Pada suatu Kamis, di awal bulan Juni tahun 2021, Adrey Laikun, dengan mata berkaca-kaca memandang kedua orang tuanya yang nampak gembira merayakan HUT pernikahan mereka yang ke-50 tahun. Sebuah perayaan sederhana dihadiri para kerabat dan tetangga di rumah pulau yang jauh dari bayangan mewah.
Tapi hari itu adalah hari baik dan istimewa untuk sepasang orang tua yang hidup dalam kesederhaaannya. Bagi mereka, kemeriahan itu adalah sesuatu yang berada di dalam hati bukan keramaian di kastil milik orang-orang berlebih.
Dengan mengingat anak tertua Enice Laikun telah menjadi pendeta yang melayani masyarakat di pedalaman Papua, si bungsu Adrey Laikun duduk sebagai salah satu pimpinan dewan kota Manado, anak menantu Meike Meylani Polii juga seorang pendeta di jemaat Treman, lalu suara indah para cucu memanggil mereka Oma Opa, telah menjadi sesuatu yang cukup untuk dirayakan dengan penuh syukur di tengah HUT pernikahan ke 50 tahun.
Karena bagi mereka sebagaimana sitir pengamsal dalam bible: Bahwa orang yang disebut berbahagia itu adalah mereka yang telah melihat anak dari anak-anaknya.
Selebihnya hari-hari mereka adalah hari-hari orang pulau yang merayakan suara ombak mendebur di pesisir yang tak jauh, dengkur burung yang tidur, bunyi gerisik daunan terterpa angin laut malam hari, dan pertarungan hidup yang keras di siang hari untuk sekadar mencari makan untuk sehari.
Baca Juga: Biografi Adrey Laikun ST Sang Legislator Nasdem (1) : Anak Pulau, Anak Pesisir
Begitu suasana hidup di pulau Bunaken. Negeri berjuluk surga parwisata Taman Nasional Bunaken. Kawasan pesiar yang telah menjadi ikon pariwista Sulawesi Utara karena keindahan alam bawah lautnya yang memiliki ekosistem terumbu karang yang sangat kaya dengan 390 spesies terumbu karang yang membentang di area laut seluas 11.709 hektare, dengan 68 ganera, serta mengoleksi lebih dari 2.000 spesies ikan karang, 200 spesies moluska, dan 8 spesies mamalia laut.
Mendatangi perkampungan masyarakat Bunaken, waktu seakan mundur ke belakang. Kehidupan masyarakat di sini tak sekemilau kawasan daratan Kota Manado, kendati jaraknya dapat dimetaforkan sekadar sepelempar batu dari kedua tepi.
Pemandangan keseharian penduduk di bumi para turis itu, seperti ruang belakang dari sebuah rumah mewah tempat segala perabot dan hal-hal usang disimpan dan dibiarkan. Entah bagaimana ketimpangan pembangunan ini tak disadari pemerintah. Tak ada lahan bahkan untuk pekuburan umum, hingga yang meninggal harus dikebumikan di lahan milik penduduk bahkan di halaman-halaman rumah.
Berharap meraup hidup ke laut sudah sangat terbatas karena telah dikelilingi sejumlah area yang terlarang untuk nelayan. Berharap berladang tumpang sari, kini kebijakan hutan lindung siap memagar. Lalu ke mana mereka bergantung harap membijaksanai hidup yang terlanjur melarat.
Di bulan Juli tahun 2018, ada penelitian tentang “Nilai Ekonomi Wisata Pulau Bunaken Berdasarkan Travel Cost Method” yang dilakukan kelompok peneliti dari Universitas Sam Ratulangi. Dari hasil penelitian yang dipublikasi Jurnal Ilmiah Platax itu disebutkan total nilai ekonomi Pulau Bunaken adalah sebesar Rp. 257.262.425.875.
Nilai ini diharapkan akan memberikan efek yang signifikan bagi pertumbuhan sosial ekonomi khususnya masyarakat Pulau Bunaken. Nilai itu tentu baru salah satu pendapatan dari sekian banyak sektor pendapatan dari pemasaran pariwisata Bunaken. Tapi apa yang terjadi di Bunaken, apa dampak dari pendapat miliaran rupiah itu bagi penduduk?
