Oli, musik yang penuh misteri yang masih lestari di Sangihe. Disebutkan sebagai musik manusia-manusia sakti. Dalam sejarahnya, pernah dipakai dalam perang. Para ahli menyebutkan musik tersebut berasal dari masa 5.000 tahun lampau.
Mengutip folklor, keberadaan musik Oli yang juga disebut musik Lide –karena dipakai mengiring tarian Lide— sudah ada sejak zaman purba, bahkan setua dengan legenda para raksasa di negeri Kepulauan Sangihe Talaud, Sulawesi Utara.
Dalam buku “Sejarah Pergerakan Kebangsaan Indonesia di Siau” yang terbit di tahun 1973, HB Elias menyebutkan, salah seorang pemain musik Oli yang terkenal adalah istri dari Laksamana Hengkengunaung, seorang panglima perang kerajaan Siau era raja Winsuļangi hingga raja Batahi yang hidup antara tahun 1590 hingga 1668.
Data terbaru dalam catatan Max S Kaghoo, pada buku “Jejak Leluhur, Warisan Budaya di Pulau Siau” yang diterbitkan Kanisius, 2016, disebutkan Hengkengunaung mulai berkiprah di lingkungan istana kerajaan Siau saat berusia 20 tahun (1610).
Ia mendapatkan gelar Laksamana dari Raja Winsuļangi (1591-1631). Lewat sejumlah perang yang dimenangkannya, ia berhasil memperluas wilayah kerajaan Siau.
“Pada era itulah, dibantu kesaktian musik magis Oļi dari istrinya, Hengkengunaung berhasil memenangkan sejumlah perang perluasan wilayah kerajaan Siau dan mengalahkan Onding yang meneror kehidupan penduduk pulau Makalehi,” ungkap Kaghoo.
Berbagai sumber menyebutkan, masyarakat etnik Sangihe Talaud meyakini adanya tenaga mekanis yang sakti dan rahasia berada dalam seluruh alam, yang dipandang sebagai Ilahi sumber ke-asal-an.
Sesuatu yang bisa mengerjakan atau menimbulkan kebahagiaan maupun pemusnahan. Karenanya, segala aspek pikiran dan tindakan didasarkan pada penyatuan kehendak manusia dengan tenaga sakti dalam alam ini.
Demikian musik, susastra dan tari dari era pra sejarah di kepulauan ini selalu berhubungan dengan alam dan ritual. Kekuatan semesta itu berasal dari para Opo atau ampuang (roh orang suci atau orang perkasa yang telah mati), Ompung (roh dewa-dewi lautan) atau Taghaļoang (Tagaroa), Ingang (peri-peri), Gengghonaļangi (Sang Maha Kekuatan pencipta semesta-Tuhan dalam pengertian agama-agama semitik), serta roh-roh penyebab petaka, di antaranya : Pehang, Mongang, Laghohe, Kabanasa, Setang, Ratoen Setang. Sedang roh-roh yang bersifat baik seperti : Saritana, Ading dan Gengghona.
Di masa lampau para penganut kepercayaan Sundeng, memainkan musik Oli dengan lagu-lagu lide mengiringi gerakan penari-penari perempuan. Mereka menari mengelilingi korban manusia yang akan dikorbankan dalam ritual sakralnya. Mereka menari dalam gerakan masing-masing, imajinatif dan spontan.
Tangan bergoyang dan kaki disentak-sentakan ketanah sambil mengelilingi korban sebagai tradisi mengantar roh perempuan muda yang dikorbankan kepada sang pencipta, agar dosa dan salah termaafkan dan hidup terhindar dari bencana.
Sumber lokal mengatakan, musik Oli atau Lide telah dikenal sejak zaman kerajaan atau sekitar tahun 1300 silam. Namun menurut para peneliti, musik tradisi ini sudah ada sejak 5.000 tahun. Secara fungsi, musik Lide mempunyai makna yang luas seiring sirkulasi kebudayaan lokal pada masa purba (dinamisme) hingga era masuknya agama-agama samawi.
Di Sangihe Talaud, musik Oli atau Lide sudah jarang didengar dan jarang dipertunjukkan. Sebuah paduan irama Arababu, Bansi, Sasesaheng, Salude dan Oļi.
“Lide berasal dari masa yang jauh,” ungkap Rendy Sasela, salah seorang seniman Sangihe. Bahkan sebelum kerajaaan-kerajaan di Nusa Utara berdiri pada abad ke 16.
“Lide atau Oli adalah musik untuk ritual Sundeng dan upacara adat lainnya. Sebagai musik ritual, Lide dipandang sebagai media penghubung manusia dan sang penguasa alam,” kata dia.
Data yang dikemukakan laman Yayasan Sampiri mengatakan, musik Lide — yang popular disebut musik Oli– saat ini masih dimainkan oleh masyarakat di Desa Manumpitaeng, Kecamatan Manganitu, Sangihe.
Sementara di daerah lain di Nusa Utara, Lide telah punah. Atas ancaman kepunahan itu, Yimbure Kalenghigang, salah seorang pewaris musik Oļi, sejak lama telah menyatakan kekhawatirannya.
