Menjadi beranda depan perbatasan Indonesia dan negara tetangga Filipina tak menjadikan Kabupaten Kepulauan Sangihe aman dari kapitalisme perusahaan tambang.
Sebuah perusahaan tambang yaitu PT. Tambang Mas Sangihe (TMS) anak perusahaan dari Baru Gold Corp, perusahaan eksplorasi sumber daya mineral dari Kanada yang berfokus pada pengembangan proyek produksi logam mulia di Indonesia, masuk mendapat tiket dari Kemeterian ESDM RI dan ironisnya diberikan izin kelayakan lingkungan oleh pemerintah Provinsi Sulawesi Utara itu sendiri.
Dua tiket tersebut ialah Keputusan Kelayakan Lingkungan Dinas Penanaman Modal dan Perijinan Terpadu Satu Pintu Provinsi Sulawesi dengan nomor 503/DPMPTSPD/REKOM/181/IX/2020 tanggal 25 September 2020, dan Persetujuan peningkatan tahap Kegiatan Operasi Produksi dari Kementerian ESDM RI dengan nomor 163.K/MB.04/DJB/2021 tanggal 29 Januari 2021, di wilayah seluas 42.000 Ha dengan masa produksi 33 tahun.
Padahal Pulau Sangihe adalah pulau kecil luasannya 73.700 hektar. Artinya lebih dari setengah pulau berpotensi menjadi areal kegiatan operasi produksi dari perusahaan tersebut. Di dalamnya ada 7 kecamatan, 80 kampung, dengan akumulasi jumlah penduduk kurang lebih 60.000 jiwa.
Tak hanya itu rencana penambangan yang bersifat terbuka ini berpotensi mengamcam keberadaan hutan lindung Sahendarumang yang di dalamnya penuh dengan keanekaragaman hayati termasuk 10 jenis burung endemik pulau Sangihe. Ada ribuan Mata air, ratusan sungai dan anak sungai sumber air bersih masyarakat, perkebunan dan lahan pertanian masyarakat. Selain itu pesisir pantai tempat masyarakat nelayan menggantungkan hidup ikut terancam ketika tambang ini akan beroperasi.
Realitas ini membuka perlawanan dari masyarakat setempat. Seorang guru, Charles Tolibakuta (54), hadir dalam sosialisasi pembebasan lahan yang diadakan oleh perusahaan pada 22 hingga 24 Maret 2021 di Kampung Bowone Kecamatan Tabukan Selatan Tengah. Dalam pertemuan tersebut PT. TMS ingin membeli lahan warga senilai Rp5000 per meter. Di tengah penolakan warga dengan harga yang jauh tidak masuk diakal itu, Tolibakuta menanyakan keberadaan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) perusahan.
“Mereka mengatakan memiliki AMDAL namun ketika ditanyakan siapa yang menandatanganinya dari masyarakat, pihak mereka tidak mau menjawabnya,” kata Charles.
Tak hanya itu dia juga mendesak pihak perusahaan untuk transparan mengenai nasib masyarakat yang ada di kampung mereka ketika perusahaan tersebut akan beroperasi. Pada waktu itu ia menilai PT. TMS tidak mampu menerangkan lebih jauh soal penentuan nasib masyarakat pada saat operasi produksi dimulai. “ Pihak PT TMS pun tidak mau menjawab pertanyaan kami, mereka benar-benar tidak punya keterbukaan bagi kami masyarakat terdampak nantinya,” kata dia.
Charles Tolibakuta adalah warga Kampung Bowone. Di kampung tersebut kini berdiri basecamp PT. TMS. Bowone memang menjadi salah satu areal pembukaan pertama lahan PT. TMS, namun lebih dari separuh masyarakat di sana menolak. Masyarakat mulai bergerak menyusun kekuatannya untuk menghalang rencana PT. TMS.
Selain dari Tolibakuta, Elbi Piter (55) seorang perempuan yang lantang menolak kehadiran perusahaan yang dinilainya mengusik ketenangan mereka. Elbi Piter adalah seorang ibu rumah tangga, ia dan suaminya berprofesi sebagai petani penggarap lahan mereka sendiri. Perlawanannya memuncak ketika saat sosialisasi perusahaan, dimana PT. TMS mau membeli lahan masyarakat dengan harga Rp50 juta 1 hektar. Ia mengatakan bahwa 50 juta tidak akan bisa mengganti kerugian mereka, apalagi menyekolahkan anak anak mereka.
