Oleh: Iverdixon Tinungki
Menonton monolog “Perempuan di Titik Nol” tak saja memberikan kita sebuah pengalaman estetik, lebih dari itu adalah pemahaman tentang apa yang dimaksudkan Immanuel Kant sebagai pulchritudo adhaerens atau keindahan yang terkonsep.
Namun pertama-tama saya harus mengucapkan salut sekaligus apresiasi yang mendalam terhadap kamampuan akting Gnadine Janis, aktor asal Sangihe yang memerankan tokoh Firdaus pada monolog yang dipertunjukan itu.
Meski baru berusia 19 tahun, gadis kelahiran 7 September 2003 ini punya pengalaman berperan dalam sejumlah pertujukan besar di antaranya lakon “Mak Comblang” karya Nicolai Gogol, “Pelacur” karya Putu Wijaya dan bentuk-bentuk pertunjukan teater tubuh.
Kendati ia mengaku agak nervous bermain di ruang cafe yang fasiltasnya terbatas, namun dengan pengalamannya berteater sejak masa SMP, ia berhasil memerankan tokoh Firdaus dengan begitu menarik, memikat dan penuh totalitas.
Itulah salah satu sisi menarik dari pertunjukan “Perempuan di Titik Nol”, selain aspek tematik dan alur dramatik yang menurut saya memerlukan bahasan yang agak detail.
Pada tahun 2001 saya membaca “Women in Parliament: Beyond Numbers” sebuah buku yang diterbitkan International IDEA pada tahun 1998. Buku tersebut menganalisis masalah gender serta partisipasi perempuan dalam pembangunan dan politik di 174 negara dunia.
Membutuhkan waktu 21 tahun baru saya bersua pertunjukan monolog “Perempuan di Titik Nol”, sebuah lakon yang diadaptasi dari novel karya Nawal El Saadawi, yang diperankan dengan begitu cemerlang oleh Gnadine Janis.
Pertunjukan produksi Sanggar Sariwang Tahuna yang berkolaborasi dengan Teater SMK Negeri 1 Tahuna yang disutradarai Fajar Gultom, S. Sn itu berlangsung pada Kamis malam, 16 Juni 2022 di OMMO Cafe, Tuminting, Manado.
Dari bacaan dan tontonan tersebut, saya dipertemukan dengan apa yang disebut patriarki sebagai sebuah kejahatan. Ini yang menari dari sisi tematik, selain unsur garapan dan aspek pemeranan yang penuh totalitas yang dipertontonkan aktor yang memerankan tokoh Firdaus malam itu.
Monolog Perempuan di Titik Nol sebagai karya adaptasi menceritakan perjalanan hidup Firdaus, seorang perempuan yang sejak kecil hidup di desa, tetapi ia menjadi seorang pekerja seks komersial setelah dewasa. Kehidupan Firdaus sangat menyedihkan, karena ia adalah perempuan yang dijadikan sebagai korban budaya patriarki. Firdaus terpaksa harus mendapatkan hukuman mati, karena telah membunuh seorang germo.
Dalam novel asli karya Nawal El Saadawi, latar belakang Firdaus detilnya diceritakan sebagai seorang perempuan Mesir yang memiliki seorang ayah yang bekerja sebagai petani miskin, yang tidak bisa membaca dan memiliki perilaku yang kasar. Firdaus sering kali mendapatkan perlakukan asusila dari temannya yang bernama Muhammadain dan pamannya.
Setelah kedua orang tuanya meninggal, Firdaus dirawat oleh pamannya di Kairo. Kemudian Firdaus melanjutkan sekolanya. Ia sangat pandai, dan selalu mendapatkan peringkat. Saat seharusnya Firdaus melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi, pamannya menikahkan Firdaus dengan seorang lelaki tua dan kaya raya, yang bernama Syekh Mahmoud.
Dalam rumah tangganya, Firdaus mengalami kekerasan dan mendapatkan perlakukan buruk oleh suaminya, yang menjunjung tinggi budaya patriarki. Akhirnya Firdaus kabur untuk melarikan diri. Dalam pelariannya, Firdaus bertemu dengan Bayoumi, seorang lelaki yang awalnya baik dan mengajak Firdaus tinggal serumah dengannya. Namun ternyata, Bayoumi juga memperlakukan Firdaus dengan sangat keras, seperti ayah dan suaminya. Bahkan Bayoumi juga melakukan tindakan asusila padanya, bersama dengan teman-temannya.
Keindahan Yang Terkonsep
Pada tingkat pertama Perempuan di Titik Nol menyajikan keindahan natural (pulchritudevoga) sekaligus kebenaran historis sebagai unsur instrinsiknya yaitu mengisahkan sisi gelap yang dihadapi perempuan-perempuan Mesir di tengah kebudayaan Arab yang kental dengan nilai-nilai patriarki yang menjadi titik pokok kritik Nawal El Saadawi lewat novelnya.
Pada tingkat kedua, Perempuan di Titik Nol telah melangkah ke apa yang disebut sebagai keindahan yang terkonsep atau keindahan yang mempunyai tujuan tertentu. Sebagaimana sifat sastra (novel) dan monolog (Drama) yang pada dasarnya memang bertujuan menghibur dan mengkritisi kehidupan lewat paduan aspek instrinsik dan ekstrinsik.
Pada tahapan tersebut, Perempuan di Titik Nol adalah sebuah kreasi atau kerja kreatif yang bertujuan menempatkan persoalan patriarki tak saja sebagai pergumulan sekelompok umat manusia di sebuah belahan dunia, tapi merupakan masalah penting umat manusia secara keseluruhan.
Dalam pergerakan dari keindahan natural ke keindahan artistik itulah peristiwa-peristiwa mengharukan dan mengesankan di ruang sejarah menjadi nilai yang patut direnungkan sekaligus diperbincangkan .
Terkait pandangan patriarki yang suram itu, dalam “Against Our Will: Men Women and Rape” Susan Brownmiller melontarkan kritik tajam bahwa dari masa prasejarah hingga sekarang, perkosaan telah memainkan fungsi yang kritikal. Ini tidak lebih dari proses intimidasi secara sadar, di mana semua laki-laki membuat semua perempuan dalam keadaan ketakutan.
Ketimpangan gender tersebut telah membuat perempuan lebih rentan menjadi korban kejahatan. Pada saat perempuan secara nyata menjadi korban kejahatan, maka kejahatan tersebut semakin mempertegas ketimpangan kekuasaan gender antara laki-laki dan perempuan.
Bahkan dalam pandangan feminisme radikal, kejahatan adalah sesuatu yang berakar dan bahkan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari budaya patriarki. Sebuah budaya yang menganggap laki-laki lebih utama sementara perempuan berada pada posisi subordinat. Perempuan dan anak di dalam keluarga, dilihat sekadar properti bagi laki-laki, tidak ubahnya kepemilikan terhadap harta benda.
Saat kehidupan perempuan masih terjebak di ruang privat dan domestik sebagaimana perspektif patriarki, maka isu gender tetap menjadi persoalan penting dan aktual dalam peradaban umat manusia.
Dan selebihnya bagi saya, menonton monolog Perempuan di Titik Nol yang disajikan grup teater dari Sangihe itu tak saja dipandang sebagai sebuah peristiwa kebudayaan, tapi sebuah perayaan terhadap sesuatu yang penting dalam kehidupan umat manusia yaitu HaK Asasi Manusia. (*)
Discussion about this post