Tak perlu amplifikasi para pendengung untuk dikenang. Karyanyalah yang merenangi arus sejarah dan kelok buat bertemu muara perbincangan.
Di tahun 1981, di teras rumahnya, sebuah rumah minimalis, di Wakeke, Manado, saya harus menunggu lebih dari 3 jam. Hari sudah berangkat malam, dan senja lewat begitu saja. Namun bertemu Baginda M Tahar, bagi anak kelas 2 SMA seperti saya merupakan berkah tak ternilai.
Beberapa lembar puisi yang sudah diketik rapih masih saya pegang. Dan akhirnya sang penerjemah karya-karya sastra dunia dalam buku “Sedjarah Kesusasteraan Dunia” itu pun menemui saya. Seperti biasa, dengan kain sarung berpadu kaos oblong putih, lelaki berperawakan ala orang Eropa itu meladeni saya dengan penuh perhatian.
Ia membedah puisi-puisi saya, mengeritik bagian-bagian yang timpang, kemudian dengan sabar, ia membuat perbandingan dengan puisi-puisi Eropa. Sulit menemukan pesohor serendah hati dia.
Bagi pecinta seni sastra dan teater di Manado, Baginda M Tahar adalah guru, sekaligus orang tua yang selalu punya waktu berbagi pengetahuan dengan anak-anaknya. Ia sutradara besar dan penulis sejumlah karya-karya drama yang begitu popular di zamannya.
Tulisan-tulisannya juga bertebaran di berbagai media massa nasional dengan menggunakan nama samaran Jacqueline Lenggo Geni Tahar. Banyak puisinya di Sinar Harapan, juga cerpen di Kompas.
BM Thahar –begitu kami menyebut namanya– pernah menjabat anggota DPRD 3 periode. Ia juga seorang importir pertama helikopter tempur PUMA. Dan banyak orang Sulawesi Utara (Sulut) tak tahu, ia eksportir kopra pertama dari Sulut ke luar negeri.
Ia tercatat dalam sejarah film nasional sebagai penulis skenario untuk film-film karya Usmar Ismael yang merupakan tonggak ideal perfilman nasional.
Di hari yang lain, dalam sebuah diskusi teater di Manado belum lama, seorang peteater usia belia membuat kesimpulan yang angkuh: “Tak ada yang dilakukan oleh peteater masa lalu, untuk itu, mereka tak patut dihormati!”
Saya tentu tak perlu mendramatisasi peristiwa kebablasan ini. Sebagaimana waktu adalah yang paling setia menguji kesenimanan seseorang, waktu juga punya cara yang arif mengoreksi kekeliruan. Dan Tahar, adalah tonggak yang cukup teguh apalagi hanya untuk sebuah pernyataan konyol semacam itu.
Sementara pada sebuah forum yang khusus membahas sajak-sajak Husen Mulahele, seseorang mengajukan ‘definisi’: “Husen adalah pertama-tama sebuah integritas, selanjutnya dan selamanya ia membangun terus integritas itu untuk terutama membuat puisi dan teater, maka bahkan seutuh dirinya adalah puisi dan teater yang selalu berdaya pukau.”
Tahar dan Mulahele boleh dikata dua sosok peletak batu penjuru teater modern di Manado sejak pertengan 1970-an. Baginda M. Tahar selain memimpin Teater Lentera, ia juga melatih Teater Agenda dan Pemuda Gereja Sentrum Manado.
Sementara Husen Mulahele mulai berkiprah di Manado sejak 1978 sampai 1981 ia membina sejumlah sanggar di Manado, termasuk Teater Manandou yang ia rintis beberapa tahun sebelumnya saat masih mukim di Surabaya.
Husen Mulahele
Kamajaya Alkatuuk, pembina kami di Teater Remaja, kemudian berubah menjadi Sanggar Alit Muara Manado, pertama kali memperkenalkan saya dengan Husen Mulahele pada tahun 1980. Sejak itu saya menjadi cukup akrab dengan “Bang Husen”, begitu kami menyapanya. Ketika ia menyutradarai lakon “Wolter Mongisidi”, saya dipercayakan memerankan tokoh Wolter.