“Mereka menawarkan Rp50 juta 1 hektar. Mereka bilang kan banyak. Lalu saya jawab itu kan Rp50 juta, tidak bisa menyekolahkan anak-anak. Mereka pikir saya tidak tahu,” kata Elbi kepada barta1.com.
Ia menilai dengan menyebut nominal 50 juta maryarakat akan suka dan rela menjual tanahnya. Padahal 50 juta itu kata dia, permeternya lebih mahal dari harga seikat sayur kangkung. “Mereka seenaknya saja bilang kalau Rp50 juta itu banyak. Rp50 juta dapatnya berapa berarti 1 meter, Rp5 ribu. Memang ada yang mau? Kangkung aja di pasar pernah naik sampai Rp7 ribu, kok tanah ini milik masyarakat dibayar sampai Rp5 ribu. ini pembodohan,” ungkapnya.
Lebih dari itu yang dipikirkannya ialah pencemaran lingkungan kedepannya. Ia pun giat melakukan sosialisasi mengenai dampak lingkungan ketika perusahaan besar itu beroperasi di kampungnya. Bahkan Elbi bersama perempuan-perempuan di kampungnya menggugat perusahaan tersebut ke pengadilan.
“Pada akhirnya kami menyadari bahwa bahaya ada di depan mata kami. Kami sudah menyampaikan di sini perusahaan ini dampak lingkungannya besar, air bisa tercemari, laut bisa tercemari, bahkan udara bisa tercemari, sudah banyak contoh-contoh pencemaran yang tejadi akibat tambang di beberapa tempat,” kata dia.
Berbagai bentuk perlawanan terus dikumandangkan. Sosialisasi ke kampung-kampung bahkan aksi demonstrasi hingga ke Istana Negara, dan Kementerian ESDM pun dilakukan agar suara-suara masyarakat Sangihe didengar oleh negara.
Jull Takaliuang, selaku inisiator gerakan Save Sangihe Island (SSI) yang saat ini konsen mendampingi masyarakat mengatakan bahwa pulau kecil Sangihe selama ini nyaman dan indah sebagai ruang hidup masyarakat. Alam tidak butuh manusia. Tapi manusia sangat membutuhkan alam agar bisa hidup dan berkembang.
“Sangihe butuh investasi yang ramah terhadap lingkungan. Tidak pernah orang Sangihe mengeluh kelaparan. Berarti kita tidak butuh tambang,” kata putri Sangihe penerima Penghargaan Perdamaian Dunia dari PBB ini.
Takaliuang kemudian menjelaskan bahwa sesungguhnya apa yang telah tersedia di Pulau Sangihe sangat melimpah dan mencukupi untuk kebutuhan masyarakat. Namun kelimpahan itu bagi sekelompok orang rakus dan tamak, pasti selalu terasa kurang.
“Kalau bukan kita ‘tau i kite’ lalu siapa lagi yang harus menyelamatkan Pulau ini demi kelangsungan hidup anak cucu nanti. Integritas dan harga diri orang Sangihe dipertaruhkan menghadapi godaan menjadi kaya dengan mengeruk emas,” ungkapnya Takaliuang.
Peran Gereja dan Badan Adat
Perjuangan masyarakat Sangihe menempuh jalan sunyi. Anggota DPRD Sangihe dan Pemerintah Kabupaten Kepulauan Sangihe mempunyai sikap lain. 30 Maret 2021, berbagai elemen masyarakat melakukan audiensi di ruang pertemuan DPRD Sangihe yang dipimpin langsung oleh Ketua DPRD Sangihe Josephus Kakondo tentang ancaman yang dihadirkan PT. TMS atas pulau Sangihe.
Pada pertemuan tersebut 5 orang anggota DPRD yang hadir secara spontan melakukan penolakan, sisanya tanpa sikap. Dijanjikan kepada perwakilan organisasi yang hadir bahwa DPRD akan mendiskusikan secara internal dan akan menyampaikan sikapnya dalam 2-3 hari ke depan. Tapi hingga saat ini sejak pertemuan tersebut, DPRD Kepulauan Sangihe tidak menyatakan sikapnya sama sekali.
“Sikap anggota menolak, itu sah–sah saja dan saya harus menghargai pendapat pribadi anggota. Tentu saya tidak mendahului soal sikap kelembagaan karena ada mekanisme yang harus dilalui. Masih menunggu saran dan masukan serta kajian sehingga kita tidak salah mengambil keputusan, karena ini menyangkut masa depan daerah ini,” kata Kakondo pada waktu itu.