Datanglah ke ke Bunaken, saksikan sendiri keseharian hidup penduduk di sana, dan susunlah sendiri cerita semacam apa yang ingin anda paparkan. Tapi jangan kuatir, sebagaimana hidup orang-orang pulau, mereka telah melewati beragam tangan hidup untuk menjadi manusia yang baik.
Itu yang disaksikan Adrey Laikun pada airmuka kedua orang tuanya di HUT pernikahan ke-50 tahun yang dirayakan dengan cara mereka. Cara orang-orang bawah memandang hidup sebagai sesuatu yang patut dirayakan.
Menyaksikan peristiwa yang mengharukan itu, ujar seorang jurnalis, mengingatkan kita kepada keteladanan Francisco Pizarro, saat seorang anak muda Peru meneteskan air mata untuknya. Kejadian tersebut terjadi saat penyambutan kedatangan sang Pahlawan itu setelah pertempuran paling sengit dalam sejarah Peru pada 5 abad lampau, yang berhasil dilalui dengan kemenangan merebut Ibu Kota Kerajaan Inca di Cuzco pada 15 November 1532.
Dua peristiwa ini menegaskan bahwa setiap manusia memiliki pahlawan dalam hidupnya. Dan hal terbesar diwariskan seorang pahlawan adalah keteladanan.
Dan keteladanan benar-benar sesuatu yang istimewa bagi Adrey Laikun saat memandang kedua orang tuanya. Karena membayangkan apa yang dilakukan kedua orang tuanya dalam 50 tahun usia perkawinan seakan membayangkan sebuah aquarium berisi sepasang arwana.
Saat betinanya bertelur, sang jantan melindungi telur-telur itu di dalam mulut. Sejak itu ia mengatupkan mulutnya, menahan lapar, membatasi gerak selama 50 hari hingga telur-telur itu menetas menjadi anak-anak arwana. Lalu menjaga mereka hingga menjadi arwana-arwana yang dewasa. Sebuah ritus kehidupan yang menakjubkan untuk diteladani.
Baca Juga: Biografi Adrey Laikun ST Sang Legislator Nasdem (2): Cinta Dalam Sekotak Abon
Demikian keteladan dipandang sebagai dunia makna yang dalam perspektif filsafat hermeneutika dapat diinterpretasi sebagai dunia makna dari masa lalu, yang selalu dapat dihadirkan kembali sebagai penuntun jalan dalam mewujudkan masa depan.
Sudah disentil sebelunya, di masa kecil sebagaimana perangai anak-anak pulau dan pesisir, Adrey Laikun, tak lebih dari seorang anak yang suka memanjat pohon tinggi, main dan berenang di laut, berperahu, bahkan tukang berkelahi.
Saat remaja yang dilewatinya di perkampungan pesisir Sindulang, ia menjadi bagian dari kelompok geng anak muda yang suka tarkam (Tawuran Antar Kampung). Di masa SMA, Adrey termasuk siswa pelanggan panggilan konselor ruang BK (Bimbingan dan Konseling) akibat adu jotos dengan sesama siswa.
Tapi mengapa ia mampu berubah? Mengapa ia mampu membangun lekuk hidupnya ke jalan yang lebih baik? Semua itu tak lain karena kehadiran seorang pahlawan dalam hidupnya. Sosok yang mengabdikan seluruh hidup untuk menampilkan apa yang disebut keteladanan.
“Ayah dan ibu adalah pahlawan saya. Keteladanan mereka tak dapat digambarkan dengan kata-kata,” ujar Adrey ketika itu. Mereka yang mengajarkan budi pekerti, mereka menghabiskan seluruh hidup untuk merawat, mendampingi, mendidik dan menyekolahkan saya tanpa sedikit terdengar keluhan.
“Tanpa keteladan mereka, saya bukan apa-apa,” ungkapnya. Dan hal yang tak dapat dilupakan dari kedua orang tua saya yaitu pesan mereka agar selalu membantu masyarakat. “Keteladanan mereka telah menjadi cermin jiwa bagi saya.” Adrey pun belajar keteladatan dari cara-cara hidup orang-orang pulau yang sedernana tapi tangguh membijaksanai hidup, saling tolong menolong dan menghargai satu sama lain.
