Jull Takaliuang sudah dianggap legenda dalam saga melawan korporasi penambang di Sulawesi Utara. Dalam lingkup lebih kecil, Elbi Pieter dan Venetsia Andemora berani menyabung nyawa membebaskan pulau kecil mereka dari ancaman tambang emas.
Jauh dari benak Elbi Pieter untuk turun ke jalan; melakukan aksi demo, menghadang alat berat PT Tambang Mas Sangihe (TMS). Mulai kehadiran korporasi dari Kanada itu di Pulau Sangihe pada 2021, hidup perempuan itu berubah. Dari ibu rumah tangga dia jadi aktivis yang punya satu niat sederhana, menyelematkan ruang hidup keluarganya dari kerusakan akibat eksplorasi pertambangan emas.
Elbi dan keluarganya mengais hidup dari lahan pertanian di Kampung Bowone, juga turun ke laut menjaring ikan. Hasilnya terbukti lumayan; anak-anak bisa disekolahkan hingga ke Manado, ibukota provinsi yang jaraknya 12 jam lewat laut dari Bowone. Selain itu, dapur keluarga selalu mengepul.
PT TMS menawarkan impian masa depan indah untuk penduduk Pulau Sangihe. Investasi pertambangan bisa membawa keberuntungan untuk warga di lingkar tambang. Perekonomian meningkat. Bagi pemerintah Kabupaten Kepulauan Sangihe, tentu saja pendapatan daerah ikut terkena dampak signifikan. Tetapi bagi Elbi, perempuan dari Bowone itu, dampak mudaratnya justru yang terbayang di depan mata.
Elbi menyatakan kehadiran tambang justru akan membuat masyarakat Bowone kehilangan ruang hidup. Selama ini mereka selalu mengandalkan hasil perkebunan dan melaut, namun menambang emas bukanlah pilihan. Tambang akan merusak ekosistem lingkungan.
“Saya bayangkan, Bowone ditambang lantas kami mau pindah ke mana,” kata dia. “Saya minta semua pihak bantu kami warga Sangihe agar izin pertambangan ini bisa dibatalkan, karena sampai kapan pun saya akan tetap menolak operasinya di tanah kelahiran saya.”
Maret 2021 Elbi mengaku diundang sosialisasi pihak perusahaan bersama sejumlah warga. Saat itu dia mengetahui izin produksi pertambangan emas sudah terbit. Artinya PT TMS sekarang bisa dengan leluasa mengeksplorasi setiap jengkal tanah di kawasan lingkar tambang, termasuk Bowone, kampung yang ditinggali Elbi puluhan tahun.
“Saat itu saya kaget, bagaimana izin bisa keluar sementara kami masyarakat tidak pernah tahu, tak pernah dilibatkan pada rencana ini. Kan setidaknya untuk penambangan besar seperti ini suara warga harus didengar,” cetus Elbi.
Pada 23 Juni 2021, gugatan terhadap SK Menteri ESDM RI nomor 163.K/MB.04/DJB/2021 tentang Persetujuan Peningkatan Tahap Kegiatan Operasi Produksi Kontrak Karya PT Tambang Mas Sangihe tanggal 29 Januari 2021 di ayangkan ke PTUN Jakarta. Yang digugat adalah Menteri ESDM-RI dan tergugat intervensi PT Tambang Mas Sangihe.
Nama Elbi Piter masuk sebagai penggugat bersama 6 orang lainnya. Kemudian gugatan intervensi juga dilayangkan di pengadilan yang sama oleh Adelman Makadapa, warga desa Dagho Kecamatan Tamako bersama 29 warga lainnya yang kampung halamannya masuk dalam wilayah 42.000 Ha konsesi PT TMS.
Elbi bukan satu-satunya perempuan di lingkar tambang yang mengajukan hak hukumnya. Oktober 2021, Yultrina Pieter bersama 55 perempuan warga desa Bowone Kecamatan Tabukan Selatan Tengah melayangkan gugatan di PTUN Manado pada Kepala Dinas Penanaan Modal dan Perijinan Terpadu Satu Pintu Sulawesi Utara atas penerbitan izin lingkungan bagi PT TMS dengan nomor 503/DPMPTSPD/IL/IX/2020 tanggal 25 September 2020.