Sementara itu, Bupati Kepulauan Sangihe saat itu Jabes Ezar Gaghana mengklaim bahwa pemerintah daerah menolak izin PT. TMS. Namun kata dia setelah izin tambang dari pemerintah terbit, pihaknya harus mengikuti ketentuan itu.
“Ketika pemerintah pusat sudah setuju dan keluarkan izin, kan tidak mungkin pemkab melakukan penolakan pusat. Secara administrasi itu kan pelanggaran undang-undang, kita melakukan perlawanan kepada pemerintah pusat. Bukan kita setuju,” katanya.
Menurut Jabes, proses izin PT TMS ini sudah berproses sejak tahun 1997, sementara izin resmi untuk mengeksploitasi lahan itu baru terbit pada 2021. Pihak yang pertama menerbitkan surat izin itu, kata dia, adalah Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara.
“Iya yang menerbitkan Pemprov Sulut. Proses izin ini dari 1997. Nanti keluar izinnya yang resmi untuk eksploitasinya 2021 ini, tapi sebelumnya memang ada proses itu. Waktu itu kewenangan Pemkab hanya Amdal. Karena Amdal kabupaten, saya tidak menyetujuinya,” ujar Jabes.
Salah satu seniman di Kepulauan Sangihe, Alfred Pontolondo menyayangkan sikap DPRD Sangihe dan Pemerintah Daerah. Dirinya berharap pemerintah dan wakil rakyat di Sangihe bisa bersatu padu bersama masyarakat dalam menyelamatkan ruang hidup yang terancam. Namun demikian kenyataannya jauh berbeda.
“Itu sungguh sebenarnya sangat kami sesali, kami berharap, kami diayomi dalam upaya untuk menyelamatkan pulau tapi kami tidak mendapatkan itu dari pemda,” kata Alfred.
Di tengah ketidakpercayaan masyarakat kepada pemerintah dan wakil-wakilnya di parlemen daerah, gereja dan badan adat hadir membawa angin segar semakin menambah semangat perlawanan kepada korporasi tambang asal Kanada itu.
Pertengahan April 2021, Gereja Masehi Injili Sangihe Talaud (GMIST) dan Badan Adat Sangihe, mengeluarkan pernyataan sikap, dalam bentuk pernyataan teologis yang ditujukan kepada Presiden Joko Widodo. Dalam pernyataan teologis tersebut, GMIST menilai keberadaan PT. TMS mengancam kehidupan umat, dan keberlangsungan alam pulau Sangihe.
Ketua Umum Sinode GMIST, Pdt Welman Boba, menyampaikan bahwa pada 30 Desember 2021 Sinode GMIST telah mengekuarkan pernyataan sikap, menyikapi persoalan tambang yang berkembang. Bagi dia pernyataan sikap itu bukan hanya sikap Sinode, tetapi merupakan sikap GMIST secara utuh karena telah dibahas dalam sidang sinode lengkap dan yang hadir di sidang-sidang itu kata dia adalah ketua ketua jemaat juga utusan. “Berarti itu suara GMIST jadi kami meneruskan sikap GMIST, sikap Allah yang melembaga itu,” kata Pdt Welman.
Melalui surat tersebut jelasnya ada dua perjuangan, secara vertikal dan horizontal. Secara vertikal GMIST berupaya untuk bertemu Presiden Joko Widodo. “kita mau berusaha bertemu Presiden, kita lagi sementara mencari akses, tidak ada manusia di dunia ini yang tidak bisa ditemui. Melalui MPL PGI Tahun 2022 kita akan mendorong isu ini menjadi isu nasional, bisa menjadi isu internasional juga. Ini strategi vertikal kita,” bebernya.
Sementara aksi horizontal GMIST akan berkoordinasi dengan pemerhati lingkungan dan lain-lain yang berjuang melestarikan lingkungan. Dengan menggaet pemerhati lingkungan Boba mengatakan akan dilaksanakan edukasi melalui pertemuan ditingkat resort dan jemaat. “Semua harus teredukasi, nanti kalau kita semua sudah mati emas masih ada dan mereka akan datang lagi ke generasi berikut,” ujarnya.
