Oleh: Alfred Pontolondo
Secara berulang, CEO PT. TMS Terry Filbert mengumbar pernyataan yang mengandung kebohongan melalui pemberitaan media massa, terkait keberadaan perusahaan tambang yang dipimpinnya.
Kali ini, kebohongan kembali diumbar melalui pemberitaan oleh sebuah media massa online yang terbit pada 27 Mei 2022. Dalam berita online tersebut, CEO PT.TMS Terry Filbert meyatakan bahwa PT. TMS hanya akan menambang di areal sebesar 110 Ha selama 30 tahun, dan bahwa dalam operasinya tidak akan merusak lingkungan. Ia pun menyatakan bahwa PT. TMS telah memenuhi persyaratan yang diwajibkan oleh pemerintah Indonesia terkait perijinan tambang.
Mari kita bedah satu persatu pernyataan yang mengandung pemutarbalikan fakta dan menjurus pada pembodohan publik ini, dengan membandingkannya sesuai fakta yang ada serta berdasarkan data dokumen resmi terkait perizinan PT. TMS.
Pertama, PT. TMS mendapatkan persetujuan peningkatan tahap Kegiatan Operasi Produksi dari Kementerian ESDM RI berdasarkan SK nomor 163.K/MB.04/DJB/2021 tanggal 29 Januari 2021, di wilayah seluas 42.000 Ha dengan masa produksi 33 tahun. Masa 33 tahun ini saja sudah bertentangan dengan pasal 47 ayat 1 UU 3 2020 tentang Mineral dan Batubara yang mensyaratkan bahwa jangka waktu kegiatan operasi produksi pertambangan mineral logam paling lama 20 tahun dan dapat diperpanjang masing-masing selama 10 tahun. Artinya terjadi pelanggaran UU dalam pemberian jangka waktu kegiatan operasi produksi PT. TMS.
Kedua, Konsesi yang diberikan kepada PT. TMS di pulau Sangihe adalah sebesar 42.000 Ha mencakup 7 kecamatan dan 80 kampung. Artinya setiap saat di masa 33 tahun PT. TMS bisa melakukan kegiatan operasi produksi di wilayah mana pun di areal 42.000 Ha, dan bukan 110 Ha seperti yang ia nyatakan.
Ketiga, pada dokumen yang diserahkan langsung oleh Menteri ESDM-RI Arifin Tasrif kepada perwakilan masyarakat Sangihe yang datang menemui Menteri pada 28 April 2021 di kantor Kementerian ESDM-Ri Jakarta, tertera bahwa wilayah prospek PT. TMS adalah seluas 4.500 Ha di wilayah Bowone, Binebase, Sade dan Kupa. Ini membantah pernyataan yang dilontarkan Terry bahwa yang akan ditambang hanyalah seluas 110 Ha.
Keempat, PT. TMS mendapatkan persetujuan Keputusan Kelayakan Lingkungan dari Dinas Penanaman Modal Dan Perijinan Terpadu Satu Pintu Provinsi Sulawesi dengan nomor 503/DPMPTSPD/REKOM/181/IX/2020 tanggal 25 September 2020, dengan luas ijin lingkungan sebesar 65,48 Ha. Namun kami mendapati bahwa PT. TMS telah membongkar wilayah di antara kampung Bowone dan Salurang yang sama sekali tidak termasuk dalam peta ijin lingkungan. Ini jelas-jelas adalah pelanggaran terhadap ijin yang diberikan.
Kelima, Dokumen AMDAL yang menjadi dasar penerbitan Ijin Lingkungan PT. TMS, telah melanggar berbagai pasal dan ketentuan perundangan tentang pelibatan masyarakat dalam penyusunannya. Regulasi yang dilanggar itu antara yakni; Pasal 26 ayat 1,2 dan 3 UU 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan hidup, serta pasal 9 ayat 1,2,3,4 PP 27 tahun 2012 tentang Izin Lingkungan. Pelanggaran-pelanggaran tersebut secara spesifik yakni; tidak adanya pemberian informasi sebelum disusunnya dokumen AMDAL. Kedua tidak adanya pelibatan masyarakat dalam penyusunannya. Ketiga, setelah disusun dokumen tersebut tidak diumumkan melalui media massa dan sarana publikasi lokal masyarakat setempat. Keempat, orang-orang yang duduk dalam Komisi Penilai AMDAL dari pihak masyarakat yang kemudian menandatangani dokumen AMDAL tersebut tidak ditetapkan melalui musyawarah mufakat oleh masyarakat terdampak, tetapi ditetapkan begitu saja entah oleh siapa. Bahkan tiga dari empat orang mewakili masyarakat terdampak yang menandat
angani dokumen AMDAL PT. TMS adalah karyawan PT. TMS sendiri. Dan yang terakhir terkait AMDAL, sampai hari ini, dokumen AMDAL PT. TMS yang adalah dokumen publik tidak bisa diakses oleh masyarakat.
Keenam, dalam dokumen Ijin lingkungannya yang diterbitkan oleh Dinas Penanaman Modal dan Perijinan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Provinsi Sulawesi Utara nomor 503/DPMPTSPD/REKOM/181/IX/2020 tanggal 25 September 2020, secara eksplisit tertulis bahwa sistem penambangan yang akan digunakan oleh PT. TMS adalah open pit atau sistem penambangan terbuka dengan menggunakan alat berat, (excavator, dump truck) dengan metode peledakan. Artinya PT. TMS akan mengubah areal lahan yang menjadi lokasi tambang dengan membabat segala sesuatu di atas permukaan tanah, menggunakan dinamit dan meledakkan tanah di sekitarnya lalu menggali tanah dan memindahkannya menggunakan alat berat excavator dan sejenisnya, lalu menciptakan lobang-lobang tambang.