Izin lingkungan tersebut diduga diterbitkan dengan dasar dokumen AMDAL yang penyusunannya tidak melibatkan masyarakat. Selain itu, kejanggalan lain yang berujung gugatan terhadap izin lingkungan PT TMS dikarenakan empat orang dari pihak masyarakat yang menandatangani dokumen AMDAL PT TMS tidak ditetapkan melalui musyawarah kampung maupun kecamatan.
Tetapi gugatan hukum dan ruang peradilan belum menutup ruang gerak korporasi macam PT TMS untuk melakukan aksinya. Akhir 2021 hingga 2022 beberapa kali PT TMS coba menyusupkan alat berat dari Pelabuhan Pananaru ke lokasi eksplorasi, namun warga menghadang. Elbi Piter dan sejawatnya Venetsia Andemora juga hadir di situ.
Bersama warga, para perempuan pemberani dari lingkar tambang bertarung nyawa tak mengizinkan alat berat itu lewat agar tiba di titik operasi. Dengan keras mereka meminta pihak-pihak yang mengawal alat berat agar jangan melangkah lebih jauh karena gugatan masih berproses di pengadilan.
Seturut di jalan pedang dengan Elbi Pieter, Venetsia Andemora juga mengawal penolakan terhadap PT TMS dari Sangihe. Dia sering nampak dalam diskusi-diskusi dengan pihak penyelamat lingkungan. Venetsia nampak hadir bersama perwakilan masyarakat saat menemui petinggi pusat dan daerah. Dia lantang menyuarakan masa depan dan bayangan kesusahan pulau sekecil Sangihe apabila ditambang dengan metode open pit seperti yang akan dilakukan korporasi dari Kanada itu.
Dia meminta anggota legislatif di DPRD Sulawesi Utara untuk peduli, ikut menolak dan memikirkan nasib masyarakat.
“Karena itu saya minta bapak selaku anggota dewan dari dapil kami ikut turun lapangan membantu penolakan sekaligus mengedukasi masyarakat untuk tidak menjual lahannya,” pinta Venetsia pada Ronald Sampel, wakil rakyat dari daerah pemilihan Nusa Utara saat bertatap muka dengan perwakilan Save Sangihe Island, 10 Mei 2021 di gedung DPRD Sulawesi Utara.
“Kami masyarakat konsisten dengan perjuangan demi kehidupan di Kampung Bowone yang terancam tergusur jika perusahaan beroperasi. Sebab dalam rencana PT TMS kampung kami akan didirikan pabrik dan bangunan-bangunan lain, tetapi kami sendiri sebagai masyarakat yang berdiam di Bowone tidak pernah tahu tentang rencana ini, tidak pernah ada sosialisasi sebelumnya, tiba-tiba saja sudah datang membawa ijin lingkungan dan IUP di tangan mereka,” sebut Elbi dan Venetsia di hadapan hakim, dalam sidang di Pengadilan Tata Usaha Negeri Manado, Februari 2022.
Pemohon dalam perkara bernomor 57/G/LH/2021/PTUN.MDO itu adalah 56 perempuan dari Kampung Bowone dan Binebas Kepulauan Sangihe. Sedangkan tergugat masing-masing Kepala Dinas Penanaman Modal-PTSP Sulut sebagai Tergugat I, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Sulut sebagai Tergugat II dan PT Tambang Mas Sangihe sebagai Tergugat II Intervensi.
Dua tahun setelah perjuangan perempuan-perempuan di lingkar tambang, keadilan akhirnya menemukan jalannya. Pengadilan Negeri Tata Usaha Jakarta mengabulkan gugatan msyarakat Sangihe terhadap izin usaha PT TMS. Tak hanya itu pengadilan juga memerintahkan untuk membatalkan dan mencabut Surat Keputusan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral Nomor 163.K/MB.04/DJB/2021 tanggal 29 Januari 2021.