Aksi GMIST ini, kemudian memantik Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) untuk menyurati Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo. PGI menilai izin tambang yang dikeluarkan oleh pemerintah Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) mengirim surat kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait perusahaan tambang emas di Kabupaten Kepulauan Sangihe. PGI menilai perizinan perusahaan tambang itu bertentangan dengan UU yang berlaku.
Ketua Umum PGI, Pdt Gomar Gultom mengatakan bahwa perizinan perusahaan tambang emas ini bertentangan dengan nafas UU 27/2007 jo UU 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Hal inilah yang dinilai merugikan masyarakat sekitar.
Selain itu, usaha tambang ini dianggap tak sejalan dengan misi pembangunan Kepulauan Sangihe. Yang mana kabupaten ini bertumpu pada aktivitas pertanian dan pariwisata.
“Usaha pertambangan ini dirasakan tidak sejalan dengan misi pembangunan Kabupaten Kepulauan Sangihe yang bertumpu pada pertanian, perikanan dan pariwisata,” kata dia.
Berbagai dukungan terus mengalir kepada masyarakat Sangihe, aksi-aksi demontrasi dan sosialisasi terus dilakukan. Tercatat kurang lebih lima kali aksi demonstrasi dilakukan.
28 Oktober 2021, aksi massa dilaksanakan di Tahuna di depan rumah Jabatan Bupati Kepulauan Sangihe dan kantor DPRD Sangihe. Yang menjadi motor adalah para mahasiswa Politeknik Nusa Utara.
10 November 2021, aksi massa di tiga titik lokasi yakni, di depan kantor Kementerian ESDM-RI Jakarta, kantor Gubernur Sulawesi Utara dan di kampung Bowone Kepulauan Sangihe.
3 Desember 2021, aksi menyambut kedatangan Tim Independen Kementerian ESDM-RI
28 Januari 2022, aksi menyambut kedatangan Menteri Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan yang hendak membuka sidang Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) yang hendak dilaksanakan di Tahuna. Tetapi menteri batal datang. Sebagai gantinya peserta menyerahkan tuntutan sikap penolakan terhadap PT. TMS kepada Gubernur Sulawesi Utara yang datang pada saat itu.
7 Juli 2022, Aksi bersama “Bebaskan Sangihe dari kepungan Tambang” oleh berbagai komunitas masyarakat Sangihe di Jabodetabek bersama sejumlah lSM di deoan kantor Kementerian ESDM-RI dan Kedutaan Besar Kanada.
Jalan Berliku Menghadang dan Melawan
Seruan perlawanan masyarakat Sangihe ini rupanya tidak membuat PT. TMS mengurungkan niatnya untuk tetap menambang di pulau Sangihe. Alhasil di tengah perayaan menyambut hari Natal tahun 2021, PT. TMS memobilisasi alat beratnya dari pelabuhan Bitung menuju pulau Sangihe.
Alat berat itu berupa Drill Rig Machine (mesin bor) tiba pelabuhan Pananaru Sangihe pada 22 Desember 2021. Spontan masyarakat melakukan konsolidasi menuju pelabuhan Pananaru. 24 Desember 2021, dipimpin oleh seorang lansia Agustinus Mananohas (76) mereka berhasil mengusir alat berat PT. TMS yang sempat diturunkan di Pelabuhan Pananaru dan dikembalikan ke pelabuhan asal di Bitung. Masyarakat terpaksa melaksanakan ibadah Natal di pelabuhan Pananaru.
Tiga bulan berikutnya, 3 Februari 2022, PT. TMS kembali memaksa mendatangkan alat beratnya menggunakan kapal LCT Bumi Artha Tsabit. Masyarakat kembali berkumpul dan mengusir alat berat PT. TMS yang dikawal oleh 200 personel kepolisian dari POLRES Sangihe.
Tak urung, beberapa minggu kemudian pada 27 Februari 2022, masyarakat kembali berkumpul di pelabuhan Pananaru karena mendengar bahwa alat berat kembali hendak didatangkan oleh PT. TMS menggunakan kapal fery KM. Porodisa. Namun ternyata alat tersebut diturunkan kembali oleh Kapten kapal karena tidak memiliki dokumen resmi untuk diangkut.
Di bulan Maret, kondisi cukup kondusif, apalagi ketika hasil pertemuan 4 Maret 2022 yang diselenggarakan Kementerian Perhubungan di hotel Luwansa Manado untuk mengamankan pengangkutan alat berat PT. TMS. Dalam rapat yang dihadiri perwakilan Polda Sulut dan Kementerian perhubungan tersebut didapatkan kesimpulan: Alat berat PT. TMS tidak boleh diangkut ke Sangihe, sampai PT. TMS menyelesaikan proses perijinannya. Jika dipaksakan akan mengakibatkan konflik sosial di masyarakat.