Keteladanan itulah menurut Adrey Laikun yang menjadi menara api bagi dia di jalan politik bahkan saat menjalani tugas-tugas yang penuh tantangan di legislatif. Ia tak mau terbelenggu oleh keterbatasan dan pembatasan.
Untuk memperjuangkan kepentingan rakyat ia harus ikhlas berkorban, sebagaimana sikap orang tuanya yang gembira menjalani dan memperjuangkan hidup keluarga dan masyarakat di sekitarnya dengan tanpa keluh-kesah.
Inilah yang tak banyak diketahui orang dari kiprah Adrey Laikun di dunia politik Kota manado. Seperti Pizarro, yang gembira memimpin pasukan kecilnya yang hanya 200 tentara menuju medan perang melawan puluhan ribu pasukan Inka. Sesuatu yang riskan menurut logika. Sesuatu yang diragukan oleh banyak orang. Tapi bagi mereka yang memiliki jiwa mau berkorban untuk sesuatu yang mulia, tak ada yang menakutkan mereka.
Itu yang dilakukan manusia semacam Pizarro di Peru, Soekarno-Hatta dan Surya Paloh di Indonesia. Meski sebagaimana yang dituai Pizarro, di mana saat kemenangan besar diraih negara Peru, yang didapatkannya tak lebih dari air mata kagum seorang anak muda.
Begitu Adrey memperjuangkan nasib rakyat lewat fungsi dan tugasnya sebagai legislator dengan gembira. Sebuah kegembiraan yang hanya dimiliki oleh mereka yang paham akan pentingnya makna keteladanan. Sebuah sikap yang ia timba dari ruang keluarga, di mata kaum-kaum sederhana dan dalam sejarah luhur para pemimpin bangsa.
Dalam perspektif ilmu politik seperti dikemukakan para ahli, keluarga atau lebih khususnya orang tua dipandang memiliki peran yang sangat penting dalam membentuk karakter berpolitik individu sejak mereka kecil, karena dengan begitu saat nanti individu mulai beranjak dewasa individu sudah memiliki pola pikir yang matang dan cermat untuk bisa mengambil keputusan dan berpartisipasi secara langsung dalam ranah politik.
Keluarga memiliki pengaruh penting pada struktur sekunder politik. Sebagai determinant factor atau faktor penentu, keluarga atau orang tua pasti menjadi panutan bagi individu. Mulai dari cara bertutur kata, cara menghadapi masalah, sampai dengan minat mereka terhadap politik.
Peran keluarga atau orang tua dalam pendidikan politik tidak lain adalah untuk memberikan pemahaman kepada individu tentang hak dan kewajiban, serta tanggung jawab dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hingga individu beranjak dewasa, individu harus memiliki kesadaran sendiri mengenai hak dan kewajibannya sebagai warga negara.
Dalam buku “Mari Bung Rebut Kembali” yang merupakan kumpulan pidato inspirasi Surya Paloh, sang penggagas restorasi, keteladanan adalah sebuah diksi penting –untuk menghidar disebut dikeramatkan— Partai Nasdem. Keteladanan adalah jiwa dan pandangan kaum pergerakan Nasional Demokrat dalam mengawal dan menjaga marwah Bangsa dan Negara Republik Indonesia sejak ormas ini dicetuskan Surya Paloh dan Sri Sultan Hamengkubuwono X yang dideklarasikan oleh 45 tokoh nasional di Istora Senayan, Jakarta pada 1 Februari 2010.
Mengapa keteladan menjadi menjadi kosa kata yang memiliki daya bentuk bagi diri seseorang bahkan bagi pemertahanan kehidupan bangsa dan negara? Sebagaimana pandangan Francisco Pizarro, Adrey Laikun memandang keteladan adalah kata yang hanya bermakna apabila diwujudkan dalam tindakan nyata. Sebuah tindakan yang menginspirasikan kebaikan.
“Saya tidak berasal dari keluarga yang kaya. Ayah saya adalah seorang guru sederhana yang yang mengabdi di pulau di dampingi ibu yang mengurus keluarga. Keluarga kami tidak berlebih secara ekonomi, tapi ayah dan ibu selalu tak kekurangan kasih sayang dalam membantu keluarga dan sesama. Mereka tak mengeluh sedikit pun dalam menyekolahkan saya dan kakak saya hingga ke perguruan tinggi. Semua mereka lewati dengan optimis dan bahagia. Itulah keteladanan yang saya petik dari orang tua saya,” ungkap Adrey.