Putusan ini pun menjadi tanda awas bagi PT Tambang Mas Sangihe (TMS) untuk bersiap hengkang dari Pulau Sangihe di perbatasan Indonesia dan Filipina ini. Putusan Banding nomor 140/B/2022/PT.TUN.JKT Tanggal Putusan Banding, Rabu 31 Agustus 2022, dalam amar putusan menyatakan membatalkan Surat Keputusan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral Nomor 163.K/MB.04/DJB/2021 tanggal 29 Januari 2021 tentang Persetujuan Peningkatan Tahap Kegiatan Operasi Produksi Kontrak Karya PT. Tambang Mas Sangihe.
Selanjutnya, mewajibkan terbanding I untuk mencabut Surat Keputusan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral Nomor 163.K/MB.04/DJB/2021 tanggal 29 Januari 2021 tentang Persetujuan Peningkatan Tahap Kegiatan Operasi Produksi Kontrak Karya PT. Tambang Mas Sangihe.
Dalam eksepsinya menyatakan eksepsi dari Terbanding I dan Terbanding II tidak diterima dan dalam pokok perkara, Hakim PT TUN Jakarta Mengabulkan gugatan Para Pembanding I dan Para Pembanding II untuk seluruhnya serta Menghukum Terbanding I dan Terbanding II untuk membayar biaya perkara di kedua tingkat pengadilan yang untuk tingkat banding ditetapkan sebesar Rp.250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).
Dalam Amar Putusan Banding, PT.TUN Menerima permohonan banding dari Para Pembanding I dan Para Pembanding II. Membatalkan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 146/G/2021/PTUN.JKT tanggal 20 April. Selain itu, pengadilan juga mengabulkan permohonan penundaan pelaksanaan keputusan Terbanding I yaitu Keputusan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral Nomor 163.K/MB.04/DJB/2021 tanggal 29 Januari 2021 tentang Persetujuan Peningkatan Tahap Kegiatan Operasi Produksi Kontrak Karya PT. Tambang Mas Sangihe selama pemeriksa perkara sampai dengan adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap.
Jull Takaliuang dan Aksi Perlawanannya
Jull Takaliuang bukan aktivis yang dapat ditaklukan dengan pendekatan intimidatif. Sebagaimana sejawatnya di seluruh dunia, baginya perlawanan sejatinya kata kunci yang tak akan luruh bahkan di hadapan moncong bedil.
“Saya bukan staf khusus atau Kadis bawahan gubernur yang bisa dimarahi di depan banyak orang. Saya tidak punya kepentingan politik, tidak ingin naik jabatan apapun, saya hanya berjuang untuk keselamatan dan ruang hidup masyarakat Sangihe,” ungkap Jull di hadapan massa pengunjuk rasa yang menunggunya di jalan raya tak jauh dari portal hotel Dialoog Tahuna, Kabupaten Sangihe pada Jumat, 28 Januari 2022.
Pernyataannya itu disampaikan pasca-penyerahan dokumen pernyataan sikap menolak tambang yang dikelola PT Tambang Mas Sangihe yang berencana menggaruk lahan berdasarkan konsesi dalam kontrak karya seluas 42.000 hektare atau lebih dari setengah pulau Sangihe itu kepada gubernur Sulawesi Utara, Olly Dondokambey.
Sekitar enam bulan kemudian yakni pada Kamis, 2 Juni 2022 hakim Pengadilan Tata Usaha Negeri Manado (PTUN) Manado yang mengadili perkara ini memutuskan Gugatan dengan nomor 57/G/LH/2021/PTUN.Mdo oleh Yultrina Pieter bersama 55 perempuan asal desa Bowone kecamatan Tabukan Selatan Tengah, Kabupaten Kepulauan Sangihe, terhadap Keputusan Kepala Dinas Penanaman Modal dan Perijinan Terpadu Satu Pintu Sulawesi Utara dikabulkan oleh Pengadilan Tata Usaha Negeri (PTUN) Manado.