Di luar dugaan konflik hampir pecah ketika PT. TMS kembali memasukan alat beratnya Drill Rig Machine (mesin bor) pada 13 Juni 2022. Padahal pada 2 juni sebelumnya Majelis hakim PTUN Manado telah memenangkan gugatan Elbi Piter dan 55 perempuan Bowone.
Dalam putusan tersebut majelis Hakim PTUN Manado membatalkan, memerintahkan Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Sulawesi Utara untuk mencabut Keputusan No. 503/DPMPTSPD/REKOM/181/IX/2020 tentang Persetujuan Kelayakan Lingkungan untuk PT. TMS tanggal 25 September 2020, dan memerintahkan untuk menunda pelaksanaan keputusan tersebut.
Kapal landing craft tank (LCT) mengangkut tiga alat berat TMS dan sandar di Pananaru pukul 22.30 WITA. Mereka berhasil menurunkan alat berat tersebut dan disimpan di Pelabuhan hingga 13 Juni untuk dibawa ke lokasi PT. TMS di Kampung Bowone, Tabukan Selatan Tengah. Tiga truk pengangkut alat berat meluncur ke Bowone, Alfred Pontolondo, Jan Rafles Takasihaeng, Gusman Lametige, Robison Saul, dan Agustinus Mananohas berbagi tugas untuk mengawal agar aksi masyarakat tetap kondusif, sebab pada saat itu masyarakat telah memblokir jalan.
Beberapa pohon mereka tebang termasuk dua batang pohon kelapa dibentangkan di ruas jalan Kampung Salurang menuju Kampung Bowone. Mereka berjaga-jaga dengan tidur di jalan beralaskan terpal. Aparat kepolisian resor setempat dipimpin oleh AKP R. Pakaya turun bernegosiasi dengan masyarakat.
“Tak ada tawar-menawar, alat berat PT. TMS harus dikembalikan ke pelabuhan dan harus diangkut kembali meninggalkan pulau Sangihe,” ujar Agustinus Mananohas, salah satu sesepuh adat yang berasal dari Kampung Salurang yang kini menetap di Bowone.
Pada saat itu hal yang dikhawatirkan Alfred Pontolondo adalah akan ada konflik antar masyarakat, sebab alat PT. TMS sudah diparkir di Kampung Salurang, tak jauh dari Kampung Bowone. Sebab beberapa dari warga Salurang telah bekerja sebagai karyawan PT. TMS. Sementara warga Bowone mendesak untuk ke Salurang untuk mendorong Drill Rig Machine dikembalikan ke pelabuhan Pananaru.
Alhasil, 14 Juni 2022 pukul 13.00 WITA masyarakat yang berkumpul di Kampung Bowone turun menuju alat berat PT. TMS yang diparkir d Salurang. Di Salurang suasana menegangkan, saat itu, salah seorang anggota masyarakat yakni Robison Saul diamankan polisi dengan alasan membawa senjata tajam dan dikenakan pasal-pasal dalam UU Darurat dan langsung diproses hukum. Sementara pada saat yang sama, PT. TMS yang jelas-jelas melanggar hukum tidak ditindaki oleh aparat penegak hukum.
Hingga 15 Juni 2022 masyarakat masih memblokir jalan agar alat berat PT. TMS tidak bisa dimobilisasi ke Bowone. Polres Sangihe mengerahkan personilnya untuk membuka akses jalan yang ditutup warga. Aksi tarik menarik terjadi antar Polisi dan warga. Gusman Lametige, salah satu warga Bowone ditarik oleh aparat, namun mampu dibendung oleh warga lainnya.
Kapolres Kepulauan Sangihe, AKBP Denny Wely Wolter Tompunuh, mengatakan niat mereka bukan mau menagkap masyarakat, namun hanya mencegah agar masyarakat tidak mendekat saat personilnya memotong pohon untuk membuka akses jalan. “Bukan menarik begitu,” ujar kapolres.
Gerakan masyarakat itu terjadi karena PT. TMS dinilai tidak menghargai masyarakat Sangihe. Apalagi izin lingkungan perusahaan sudah dicabut. Aksi penolakan itu pun terus berlanjut hingga alat berat tersebut berhasil digiring kembali ke pelabuhan Pananaru.
