Manado, Barta1.com – Mari mengetahui peran penting kyai Muslim Muhamad Halifah atau dikenal dengan Kyai Modjo bagi masyarakat pribumi Minahasa, khususunya di daerah Tondano, Kabupaten Minahasa, Sulut.
Kyai Modjo lahir di Surakarta, Jawa Tengah pada tahun 1792. Orang tua Kyai Modjo adalah Iman Abdul Ngarip dan R.A Mursilah. Ia merupakan seorang ulama yang menjadi kepercayaan dari pangeran Diponegoro sekaligus panglima selama berlangsungnya perang Jawa.
Arbo Baderan, penjaga makam Kyai Modjo ketika diwawancarai Barta1.com di Tondano mengatakan, Kyai Modjo bersama enam puluh tiga (63) pengikutnya diasingkan ke Sulut, tepatnya di Kema 3 pada tahun 1829 akibat dari politik Belanda.
“Kyai Modjo beserta pengikutnya merupakan korban dari politik Belanda. Mereka diasingkan ke Sulut, berawal dari ajakan Belanda untuk melakukan perundingan perdamaian di sebuah kapal, saat melakukan perundingan kapalnya berjalan. Ketika sudah di tengah lautan, kyai Modjo dan pengikutnya sudah tidak bisa berbuat apa-apa dan hanya mengikuti arah mereka diasingkan oleh Belanda,” ungkap Baderan.
Kyai Modjo dan pengikutnya diasingkan pertama kali di Kema 3, Kabupaten Minut. Dan kemudian Belanda memindahkan mereka dipinggiran danau Tondano, merasa tidak aman, mereka berpindah lagi ke tempat yang kini dikenal sebagai kampung Jawa Tondano (Jaton). “Belanda mengasingkan Kyai Modjo dan pengikutnya, tujuannya agar tidak ada lagi perlawanan,” jelasnya.
“Namun, pengasingan itu berdampak positif bagi masyarakat pribumi Minahasa. Saat diasingkan, Kyai Modjo dan pengikutnya menjadi petani dan tukang. Sebagai petani mereka membuka lahan-lahan tidur dan membuat petakan-petakan sawa di sekeliling daerah Tondano, serta mengajarkan cara bercocok tanam kepada masyarakat pribumi Minahasa,” ucapnya.
Selain mengajarkan tentang bercocok tanam, kata Baderan, Kyai Modjo dan pengikutnya mengajarkan masyarakat pribumi Minahasa sebagai tukang, yakni tukang kayu membuat Rumah dan pedati, kemudian tukang besi membuat alat-alat pertanian, dan terkahir diajarkan sebagai tukang jahit. “Intinya, Kyai Modjo dan pengikutnya meninggalkan budaya baik bagi masyarakat pribumi Minahasa yang hingga saat ini masih dilakukan, seperti bertani atau pun tukang,” singkatnya.
“Bukan saja tradisi bertani dan tukang yang dikembangkan, melainkan ada tradisi seni hadrah dan sholawat Jawa yang masih terjaga dan dipertahankan oleh masyarakat Jaton hingga saat ini,” tambahnya.
Selama pengasingan, tambah Baderan, kyai Modjo sudah tidak menikah lagi, melainkan anaknya yang ikut dalam pengasingan itu menikah dengan anak dari pemangku adat Minahasa, dan saat itu juga terjadi kawin-mawin antara keturunan Jawa dan Minahasa.
“Sehingga pada saat itu ada marga Modjo di Minahasa, namun pada saat ini keturunan Modjo banyak berpindah dari Jaton ke Gorontalo, sedangkan di Jaton tinggal satu perempuan yang meneruskan marga Modjo dan itu keturunan ke 6,” ujarnya.
“Setelah terjadi kawin-mawin antara keturunan Jawa dan Minahasa. Pada saat itu pula, Kyai Modjo diberikan hadiah oleh pemangku adat Minahasa sebuah tanah yang luasnya dari Gunung Masarang hingga titik pemancar TVRI di Tondano ini,” tuturnya.
Begitulah, sedikit cerita dari peran Kyai Modjo dan pengikutnya kepada masyarakat pribumi Minahasa, ketika mereka diasingkan oleh Belanda. “Selain tanahnya yang subur, Tondano juga pernah disebut Kyai Modjo sebagai tanah yang manis, manisnya karena terhindar dari namanya bencana banjir dan keributan,” sahutnya.
“Semasa Kyai Modjo hidup, ia pernah berpesan bahwa jasadnya harus dimakamkan di atas bukit. Dan permintaan Kyai Modjo itu diikuti oleh masyarakat setempat, dimana jasadnya, jasad anaknya beserta pengikutnya dimakamkan di bukit Tondata, tepatnya Desa Wulauan, Kecamatan Tolimambot, Minahasa,” sambungnya.
Menghormati setiap bekal hidup yang pernah diberikan oleh Kyai Modjo dan pengikutnya kepada masyarakat Pribumi Minahasa. “Masyarakat setempat, khususnya Kampung Jaton memiliki tradisi setiap tahunnya yaitu datang membersihkan makam, melakukan Dzikir Gholibah dan itu sering dilakukan mendekati bulan Ramadhan,” pungkasnya.
Peliput: Meikel Pontolondo
Discussion about this post