Pasca pembatalan Izin Lingkungan dan penghentian kegiatan PT.TMS lewat keputusan PTUN Manado, selaku salah satu inisiator gerakan Save Sangihe Island (SSI), Jull Takaliuang cukup berlega bersama ribuan orang yang sama-sama berjuang menolak tambang yang dikelola PT Tambang Mas Sangihe. Ia menyatakan, perjuangan masyarakat Sangihe telah didengar oleh Tuhan. Ia berharap putusan tersebut akan semakin mengokohkan solidaritas perjuangan masyarakat Sangihe menolak PT. TMS.
“Ini adalah hasil dari perjuangan kita semua, Tuhan maha mendengar, Ia membalas dengan indah pada waktunya. Karena itu, tetap teguh, tetap konsisten. Perjuangan masih panjang. Kemenangan ini adalah pecut motivasi untuk semakin mengokohkan persaudaraan kita untuk mempertahankan tanah leluhur, Sangihe I kekendage,” kata Jull.
Di medan perlawanan, menggertak aktivis setara dengan menggertak seekor harimau, dan Jull Takaliuang bukan orang baru dalam aksi-aksi perlawanan semacam itu. Sudah lama bagi masyarakat korban tambang, Jull Takaliuang dipandang sebagai pahlawan. Ini sebabnya, dari Desa Buyat di Bolaang Mongondow Timur, Desa Tiberias Kabupaten Bolaang Mongondow hingga pulau Bangka Kabupaten Minahasa Utara, orang-orang menaruh respek pada tokoh perempuan Sulut asal Sangihe ini.
Di masa sebelumnya, andaikata ia lalai selangkah, Pulau Sangihe telah dilalap tambang pasir besi pada puluhan tahun silam. Tapi Jull Takaliuang bukan aktivis lingkungan yang mudah dikecoh. Kepiawaian dan kegigihannya melawan rongrongan korporasi besar yang semena-mena mengeksploitasi lingkungan, membuat perusahaan tambang pasir besi asing mengurungkan niatnya di Sangihe.
Sejak tahun 2004 ia telah intens melakukan advokasi lingkungan bersama Yayasan Suara Nurani di program perempuan. Kemudian mengadvokasi kasus Buyat. Setelah advokasi di Buyat, ia terlibat advokasi warga di sekitar tambang Maeres Soputan Mining (MSM).
Selain itu, ia menangani kasus ilegal logging di Desa Lihunu, pulau Bangka. Waktu itu warga kekurangan air, tiba-tiba ada yang melakukan ilegal logging sekitar tahun 2005-2006. “Dari kasus-kasus tadi, saya melihat luar biasanya berperang melawan korporasi. Karena, mereka menggunakan seluruh kekuatan untuk menyerang balik perjuangan kami,” kata Jull.
Di Tengah Badai Teror
Jull Takaliuang adalah salah satu dari deretan perempuan cerdas Sulawesi Utara. Sosok perempuan sederhana dan bersahaja ini, termasuk aktivis yang tak mengenal takut. Tak sedikit terror, ancaman pembunuhan dan pelecehan yang dialaminya. Ia tetap kokoh, tak goyah memperjuangkan hak-hak masyarakat yang terpinggirkan. Ia bekerja keras memberdayakan dan mendidik masyarakat yang terabaikan di Sulawesi Utara.
“Saya pernah dicekik oleh anggota paramiliter saat kasus Buyat di tahun 2007. Kemudian, di kasus MSM, saya jadi tahanan rumah. Pernah diserempet hingga nyaris masuk got. Mobil saya juga pernah diancam dibakar,” ujarnya. Takutkah dia? “Rasa takut hanya akan membuat kita tidak bisa berbuat apa-apa. Namun, kita tetap perlu waspada,” kata Jull.
Selain konsisten mengabdikan dirinya dalam membela hak-hak kaum tertindas dan kepentingan masyarakat umum, di mata para perempuan dan anak Sulawesi Utara, Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Sulut dan Satgas Masalah Perempuan Sulut, dipandang sebagai penolong mereka. Ia selalu berada di tengah persoalan kekerasan pada anak dan kaum perempuan. Ia membela mereka, menolong mereka, menghibur mereka. Dan mereka semua mencintainya.
Maka tak heran apabila Benni E. Matindas –Budayawan, penulis buku-buku filsafat dan tata Negara—asal Sulawesi Utara menilai sosok Jull Takaliuang figur yang paling paripurna dari aspek integritas.