Imbas dari aksi tersebut Robison Saul yang sebelumnya kedapatan membawa barang tajam mendapatkan surat panggilan dari Polres Sangihe pada 21 Juni 2022. Ditemani Alfred Pontolondo, Robison datang ke Polres diperiksa dan menandatangani Berita Aacara Pemeriksaan (BAP).
Menurut Alfred Pontolondo, proses penahanan Robison sangatlah cepat. Bahkan mereka menilai Robison korban kriminalisasi. Sebab, sepekan setelah di BAP yaitu pada 27 Juni 2022 Robison mendapatkan surat penetapan tersangka dan 3 hari kemudian ditahan di Polres Sangihe. “Sejak 30 Juni 2022 itulah Robison ditahan di Polres Sangihe,” kata Alfred.
Sejak ditahan 30 Juni 2022, Robison Saul pada putusan sidang terakhir 17 Januari 2023 Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tahuna, memutuskan 9 bulan penjara kepada Robison Saul.
Gerakan masyarakat menghadang alat berat PT. TMS akhirnya menarik perhatian pemerintah daerah yang saat itu kepemimpinan beralih ke Penjabat Bupati, dr. Rinny Tamuntuan. Pada 16 Agustus 2022. Penjabat Bupati mengeluarkan surat dengan nomor 540/3/2371 berisi penegasan kepada manajemen PT. TMS untuk tidak melakukan tindakan operasional apapun sampai ada keputusan hukum berkekuatan tetap.
Surat tersebut sebagai respon terhadap rekomendasi KOMNAS HAM no. 564/PK-HAM/VI/2022 tanggal 7 Juli 2022 yang dikirim kepada Gubernur Sulawesi Utara, Kapolda Sulawesi Utara dan Pj. Bupati Kepulauan Sangihe. Menyusul setelah itu yakni Surat nomor 237/KSP/D.1/07/2022 tanggal 26 Juli 2022 yang dilayangkan oleh Deputi I Kantor Staf Kepresidenan (KSP) kepada Gubernur Sulawesi Utara, Kapolda Sulawesi Utara, Bupati Kepulauan Sangihe, Kapolres Sangihe dan manajemen PT. TMS. Kedua surat tersebut berisi sama yakni meminta PT. TMS untuk menghentikan untuk sementara seluruh kegiatan operasionalnya hingga adanya keputusan hukum berkekuatan tetap.
“Ini merupakan perintah hukum yang harus dilaksanakan semua pihak melalui amar putusan PTUN tersebut mendapat putusan schorsing yang memiliki arti seluruh tindakan pelaksanaan putusan Pejabat PTUN terhenti oleh karena ditunda daya berlakunya,” kata Rinny Tamuntuan.
Dirinya kemudian berharap agar PT. TMS menghormati keputusan PTUN dan menghentikan kegiatannya sampai ada keputusan tetap. “Kami berharap semua pihak menahan diri sampai ada keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap agar tercipta situasi kondusif di Kabupaten Kepulauan Sangihe,” harap dia.
- TMS Kecewa
CEO PT. TMS Terry Filbert kecewa, dia mengatakan bahwa mereka dipersulit dalam membawa alat beratnya ke pulau Sangihe. Padahal PT. TMS menurut dia telah bekerja sama dengan Kementerian ESDM di Indonesia mendapatkan izin tambang.
Ia berujar bahwa ini akan menjadi preseden buruk berinvestasi di Indonesia khususnya di Sulawesi Utara. “Jadi sangat menyedihkan jika ada oknum-oknum yang melakukan aksi mengganggu perekonomian di Indonesia,” ujar dia melalui beberapa media.
“Ini akan menyulitkan Indonesia kedepannya untuk mendapatkan investasi asing,” pungkas Filbert.
Selang dari itu mereka kembali berulah, 17 Agustus 2022 dini hari, saat masyarakat di pulau perbatasan bersiap merayakan hari kemerdekaan RI, PT. TMS kembali memobilisasi alat beratnya dari Pelabuhan Pananaru. Namun informasi tentang mobilisasi tersebut telah terlebih dahulu di terima oleh masyarakat di sekitar lokasi rencana operasi produksi PT. TMS.
Sejumlah masyarakat dari berbagai kampung pun segera berkumpul di Kampung Bowone dan memaksa salah satu dari dua tronton yang membawa alat bor PT. TMS dan dikembalikan ke pelabuhan Pananaru.
