Oleh: Iverdixon Tinungki
Gambar selalu punya cara memilih penikmatnya. Selain pengalaman estetis, yang saya timba dari sebuah gambar adalah ekspresi penggambarnya yang ingin melontar saya ke dalam semacam sebuah gelombang El Bosco.
Saat saya berencana mengunjungi pameran gambar itu, saya baru saja terpesona dengan catatan Enrique Molina yang menggambarkan kesepian diksi-diksi Pizarnik yang terhampar pada sebuah dunia yang halus yang hanya oleh karena keajaiban ia tidak memecah.
Dan, Selasa, 24 Mei 2022, saya tiba di sana pukul 11.45 wita. Aula Dinas Kebudayaan Sulut yang menjadi ruang pameran gambar dari 54 penggambar Sulawesi Utara itu nampak ramai oleh suara ceria anak-anak sekolah mengikuti acara apresiasi gambar dipandu pelukis Alfred Pontolonda dan Elbamun Mingkid.
Pada panel-panel yang dibangun dengan leter ‘U’ tersaji apik 81 gambar yang diberi efek pencahayaan khusus. Saya melakukan dua kali putaran di ruang pamer itu untuk menikmati satu demi satu gambar yang tersaji.
Menyelam di kedalaman estetika 81 gambar pada pameran gambar “Wale Ne Pinaesaan”, saya jadi ingat apa yang disebut dalam filosofi gambar yaitu mengabadikan semuanya.
Mereka menyajikan sebuah permadani kehidupan yang dibangun dari kedalaman ekspresi dan perenungan. Sebuah kehidupan yang kompleks yang berisi beragam ketegangan, nafas, aliran waktu dan sejarah.
Pada beberapa gambar saya menemukan diri saya, sebuah mimesis dari perasaan saya. Di sana saya terpesona dan berlama-lama menikmatinya seakan-akan gambar itu telah memilih saya sebagai penikmatnya.
Gambar-gambar itu begitu hidup, dan saya mendengar nafasnya berhembus. Mereka bergerak sebagaimana vitalitas kehidupannya. Dan saya menemukan sesuatu yang liris pada “Rano Ma’esa’an” karya Alvin J Tinangon, “Celebrating pain” Andre Koagouw, “Humans” Astrid Tuela, “Skema Komedi Tanpa Henti” Bensuryo Pambudi, “Everlasting Peace 1” Budiyatmi, “Jejak di daun” Djemi Tomuka, “Tuama Towo” Melati Rompas.
Pada “Noon” karya Terry Peter, saya terlontar jauh ke dalam bayangan diksi-diksi penyair Argentina Alejandra Pizarnik, yang menghadirkan perempuan yang bertakdir untuk ditatap. Sosok dengan luka tunggal yang melintas sendiri dalam gelombang El Bosco.
Meresepsi gambar bagi saya adalah membiarkan diri diringkusnya memasuki beragam balun gelombang renungan diri. Dan saya tak akan berhenti di sana, di dunia an sich yang bertaburan simbol-simbol. Justru di sanalah saya menikmati refleksi evaluatif yang sublim terkait problem manusia dan kemanusiaan.
Demikian saya merepsi “Bermula di Eden” Arie Tulus, “Humans” Astrid Tuela, “People Power” Jaya Masloman, “Aokigahara” Tasya Lumi. Di sana serangkaian arus satir yang muak dan kuat, menghempas-hempas, mengupas tamak menghalangi sukma yang harusnya bisa melihat dunia yang nyata sekaligus dunia religiositas yang indah, yang lembut.
Betapa kontekstual dan universalnya gambar-gambar itu oleh karena kemampuannya membangun citra hati nurani yang peka terhadap lingkungan sosio-kultural, dan problem aktual di sekitarnya. Ia bagai sebuah nyala api unggung yang memesona oleh karena lembut dan kekuatan melukainya. Saya menikmati semuanya dan takjub olehnya, dan gemanya tak berhenti menggaung, cahayanya tak henti berkilau, seakan ruang hati sepasang manusia yang jatuh cinta dalam situasi paling dramatis dipenuhi percikan gairah dan puitika. (*)
Discussion about this post