Keteladanan di jalan politik, kata Adrey Laikun, juga ia petik dari sikap Surya Paloh, sang penggagas gerakan restorasi Indonesia yang dalam hidupnya selalu jujur dalam bertutur dan cerdik dalam membaca tanda-tanda zaman. Ia tokoh politik dan pers yang selalu tampil dengan penuh gairah, semangat dan nasionalisme. Ia memiliki integritas dan kejujuran yang jauh dari sifat kemunafikan. Ia menjalankan tugas suci politik sebagaimana didefinisikan Aristoteles dalam ranah teori sebagai usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama.
Surya Paloh membangun gerakan restorasi dan mengarahkan seluruh energi politik lewat Partai Nasdem untuk melawan perangai politik yang telah menjelma sebagai tangan kotor yang bekerja tanpa etika. Politik yang telah diterjemahkan kedalam ragam yang suram sebagaimana kritik Goenawan Mohamad yaitu politik yang merupakan janji petai-hampa, senyum yang diperhitungkan, salam yang dicari efeknya, rangkulan yang tak ikhlas. Politik itu bujukan, tipuan, ancaman, juga suap.
Keteladan Surya Paloh ini penting dipahami, dimengerti dan diterapkan dalam cara-cara berpolitik semua kader Nasdem dalam membawa keluar masyarakat kita dari perangkap dehumanisasi.
Dalam “The Revolution of Hope” (Revolusi Pengharapan) yang terbit tahun 1968, filsuf Jerman Erich Fromm menggambarkan masyarakat yang terdehumanisasi adalah manusia yang bergerak secara cepat dan memiliki rutinitas yang perlahan namun pasti melunturkan esensi kemanusiaannya. Masyarakat yang tak lebih sekelompok mesin yang secara sosial dan ekonomi, berada di bawah kontrol tatanan dan kekuatan segelintir orang yang memiliki modal dan kekuasaan.
Birokrasi yang kapitalis ini mentrasformasikan sebuah situasi di mana manusia akan berhenti menjadi manusia, padahal harusnya setiap individu memiliki nature untuk hidup penuh dengan cinta, keharmonisan dan produktif.
Sebagaimana yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia, maraknya fenomena korupsi, ekses demokrasi, oligarki, telah menciptakan sebuah masyarakat yang sakit. Mereka hidup dalam ketidakpercayaan, kecurigaan dan permusuhan yang menghambat pertumbuhan pribadi-pribadi di dalamnya untuk hidup penuh dengan cinta, keharmonisan dan produktif.
Padahal impian bersama yang melandasi perjuangan Otonomi Daerah tak lain adalah sebuah masyarakat yang sehat. Masyarakat yang membiarkan anggota-anggotanya untuk hidup penuh dengan cinta, kreatif dan akhirnya produktif seperti digambarkan Fromm dalam The Sane society.
Demikian pacaran keteladanan perjuangan Surya Paloh, lewat gerakan restorasi kata Adrey, sebagai sebuah upaya penuh kesadaran untuk mengembalikan kejayaan bangsa yang pernah ada atau menghadirkan kembali nilai-nilai penting yang luhur atau berharga untuk menandai identitas suatu bangsa. Karena ia percaya bahwa jalan restorasi Indonesia dapat membawa titik terang-benderang bagi Republik Indonesia dalam mencapai mimpi-mimpi para pendiri bangsa dan mimpi-mimpi kita bersama.
“Hidup itu anugerah Tuhan,” ujar Adrey. Anugerah itulah yang kini tersandera dalam kutuk kekuasaan politik yang disalahartikan, hingga menjadi sekadar pemandangan dramatis yang seakan-akan politik itu sesuatu yang kotor dan kekuasaan adalah sesuatu yang tak berhati nurani. Dan di sinilah menjadi benar ungkapan filsuf Bertrand Arthur William Russell: “Masalah di dunia ini terjadi ketika orang bodoh terlalu yakin, dan orang pintar penuh dengan keraguan”. (*)
Penulis: Iverdixon Tinungki, Ryan Mamangkey dan TIM.
Discussion about this post