Kemenangan Rakyat Sangihe
Perjalanan panjang penuh intrik dan konsekuensi ini menggema hingga ke meja Mahkamah Konstitusi (MK). Di rana izin lingkungan Mahkamah Agung (MA) menolak kasasi warga Pulau Sangihe atas izin lingkungan tambang emas PT Tambang Mas Sangihe (TMS).
Putusan ini diambil pada 22 Desember 2022 oleh Majelis Hakim yang diketuai oleh Irfan Fachruddin, dan dua hakim anggota, yakni Cerah Bangun dan Yodi Martono Wahyunadi.
Inisiator Save Sangihe Island (SSI), Jull Takaliuang, terkejut dan kecewa menurut dia putusan tersebut sangat cepat sebab permohonan kasasi baru masuk pada 18 November 2022. “Kami dan saya sendiri kecewa dan cukup stress dengan putusan MA ini. Karena begitu cepat kalau dipikirkan,” keluhnya.
Dijelaskannya proses banding banyak hambatan, ketika proses Sidang Pemeriksaan Setempat Gugatan Masyarakat Sangihe di PTUN Jakarta dan di PTUN Manado terhadap izin-izin pertambangan emas PT TMS dilakukan secara bersamaan dan terpadu oleh Majelis Hakim PTUN Jakarta, dan di waktu itu majelis hakim PTUN Jakarta sama sekali tidak menyentuh substansi pulau kecil yang merupakan pokok utama dalam perkara.
“Kami merasa ada proses yang janggal sejak di situ. Dan sekarang di MA juga sama. Tentu kami kecewa,” ucapnya dia sambil mengambil langkah selanjutnya melalui kuasa hukum warga Sangihe. Sementara itu diperkara yang lain soal izin usaha pertambangan MA resmi memenangkan perlawanan masyarakat Sangihe melalui penolakan kasasi Menteri ESDM perihal Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT. Tambang Mas Sangihe, yang dibacakan pada Kamis 12 Januari 2023.
“Amar putusan: tolak,” demikian amar putusan kasasi yang dibacakan oleh Majelis Hakim Agung Is Sudaryono, dikutip melalui situs Kepaniteraan MA, Senin (16/1/2023).
Alur perlawanan warga Sangihe terhadap peningkatan tahap produksi Kontrak Karya PT. Tambang Mas Sangihe (TMS) di Pengadilan Tata Usaha Negeri (PTUN) Jakarta, sejak 23 Juni 2021, dimana masyarakat Sangihe mengggugat Keputusan Menteri ESDM tentang peningkatan tahap Operasi Produksi PT.TMS ke PTUN Jakarta Pusat dengan nomor perkara 146/G/2021/PTUN Jakarta.
Melalui gugatan yang diajukan oleh Elbi Pieter dan 6 orang penggugat utama lainnya serta 30 orang penggugat intervensi menyampaikan bahwa luas wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT. TMS sebesar 42.000 hektar atau sekitar 57% dari luas pulau Sangihe. Pengalihan fungsi wilayah sebesar itu disebut mereka akan menyebabkan malapetaka yang sungguh kejam setara bencana alam yang berpotensi mengancam ruang hidup masyarakat lokal Sangihe.
Namun, Majelis Hakim PTUN Jakarta yang diketuai Akhdiat Sastrodinata menyatakan gugatan itu tidak diterima. Perkara 146/G/2021/PTUN Jakarta ini diputus (NO) pada tanggal 20 April 2022, dengan alasan PTUN tidak berwenang mengadili. Elbi Pieter dan para penggugat lainnya pun melakukan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negeri (PTTUN) Jakarta.
Perjuangan di meja persidangan PTTUN pun membuahkan hasil pada 31 Agustus 2022, melalui Putusan nomor 140/B/2022/PTTUN Jakarta Majelis Hakim PTTUN Jakarta memenangkan banding yang dilakukan oleh Elbi Pieter dkk untuk seluruhnya.
Atas dikabulkannya banding masyarakat Sangihe, Kementerian ESDM dan PT.TMS mengajukan Kasasi ke Makamah Agung tanggal 26 September 2022 melalui PTUN Jakarta. Kuasa Hukum Penggugat dan Penggugat Intervensi telah mengajukan Kontra Memori Kasasi pada tanggal 10 Oktober 2022 melalui PTUN Jakarta.