Pertunjukan yang melibatkan aktor-aktor terkemuka seperti Kamajaya Alkatuuk, Frangky Kalumata, Muhidin Bulwafa, Royndra Kairupan, dan Darmawati Dareho ini memenangkan Festival Panggung Penerangan Sulawesi Utara yang diselenggarakan di aula Kantor Deppen Manado di Jalan Sam Ratulangi, yang saat ini menjadi lokasi bangunan Bank Sulut dan Multi Mart.
Pertunjukan itu kemudian terutus mengikuti Festival Tingkat Nasional di Jakarta pada tahun 1981 dalam bentuk audio.
Husen Mulahele, lahir di Manado 1944 dan mukim di Kampung Arab. Namun di manapun ia hadir selalu bersama pancaran kesenimanannya, apapun yang ia ucapkan selalu liris, dan dalam setiap kata-kata yang ia tulis selalu hadir dirinya. Ia menulis puisi dan drama dengan kecintaan amat dalam.
Buku-buku antologi puisinya adalah Air (Surabaya: Ladang Minor, 1975), Sajak-sajak Surabaya Utara (Surabaya: Ladang Minor, 1976), Ya Nasib (Surabaya, 1977), Saujana (Surabaya,1978), dan Lenso yang diterbitkan akhir 1997 oleh Dewan Kesenian Surabaya, hampir sedasawarsa setelah penyairnya wafat 1988 di Jakarta.
Tahun 1975 ia mendirikan dan mengasuh Teater Ladang Minor, Surabaya. Kemudian, 1977, dalam kelompok kreatif November, bersama Peter Rohi, M. Djupri, Dr. Nurinwa, Prof. Dr. Machmud MZ dan Wayan Sumantri, menerbitkan majalah sastra dan budaya Trem, dimana Husen menjadi redaktur puisi.
Di kalangan insan pers — melalui perannya sebagai redaktur koran Mingguan Mahasiswa, Memorandum (Surabaya) dan majalah Popular (Jakarta) — Husen dikenal sebagai seniman-jurnalis. Karena berita yang sesingkat apapun dan ihwal peristiwa yang sekecil apapun selalu digarapnya sama serius sebagai suatu karya penting, dengan pengerahan segenap kemampuan susastra serta inovasi teknis artistiknya.
Epafras Raranta
Selain Tahar dan Mulahele, Epafras Raranta ikut mewarnai perkembangan teater modern di Manado pada era sebelum tahun 1970-an, terutama di kalangan gereja. Setidaknya ada 2 lakon karyanya yaitu “ Pehitungan Terakhir” dan “Suara Itu Datang Lagi” yang pernah saya sutradarai untuk kesertaan Sanggar Kreatif Manado dalam festival teater Sulut di awal 1990-an .
Epafras dikenal sebagai penyair, dramawan, musisi, dan seorang Pendeta. Sebagai angkatan pelopor kesusteraan dan teater modern di Sulawesi Utara, karya-karya puisinya sudah bertebaran diberbagai media masa sejak kurun 1960-an.
Puluhan karya dramanya, di antaranya “ Suara Itu Datang Lagi”, “Perhitungan Terakhir”, ajek dipentaskan sejak 1970-an oleh sejumlah sanggar teater di Sulawesi Utara, termasuk oleh Teater Fakultas Teologi Universitas Kristen Indonesia Tomohon.
Ia juga aktif menyutradarai teater, membacakan puisi, menjadi pembicara pada berbagai forum sastra, budaya. Menjadi dewan juri pada festival teater dan baca puisi di Sulawesi Utara. selain menciptakan lagu, ia juga mengaransemen sejumlah lagu untuk paduan suara.
Lahir di Bolaang Mongondow pada 24 August 1941. Kendati aktif di dunia sastra dan drama, ia mengaku, Pendeta adalah pekerjaan seumur hidupnya.
Karya-karyanya yang telah diterbitkan: Tumatenden, sebuah drama tradisonal Minahasa diterbitkan penerbit Sarenade, 2012. Mata Elang, diterbitkan Penerbit Sarenade, 2015. Kini 248 puisinya yang terangkum dalam Kitab Puisi sudah dalam persiapan penerbitan.
