
SETAN:
Teolog Karl Bard menganjurkan penghancuran
guna pembangunan dunia baru.
LELAKI:
Nabi-nabi justru menganjurkan kasih sayang
sebagai senjata melawan kelaliman.
SETAN:
Lalu siapa musuhmu yang sebenarnya?
LELAKI:
Pertama adalah diri sendiri.
Melawan hawa nafsu yang menghancurkan rasa kemanusiaan.
Kedua adalah ….
Dari pintu mendadak muncul pemburu
PEMBURU:
Provokator!
Kedua adalah provokator.
Kau… kau…
(Menodongkan senjata ke setan)
Musuh bersama saat ini adalah provokator seperti dirimu.
Terimalah kematianmu…
(Menembak. Setan terkapar luka, tapi kemudian berusaha dan kabur)
LELAKI:
Setan punya seribu nyawa.
Kau boleh membunuhnya saat ini tapi pada detik berikutnya
ia telah hidup lagi.
Mungkin ia telah berada di antara penonton pertunjukan ini.
PEMBURU :
Kalau begitu seluruh penonton ini harus dibunuh!
Agar setan itu mati.
LELAKI:
Pemburu!
Ingatlah… seorang yang dalam hatinya terselip keinginan membunuh,
itu artinya ia setan juga.
PEMBURU :
Jadi aku harus bagaimana untuk menyelesaikan kerusuhan dan keresahan
di tengah masyarakat saat ini.
LELAKI:
Berikan nafas pada hukum.
Dan bercermin pada Kristus.
Lahir dan mati-Nya memberi harga pada kebenaran.
PEMBURU:
Kau terlalu cerdas! Dan berbahaya!
(Menembak sang lelaki)
Lelaki mati. Ruang jadi sunyi. Pemburu pergi.
T A M A T
Discussion about this post