Dan dalam pengolahan tanah yang mengandung emas, PT. TMS akan menggunakan Sianida, yakni zat kimia berbahaya dan beracun bagi manusia. Dampak kerusakan yang akan ditimbulkan akan terus bergulir mencemari baik ke lingkungan darat termasuk manusia maupun ke pesisir pantai dan laut. Sangihe juga adalah pulau rawan bencana terutama banjir dan longsor. Tanpa kehadiran PT. TMS saja Sangihe secara terus-menerus telah terjadi bencana alam di Sangihe. Bagaimana jika PT. TMS akan beroperasi dengan metode peledakan selama 33 tahun? Kehancuran lingkungan, hilangnya pasokan air bersih dan terusirnya penduduk yang akan dialami oleh masyarakat Sangihe, sama seperti yang dialami para penduduk di pulau-pulau kecil lainnya di Indonesia yang harus terusir dari pulaunya karena adanya eksploitasi tambang.
Ketujuh, Sangihe adalah pulau kecil yang dilindungi oleh Undang-Undang. Dalam perizinannya PT. TMS melanggar UU 27 tahun 2007 yang diperbarui menjadi UU 1 tahun 2014 tentang pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil. Dalam pasal 26 huruf a, secara jelas disyaratkan bahwa untuk melakukan penanaman modal asing di pulau kecil termasuk Sangihe, PT. TMS wajib mendapatkan Ijin Pemanfaatan pulau dari Menteri Kelautan dan perikanan. Faktanya hingga hari ini, PT. TMS sama sekali tidak memiliki izin Pemanfaatan pulau dari Menteri Kelautan dan Perikanan RI. Artinya keberadaan PT. TMS saat ini di Sangihe adalah ilegal dan melanggar hukum!
Kedelapan, Perizinan PT. TMS, baik izin operasi produksi dan ijin lingkungan sampai hari ini masih digugat oleh masyarakat di pengadilan. Untuk gugatan izin operasi produksi dalam tahap banding di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta. Sedangkan gugatan Izin Lingkungan sedang dalam tahap menunggu pembacaan putusan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Manado. Ini saja adalah bukti bahwa perijinan PT. TMS bermasalah, dan akan dibuktikan oleh pengadilan.
Jadi, semua yang dinyatakan oleh Terry Filbert di media massa online tentang besaran areal tambang, tentang tidak merusak lingkungan dan tentang terpenuhinya prasyarat perizinan sesuai aturan yang berlaku di Indonesia adalah kebohongan besar.
Berdasarkan data yang kami peroleh, pada tahun 2015, Terry Filbert terkait dengan kegiatan penambangan ilegal oleh perusahaan Borneo Resource Investments Ltd di Minahasa Tenggara, karena tidak memiliki izin penanaman modal asing dari Pemerintah. Saat itu Terry Filbert merupakan Direktur Regional Asia dan tidak memiliki ijin kerja di Indonesia. Bupati James Sumendap SH kemudian mengusir perusahaan tersebut yang beroperasi di Alason Kecamatan Ratatotok Minahasa Tenggara. (laman beritamanado.com, 2015)
Setelah terusir dari Minahasa Tenggara karena pertambangan ilegal, kini Terry Filbert mencoba upayanya lagi dengan memaksakan pertambangan di pulau Sangihe yang adalah pulau kecil yang dilindungi oleh Undang-Undang. Yang mengherankan apabila masyarakat percaya dengan kebohongan yang ia sampaikan. Bukan hanya masyarakat biasa, aparat penegak hukum di Sangihe, justru mengawal perusahaan yang jelas-jelas melanggar hukum di Indonesia. Bukan itu saja, tapi membuka ruang untuk perusahaan pelanggar hukum ini mensponsori kegiatan-kegiatan lomba dan mengabaikan perasaan publik Sangihe yang tidak menginginkan pulaunya direbut oleh PT. TMS.
Menurut pepatah, pengalaman adalah guru yang terbaik. Pengalaman Pemerintah dan masyarakat Minahasa Tenggara adalah guru bagi Pemerintah dan masyarakat Sangihe untuk tidak mengulangi kesalahan daerah tersebut di pulau ini. Jadi, jika ada yang mempercayai kampanye berisi kebohongan yang disampaikan oleh PT. TMS dan petingginya, itu hanya membuktikan antara Terry Filbert dan kawan-kawannya yang terlalu cerdas mempengaruhi, ataukah masyarakat Sangihe yang terlalu polos, lugu dan bodoh.
Namun kami dari SSI mau mengajak, jangan mau dibodohi! Jangan mau diiming-imingi oleh kesejahteraan palsu! Tanah pulau dan laut kita cukup untuk menghidupi kita dan keturunan kita di masa yang akan datang. Hanya kita sendiri yang perlu meningkatkan diri, membangun keahlian pada diri anak-anak kita melalui pendidikan untuk mengelola pulau ini dengan seluruh potensinya untuk kesejahteraan kita sendiri dan generasi masa depan Sangihe.
Sangihe hanya satu, jangan pernah serahkan kepada siapa pun. Sangihe adalah milik kita, milik keturunan kita, jangan gadaikan pada pihak mana pun. Jangan pernah takut untuk mempertahankan pulau ini, meski orang-orang yang hendak merebut pulau kita didukung oleh kekuasaan, modal, atau kekuatan apa pun. Jaga dan pertahankan Sangihe, dengan segala daya, dengan segala upaya! Sampai kapan pun!
I kite mendiahi wuntuangu seke, Nusa Kumbahang Katumpaeng!
Somahe Kai Kehage!
* Alfred Pontolondo seniman dan aktivis sosial divisi komunikasi publik Save Sangihe Island (SSI)
Discussion about this post