Alhasil, Kamis 12 Januari 2022 permohonan Kasasi Kementerian ESDM dan PT.TMS ditolak oleh Mahkamah Agung. Dengan ditolaknya kasasi tersebut maka melalui amar putusan banding masyarakat Sangihe sebelumnya. Majelis Hakim PTTUN Jakarta mengabulkan gugatan warga untuk seluruhnya; yaitu membatalkan Keputusan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral Nomor 163.K/MB.04/DJB/2021 tertanggal 29 Januari 2021 tentang Persetujuan Peningkatan Tahap Kegiatan Operasi Produksi Kontrak Karya PT Tambang Mas Sangihe.
Kemudian mewajibkan Terbanding I untuk mencabut Surat Keputusan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral Nomor 163.K/MB.04/DJB/2021 tanggal 29 Januari 2021 tentang Persetujuan Peningkatan Tahap Kegiatan Operasi Produksi Kontrak Karya PT Tambang Mas Sangihe.
Majelis Hakim juga menghukum Terbanding I dan Terbanding II untuk membayar biaya perkara di kedua tingkat pengadilan yang untuk tingkat banding ditetapkan sebesar Rp250.000.
Inisiator gerakan Save Sangihe Island (SSI) Jull Takaliuang, mengajak masyarakat untuk mengucap syukur kepada Tuhan yang menuntun perjuangan masyarakat Sangihe. “Ini adalah kemenangan rakyat Sangihe. SSI yang berjuang lahir bathin bersama semua pihak yang terlibat adalah alat yang dipakai Tuhan menyelamatkan ruang hidup orang Sangihe,” kata Takaliuang, Senin (16/1/2023).
Sebagai warga Sangihe bersama masyarakat yang berjuang melalui SSI menghanturkan rasa terima kasih kepada Majelis Hakim di MA yang menunjukkan sudah menegakkan hukum dengann benar yang menjamin rasa keadilan bagi rakyat kecil yang telah susah berjuang mempertahankan hak atas tanah dan ruang hidupnya. “Sekali lagi terima kasih Majelis Hakim,” ungkap Jull.
Ia pun meminta PT. TMS menghormati putusan Mahkamah Agung. Karena menurut dia dengan dibatalkannya IUP OP sebagai peningkatan ijin kontrak karya menerangkan bahwa semua ijin yang lain yang dimiliki secara otomatis sudah dibatalkan.
Saat berkunjung di Bowone, pria sepuh itu itu Agustinus Mananohas sedang mempersiapkan alat penangkap ikan. Profesinya tak menentu, sambil berkelakar ia mengatakan ia bisa di udara, lihai juga di laut. Usia 76 tahun tak menghambatnya, apalagi berjuang mempertahankan tanah leluhurnya. Setelah perjuangan panjang, ada jeda menunggu putusan pengadilan dan tetap siaga apabila sewaktu-waktu perusahaan kembali membawa alat berat ke kampungnya.
Kampung Bowone, berada di Kecamatan Tabukan Selatan Tengah, Kabupaten Kepulauan Sangihe. Di kampung inilah areal perusahaan rencananya akan melakukan produksi awal pertambangan. Areal itu pun tak jauh dari rumah Agustinus Mananohas.
Oleh sebab itu ia tak pernah alpa turun menghadang alat berat PT. TMS. Ia pun menjadi panutan bagi masyarakat, sebab di usianya yang senja itu pantang mundur melawan perusahaan yang mau masuk mengeruk kampung halamannya.
Opa Agust biasa orang memanggilnya. Ia heran dengan sikap pemerintah dan perusahaan khususnya PT. TMS, dimana menurutnya sudah ada peraturan dimana pulau di bawah 2000 kilometer persegi tidak boleh ditambang. “jadi kepercayaan saya kepada pemerintah mulai hilang,” kata dia terlihat kesal.
Sejak PT. TMS mulai memaksakan alatnya masuk di Kampung Bowone, Opa Agust berjanji tak akan mundur untuk mempertahankan tanah adat mereka. “Saya tidak bisa diam, lebih baik mati di jalan dalam berjuang dari pada harus terbaring di tempat tidur tanpa melawan hal-hal yang akan mencelakakan tanah leluhurku,” ungkap Mananohas yang juga merupakan tokoh adat di tempat itu.
Peliput : Rendy Saselah
Editor : Agustinus Hari
Tulisan ini merupakan hasil kolaborasi Barta1 dan Internews
Discussion about this post