“Jull Takaliuang sudah terbukti setia mengabdi untuk Sulawesi Utara. Ia konsisten, berani dan cerdas memperjuangkan kepentingan orang banyak. Sudah seIama bertahun-tahun ia berjuang di semua lini, dari pemberdayaan ekonomi rakyat kecil, pelestarian lingkungan hidup, advokasi hak-hak rakyat yang terpinggirkan, perjuangan untuk perlindungan perempuan dan anak-anak,” kata Benni Matindas.
Perjuangan Jull Takaliuang membela kaum perempuan, anak, dan masyarakat miskin selain telah meraih penghargaan tingkat nasional, perjuangannya itu telah mengantar dia ke panggung Internasional. Tepatnya di kantor PBB, New York City, sosok perempuan Sulut ini menerima penghargaan N-Peace Awards 2015 dalam kategori Untold Stories: Woman Transforming their Communities. Penghargaan N-Peace Awards dari PBB ini merupakan penghargaan untuknya sebagai perempuan yang memperjuangkan perdamaian dan menciptakan perubahan dari akar rumput, hingga tingkat nasional di Asia.
Menghadang Korporasi Besar
Berperang melawan korporasi besar tidaklah mudah. Namun kegigihan perlawanan yang ditunjukan sosok aktivis satu ini tak dapat dipandang sebelah mata. Kendati di tingkatan lokal hingga nasional ia sering dianggap sebagai musuh, karena menolak pembangunan yang berdampak buruk bagi lingkungan dan masyarakat serta dipandang berseberangan dengan pemerintah, namun di dunia internasional perjuanganya mendapatkan apresiasi.
“Selama konsep kesejahteraan antara pemerintah dengan masyarakat tidak ketemu, di situ akan terjadi persoalan. Di situ pula saya melawan,” ungkapnya.
Dikatakannya, pertambangan memiliki dampak yang bisa merasuk ke semua sendi kehidupan. Setelah lingkungan rusak, manusia juga akan terkena dampaknya. Ini sebabnya kata dia, penting tetap ada orang yang konsisten, dan berkomitmen berjuang menyelamatkan lingkungan. Kalau tidak tulus, maka tidak pernah ada advokasi untuk masyarakat yang berjalan baik.
Kendati banyak klaim mengatakan bahwa industri pertambangan identik dengan investasi dan mendatangkan keuntungan bagi masyarakat. Justru menurutnya dengan adanya tambang, masyarakat akan kehilangan keseimbangan
“Saya tidak pernah lihat keuntungannya. Kalau merugikan, iya. Masyarakat hanya dijanjikan bahwa tambang akan membuka lapangan pekerjaan, meningkatkan kesejahteraan, akan membuka akses jalan. Saya tidak melihat adanya kesempatan masyarakat untuk bertumbuh sesuai dengan kemampuannya,” kritik dia.
Mari kita lihat, lanjut dia, di mana transparansi royalti pertambangan? Siapa yang terima dan dimanfaatkan untuk apa? “Kalau bicara royalti pertambangan, saya tidak yakin. Lihat saja di daerah-daerah lain yang banyak industri pertambangannya, Kalimantan, Bangka-Belitung hingga Papua, sejauh mana masyarakat di sana sejahtera,” tantang Jull.
Bukan berarti kita tidak mensyukuri tambang yang ada, katanya, tapi di saat teknologi kita belum bisa mereduksi dan mengatasi dampak buruk tambang bagi lingkungan dan masyarakat, kenapa harus dipertahankan? “Sekarang masih ada sektor-sektor yang lebih ramah lingkungan yang bisa dimajukan. Di Sulut, misalnya, potensi perikanan bisa mencapai Rp 900 miliar per tahun. Itu belum dikembangkan,” ujarnya.
Menurut Jull, hingga saat ini, masyarakat masih harus terus banyak berjuang supaya keadilan bisa diperoleh, karena mafia hukum ada di mana-mana. (*)
Penulis: Rolandy Dilo
Tulisan ini merupakan hasil kolaborasi Barta1 dan Internews
Discussion about this post