Jull Takaliuang, bukan aktivis yang dapat ditaklukan dengan pendekatan intimidatif. Sebagaimana sejawatnya di seluruh dunia, baginya perlawanan adalah sejatinya kata kunci yang tak akan luruh bahkan di hadapan moncong bedil.
“Saya bukan staf khusus atau Kadis bawahan gubernur yang bisa dimarahi di depan banyak orang. Saya tidak punya kepentingan politik, tidak ingin naik jabatan apapun, saya hanya berjuang untuk keselamatan dan ruang hidup masyarakat Sangihe,” ungkap Jull di hadapan massa pengunjuk rasa yang menunggunya di jalan raya tak jauh dari portal hotel Dialoog Tahuna, Kabupaten Sangihe pada Jumat, 28 Januari 2022.
Pernyataannya itu disampaikan pasca-penyerahan dokumen pernyataan sikap menolak tambang yang dikelola PT Tambang Mas Sangihe yang berencana mengaruk lahan berdasarkan konsesi dalam kontrak karya seluas 42.000 hektare atau lebih dari setengah Pulau Sangihe itu kepada Gubernur Sulawesi Utara.
Sekitar enam bulan kemudian yakni pada Kamis, 2 Juni 2022 hakim Pengadilan Tata Usaha Negeri Manado (PTUN) Manado yang mengadili perkara ini memutuskan Gugatan dengan nomor 57/G/LH/2021/PTUN.Mdo oleh Yultrina Pieter bersama 55 perempuan asal desa Bowone kecamatan Tabukan Selatan Tengah, Kabupaten Kepulauan Sangihe, terhadap Keputusan Kepala Dinas Penanaman Modal dan Perijinan Terpadu Satu Pintu Sulawesi Utara dikabulkan oleh Pengadilan Tata Usaha Negeri (PTUN) Manado.
Pasca pembatalan Izin Lingkungan dan penghentian kegiatan PT.TMS lewat keputusan PTUN Manado, selaku salah satu inisiator gerakan Save Sangihe Island (SSI), Jull Takaliuang cukup berlega bersama ribuan orang yang sama-sama berjuang menolak tambang yang dikelola PT Tambang Mas Sangihe.
Ia menyatakan, perjuangan masyarakat Sangihe telah didengar oleh Tuhan. Ia berharap putusan tersebut akan semakin mengokohkan solidaritas perjuangan masyarakat Sangihe menolak PT. TMS.
“Ini adalah hasil dari perjuangan kita semua, Tuhan maha mendengar, Ia membalas dengan indah pada waktunya. Karena itu, tetap teguh, tetap konsisten. Perjuangan masih panjang. Kemenangan ini adalah pecut motivasi untuk semakin mengokohkan persaudaraan kita untuk mempertahankan tanah leluhur, Sangihe I kekendage,” kata Jull.
Di medan perlawanan, menggertak aktivis setara dengan menggertak seekor harimau, dan Jull Takaliuang bukan orang baru dalam aksi-aksi perlawanan semacam itu. Sudah lama bagi masyarakat korban tambang, Jull Takaliuang dipandang sebagai pahlawan.
Ini sebabnya, dari Desa Tiberias, Kabupaten Bolaang Mongondow hingga Pulau Bangka, Kabupaten Minahasa Utara, orang-orang menaruh respek pada tokoh perempuan Sulut asal Sangihe ini.
Di masa sebelumnya, andaikata ia lalai selangkah, Pulau Sangihe telah dilalap tambang pasir besi pada puluhan tahun silam. Tapi Jull Takaliuang bukan aktivis lingkungan yang mudah dikecoh.
Kepiawaian dan kegigihannya melawan rongrongan korporasi besar yang semena-mena mengeksploitasi lingkungan, membuat perusahaan tambang pasir besi asing mengurungkan niatnya di Sangihe.
Sejak tahun 2004 ia telah intens melakukan advokasi lingkungan bersama Yayasan Suara Nurani di program perempuan. Kemudian mengadvokasi kasus Buyat.
Setelah advokasi di Buyat, ia terlibat advokasi warga di sekitar tambang Maeres Soputan Mining (MSM). Selain itu, ia menangani kasus ilegal logging di Desa Lihunu, pulau Bangka. Waktu itu, warga kekurangan air, tiba-tiba ada yang melakukan ilegal logging, sekitar tahun 2005-2006.
“Dari kasus-kasus tadi, saya melihat luar biasanya berperang melawan korporasi. Karena, mereka menggunakan seluruh kekuatan untuk menyerang balik perjuangan kami,” kata Jull.
Di Tengah Badai Teror
Jull Takaliuang adalah salah satu dari deretan perempuan cerdas Sulawesi Utara. Sosok perempuan sederhana dan bersahaja ini, termasuk aktivis yang tak mengenal takut. Tak sedikit teror, ancaman pembunuhan dan pelecehan yang dialaminya.
Ia tetap kokoh, tak goyah memperjuangkan hak-hak masyarakat yang terpinggirkan. Ia bekerja keras memberdayakan dan mendidik masyarakat yang terabaikan di Sulawesi Utara.