Benni E. Matindas
Sejarah teater Modern di Manado era awal juga tak mungkin luput menyebutlan Benni E. Matindas. Jalan hidup dramawan dan penyair Benni E. Matindas (lahir 1955 di Manado)—yang disebutnya sendiri sebagai perjalanan puitika—bisa dibagi dalam beberapa ruas.
Ruas pertama berawal pada 1975, ditandai ketika ia yang sudah secara serius menulis drama, puisi dan melukis sejak remaja ini mulai mempublikasikan puisi, cerpen dan esainya di media massa yang terbit di Jakarta, Manado, Bandung, Yogyakarta dan Surabaya.
Ruas ini hanya sepuluh tahun lebih, dimana ia menelorkan buku-buku puisi Tahlillahirillahi (Manado: Moraya, 1978), Tadah-Lidah (Jakarta: Inti Sarana Aksara, 1985), Hari Penentuan (antologi puisi bersama M.S. Hutagalung dan Shaut Hutabarat, Jakarta: Pena, 1986), kumpulan esai Trifacet Kesenian Daerah, Kesenian di Daerah, dan Daerah Kesenian (Manado: Moraya, 1979).
Sejumlah naskah drama, seperti Pulang-Pulang (1976), Sang Masingko & Amanat Yang Pasti (1978), Rasul Ditangkap Karena Sifilis (1978), Bumi Kita Kusta (oratorium, 1977), Mazmur Tempurung (opera, 1979).
Sambil mengasuh kaligus delapan sanggar seni di kampung-kampung. Juga mengikuti pameran lukisan. Walau lukisannya selalu paling cepat habis terjual, namun kemudian ia hanya aktif menulis esai dalam katalog pameran buat mengulas karya teman-teman perupa.
Ruas kedua dimulai 1986. Di sini ia menulis hampir seribu artikel dan puluhan buku dengan tema dan disiplin bidang sangat beragam. Meliputi filsafat, sosial budaya, teologi, sejarah, ekonomi pembangunan, politik, hukum, sampai perburuhan dan lainnya.
Buku-bukunya yang terbit antara lain: Paradigma Baru Politik Ekonomi (Jakarta: Bina Insani, 1998), Negarakertagama-Kimia Kerukunan (Jakarta: Bina Insani, 2002), Negara Sebenarnya (Jakarta: Widyaparamitha, 2005). “Semuanya tetap sebagai manifestasi puitika,” begitu ia menyifati karya-karyanya di masa itu. Masa di mana ia pun sering diminta mengajar filsafat pada sejumlah kelas program pasca-sarjana di Jakarta dan Jawa Barat.
Mengatakan karya ilmiah sebagai pewujudan puitika itu bukan sekadar mencari-cari pengabsahan. Tapi memang sejalan dengan konsepsi estetikanya yang sudah sering ia ekspos, menganterokan yang indah di dalam yang benar di dalam yang baik, pluchrum di dalam verum di dalam bonum, al-jamil di dalam al-haqq di dalam al-khair — “secara lebih radikal dari panyatuan oleh Al-Farabi, Thomas Aquinas, Kant, Dewey, maupun Susanne Langer.”
Tahun 2006 ia masuk dalam ruas perjalanan ketiga, jalan berbalik. Dimulai ketika mengasuh Sanggar Pædia — lembaga kajian dan publikasi pengembangan sistem pendidikan. Di samping kegiatan sanggar, ia banyak menulis esai dan makalah tentang kebudayaan, filsafat, termasuk estetika, etika, juga kritik sastra.
Menulis sejumlah buku, antaranya Meruntuhkan Benteng Filsafat Atheisme Modern (Yogyakarta: Andi, 2010) dan Etika Seharusnya (manuskrip 2015). Juga menulis puisi.
Tentang kalimat dalam puisinya yang umumnya tak diawali dengan huruf kapital tapi selalu pasti diakhiri dengan titik, ia menjelaskan: “Sangat banyak hal dalam kehidupan ini yang terjadi bukan oleh keputusan kita atau kehendak kita. Kita bukan penyebab. Tetapi kita manusia memiliki kesanggupan, karena punya ruh, untuk membuat pengakhiran, atau sekadar notasi bermakna di akhir dari semua yang terjadi.” (*)
Penulis: Iverdixon Tinungki
Discussion about this post