Talaud, negeri kepulauan dengan daratan seluas 1.288,94 km2, dan lautan 25.772,22 km2. Itu negeri para bangsawan yang di masa lalu disebut Papung.
Negeri kepulauan ini difrasakan sebagai surga (Paradiso) selepas pantai kepala “K” daratan Sulawesi oleh para eskader armada Eropa, karena keindahannya. Negeri di mana berbagai penaklukan berlangsung dalam ratusan tahun yang menyebabkan tak sedikit kisah perbudakan (Alangnga).
Diperkirakan telah dihuni manusia sejak ± 6.000 tahun SM, dan menjadi jalur pelayaran kapal-kapal Spantol dan Portugis di erah jalur rempah dengan rute Manila-Siau-Manado-Ternate yang cukup ramai di abad ke-16 hingga paruh kedua abad ke-17.
Nama Talaud mulai dikenal dunia sejak armada Spanyol dari Laksamana Ruy Lopez de Villalobos lalulalang mecari rute pulang ke pantai barat Meksiko dari Filipina dan menyinggahi Talaud di tahun 1544.
Salah seorang kapten kapalnya Garcia D’Escalante menamai Talaud Las islas de Talao, sedangkan kapten lain Juan Gaytan (Gaetano) menyebutnya sebagai Isole di Tarao. Dalam catatan Adrianus Kojongian disebut, misionaris Katolik terkenal asal Spanyol Fransiscus Xaverius pernah singgah di Pulau Kabaruan di Kepulauan Talaud untuk menyebarkan injil.
Pater Jesuit A.J. van Aernsbergen mengungkap adanya kepercayaan penduduk negeri Damau yang masih diingat di Kabaruan tahun 1920-an akan adanya sebuah bekas biara Katolik yang pernah dibangun oleh padri Spanyol.
Ekspedisi Ferdinand Magelhaens (1511-1521) tiba di kepulauan ini bersama seorang kepala armada perahu layar bernama Santos. Ketika itu mereka mencatat pulau Karakelang dengan nama Maleon, Sinduane untuk Salibabu, Tamarongge untuk Kabaruan, Batunampato untuk kepulauan Nanusa, dan Tinonda untuk Miangas.
Publik histori masyarakatnya menyebutkan, pada era sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa, pernah berdiri kerajaan Talaud yang dipimpin seorang ratu atau raja. Kekuasaan di bawahnya dibagi-bagi kepada beberapa orang jogugu yang membawahi pula sejumlah kampung (wanua).
Kepala kampung disebut Kapitan Laut. Dalam tugasnya kapitan laut ini dibantu oleh sejumlah Dewan Adat yang disebut Inanggu Wanua yang sebenarnya adalah gabungan dari para pemimpin kelompok keluarga luas terbatas yang disebut Timadu Ruangan.
Namun sulit mendapati catatan ataupun keterangan lebih jelas tentang kerajaan masa lampau itu, selain menemukannya dalam berbagai cerita rakyat.
Pada zaman dahulu, masyarakat Talaud sudah mengembangkan sistem sosial politik dalam bentuk kerajaan-kerajaan kecil. Pada masa sekarang pengaruhnya masih terlihat dalam pelapisan sosial masyarakatnya.
Golongan keturunan raja-raja dan bangsawan lama itu disebut kelompok Papung, dan di bawahnya baru golongan rakyat biasa. Golongan budak zaman dulu disebut Alangnga.
Pada masa sekarang pelapisan sosial yang tajam seperti di atas sudah menipis pengaruhnya. Kerajaan Talaud paling akhir nanti timbul pada abad ke 20 yaitu pada tahun 1922 di bawah kekuasaan Raja Johanis Tamawiwy dan berpusat di Beo.
Residen Jansen yang kemudian dipromosi menjadi Gubernur Celebes en Onderhoorigheden di Makassar Agustus 1859 membagi pulau-pulau di Talaud menjadi beberapa afdeeling atau landschap independen yang terbentuk dari beberapa negeri.
Talaud sejak abad 15 boleh dikata berada di bawah pengaruh kerajaan-kerajaan di pulau Sangihe, Siau dan Tagulandang. Sejarawan Alex Ulaen dan Ivan Kaunang, menyatakan kerajaan-kerajaan di Sangihe mencakup wilayah pulau-pulau Talaud.
Pulau Karakelang misalnya, pernah terbagi menjadi bagian wilayah dari kerajaan Tabukan, kerajaan Manganitu, kerajaan Kendahe-Tahuna, kerajaan Siau dan kerajaan Tagulandang.
Ketika Raja Batahi memerintah sejak tahun 1631 sampai tahun 1678, wilayah kekuasaan Kedatuan Siau disebutkan meliputi pulau Kabaruan, Talaud Selatan.
Pulau Kabaruan dalam catatan sejarah Kerajaan Siau adalah mas kawin dari pangeran Talaud Mahadia Ponto kepada putri kerajaan Siau, Pasilawewe, anak dari Raja Lokonbanua II yang memerintah di tahun 1510-1540. Sementara Siau juga mengangkat kepala di Pulutan dengan nama Raja Bohanbitu.
Kerajaan Kendahe juga mengklaim wilayahnya meliputi Miangas sampai sebagian Mindanau Selatan. Sementara Residen Manado Albert Jacques Frederic Jansen dalam rapor 12 Agustus 1857 mencatat wilayah Tagulandang di Pulau Karakelang, yakni Pulutan terdiri atas negeri Dahan, Kalumu dan Bohonbaru.
Para kepalanya memakai gelar raja. Negeri Pulutan bahkan dengan dua raja bernama Welembuntu dan Selehan, di bawah kuasa kerajaan Tagulandang. Residen Jansen mencatat pada 1857 terdapat 47 para kepala di Kepulauan Talaud yang memakai gelar raja.
Penaklukan di era masa lampau itu juga memunculkan masa perbudakan di kawasan ini, dan terus berkembang seiring datangnya orang Eropa, terutama Spanyol, Portugis dan Belanda, yang ikut mengambil untung dalam bisnis perbudakan.
Tetapi perbudakan tidak saja terjadi di Talaud, juga di Sangihe dan Siau Tagulandang, akibat politik pecah-belah Kompeni Belanda.
Negeri Ujung Utara ini, tak lain adalah gugusan pulau membentang dari Tinonda hingga karang Napombaru. Sebuah kawasan pulau-pulau di bibir lautan Pasifik dengan pemandangan nan indah, eneka budaya, tradisi, dan mitos sejak masa purba yang menakjubkan, yang hingga kini masih terpelihara dan hidup di sana. (*)
Penulis: Iverdixon Tinungki
Discussion about this post