“Saya pernah dicekik oleh anggota paramiliter saat kasus Buyat di tahun 2007. Kemudian, di kasus MSM, saya jadi tahanan rumah. Pernah diserempet hingga nyaris masuk got. Mobil saya juga pernah diancam dibakar,” ujarnya.
Takutkah dia? “Rasa takut hanya akan membuat kita tidak bisa berbuat apa-apa. Namun, kita tetap perlu waspada,” kata Jull.
Selain konsisten mengabdikan dirinya dalam membela hak-hak kaum tertindas dan kepentingan masyarakat umum, di mata para perempuan dan anak Sulawesi Utara, Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Sulut dan Satgas Masalah Perempuan Sulut, dipandang sebagai penolong mereka.
Ia selalu berada di tengah persoalan kekerasan pada anak dan kaum perempuan. Ia membela mereka, menolong mereka, menghibur mereka. Dan mereka semua mencintainya.
Maka tak heran apabila Benni E. Matindas –Budayawan, penulis buku-buku filsafat dan tata Negara—asal Sulawesi Utara menilai sosok Jull Takaliuang figur yang paling paripurna dari aspek integritas.
“Jull Takaliuang sudah terbukti setia mengabdi untuk Sulawesi Utara. Ia konsisten, berani dan cerdas memperjuangkan kepentingan orang banyak. Sudah seIama bertahun-tahun ia berjuang di semua lini, dari pemberdayaan ekonomi rakyat kecil, pelestarian lingkungan hidup, advokasi hak-hak rakyat yang terpinggirkan, perjuangan untuk perlindungan perempuan dan anak-anak,” kata Benni Matindas.
Perjuangan Jull Takaliuang membela kaum perempuan, anak, dan masyarakat miskin selain telah meraih penghargaan tingkat nasional, perjuangannya itu telah mengantar dia ke panggung Internasional.
Tepatnya di kantor PBB, New York City, sosok perempuan Sulut ini menerima penghargaan N-Peace Awards 2015 dalam kategori Untold Stories: Woman Transforming their Communities.
Penghargaan N-Peace Awards dari PBB ini merupakan penghargaan untuknya sebagai perempuan yang memperjuangkan perdamaian dan menciptakan perubahan dari akar rumput, hingga tingkat nasional di Asia.
Melawan Korporasi-korporasi Besar
Berperang melawan korporasi besar tidaklah mudah. Namun kegigihan perlawanan yang ditunjukan sosok aktivis satu ini tak dapat dipandang sebelah mata.
Kendati di tingkatan lokal hingga nasional ia sering dianggap sebagai musuh, karena menolak pembangunan yang berdampak buruk bagi lingkungan dan masyarakat serta dipandang berseberangan dengan pemerintah, namun di dunia internasional perjuanganya mendapatkan apresiasi.
“Selama konsep kesejahteraan antara pemerintah dengan masyarakat tidak ketemu, di situ akan terjadi persoalan. Di situ pula saya melawan,” ungkapnya.
Dikatakannya, pertambangan memiliki dampak yang bisa merasuk ke semua sendi kehidupan. Setelah lingkungan rusak, manusia juga akan terkena dampaknya. Ini sebabnya kata dia, penting tetap ada orang yang konsisten, dan berkomitmen berjuang menyelamatkan lingkungan. Kalau tidak tulus, maka tidak pernah ada advokasi untuk masyarakat yang berjalan baik.
Kendati banyak klaim mengatakan bahwa industri pertambangan identik dengan investasi dan mendatangkan keuntungan bagi masyarakat. Justru menurutnya dengan adanya tambang, masyarakat akan kehilangan keseimbangan
“Saya tidak pernah lihat keuntungannya. Kalau merugikan, iya. Masyarakat hanya dijanjikan bahwa tambang akan membuka lapangan pekerjaan, meningkatkan kesejahteraan, akan membuka akses jalan. Saya tidak melihat adanya kesempatan masyarakat untuk bertumbuh sesuai dengan kemampuannya,” kritik dia.
Mari kita lihat, lanjut dia, di mana transparansi royalti pertambangan? Siapa yang terima dan dimanfaatkan untuk apa?
“Kalau bicara royalti pertambangan, saya tidak yakin. Lihat saja di daerah-daerah lain yang banyak industri pertambangannya, Kalimantan, Bangka-Belitung hingga Papua, sejauh mana masyarakat di sana sejahtera,” tantang Jull.
Bukan berarti kita tidak mensyukuri tambang yang ada, katanya, tapi di saat teknologi kita belum bisa mereduksi dan mengatasi dampak buruk tambang bagi lingkungan dan masyarakat, kenapa harus dipertahankan?
“Sekarang masih ada sektor-sektor yang lebih ramah lingkungan yang bisa dimajukan. Di Sulut, misalnya, potensi perikanan bisa mencapai Rp 900 miliar per tahun. Itu belum dikembangkan,” ujarnya.
Menurut Jull, hingga saat ini, masyarakat masih harus terus banyak berjuang supaya keadilan bisa diperoleh, karena mafia hukum ada di mana-mana. (*)
Penulis/ Editor: Iverdixon Tinungki
Discussion about this post