Dalam Oli atau Lide, selain unsur musik, juga terdapat seorang perempuan yang menyanyikan syair-syair lagu tua berupa Papantung atau Medenden. Tradisi musik semacam ini menurut peneliti musik I Wayan Dibia, penciptaannya lahir sebagai bagian dari keperluan ritual atau upacara adat.
Dalam tata kehidupan seperti itu rasa dan semangat kebersamaan menjadi titik sentral. Musik Oli atau lide adalah sejenis musik ansambel terdiri dari 8 jenis irama lagu purba. Jenis irama yang masih ada di antaranya, Lagung Lide, Lagung Laogho u Lendu, Lagung Elehu Ake, Lagung Sangi u Wuala.
Di laman Kebudayaan Indonesia ORG, Malomboris, seorang pemerhati musik Lide dari kampung Manumpitaeng, mengatakan kendati sudah dinyatakan punah, di Sangihe masih ada orang yang bisa membawakan lagu-lagu Lide.
“Selain lagu, terdapat juga tari pada ritual sundeng yang sudah dinyatakan punah, tari tersebut bernama Tari lide,” ungkap Malomboris.
Jenis irama lagu yang merupakan pengembangan dari lagu purba, kata dia, di antaranya, Lagung Bowong Buas, Lagung Balang, Lagung Sahola. Dikatakannya, setiap jenis lagu memiliki latar belakang penciptaan yang berbeda.
Yang unik dari irama musik Oli atau lide yaitu, irama yang sudah diturunkan secara turun-temurun tanpa perubahan secara signifikan. Perbedaan musik lide hanya terdapat pada tempat di mana musik itu dikembangkan. Irama lagu musik lide di daerah sekitar pulau Mahumu sebagai misal, hanya menggunakan 3 irama lagu, sementara di daerah lain menggunakan 4 irama.
Musik lide merupakan paduan dari beberapa jenis alat musik yang dimainkan secara bersamaan menjadi sebuah ansambel. Pada perkembangan salanjutnya musik lide mulai dipadukan dengan gong atau dalam bahasa Sangihe disebut Nanaungang. Kegunaan gong adalah pengendali tempo lagu.
Dari keempat jenis lagu yang ada, pada dasarnya mempunyai nuansa kepedihan. Lagu lide merupakan lagu inti atau lagu pembuka yang dapat menyertai penyembahan agar cepat sampai kepada sang penguasa alam dalam bentuk permohonan.
Lagu Elehu Ake, mengetengahkan tentang bentuk permintaan dan permohonan seperti air yang mengalir. Lagu Sangi U Wuala (Tangisan Buaya) berkisah tentang ancaman terhadap kehidupan manusia yang digambarkan sebagai rupa Buaya.
Masa lalu orang-orang Sangihe meyakini adanya Upung (leluhur) Manusia dan Upung (leluhur) Buaya. Upung buaya berjalan dengan dua kaki menggunakan ikat kepala merah. Upung buaya ini disebutkan memiliki kekuatan yang sangat sakti sehingga apa yang dia minta harus diberikan. Jika permintaannya tidak dipenuhi maka akan ada korban yang ditelan.
Lagu Laogho u Lendu, berkisah tentang kematian kerabat terdekat. Lagu lendu diambil dari nama salah satu jenis burung yang hidup di Sangihe. Burung ini adalah satu-satunya burung dalam kehidupan budaya Sangihe dianggap sebagai perpanjangan tugas penguasa alam untuk mengabarkan kematian. Selain Lendu ada juga burung Kaļiawo atau kepodang kuduk hitam (Oriolus chinensis celeben- sis) yaitu burung yang memberi tanda kehadiran kerabat dekat dari tempat jauh.
Musik Oli di SWRF
Pada Jumat, 22 Oktober 2021, seiring penyelenggaraan Sangihe Writers and Readers Festival (SWRF) yang digelar di Kantor Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Daerah, musik purba tersebut ikut dipentaskan oleh kelompok Oli dari Kampung Manumpitaeng Kecamatan Manganitu.
Kini musik ini menjadi satu-satunya hanya bisa dimainkan oleh masyarakat Manumpitaeng dari generasi ke generasi.
Kapitalaung (kepala kampung) Manumpitaeng Melki Wengke ditemui usai pementasan mengatakan, ditampilkannya musik Oli dalam SWRF tak lain untuk memperkenalkan musik tradisional tersebut kepada peserta maupun pengunjung SWRF.
“Ini merupakan satu-satunya musik yang hanya dimainkan oleh masyarakat Kampung Manumpitaeng. Dan malam ini ada 1 group terdiri dari 10 orang yang tampil didominasi oleh siswa-siswi asal Kampung Manumpitaeng,” kata Wengke.
Lanjut dia menjelaskan secara singkat, sejarah musik tradisional yang sudah ada itu sejak tahun 1900 tersebut, berbahan baku bambu dengan lima alat musik yakni Oli, Sasaheng, Salude Arababu, dan Pansi yang dimainkan dalam satu group di pentas seni musik Oli.
“Masyarakat Kampung Manumpitaeng sampai saat ini masih terus melestarikan musik Oli. Kami bimbing anak-anak sekolah di Kampung untuk berlatih musik ini, karena mereka nantinya yang akan menjadi generasi penerus,” kunci Kapitalaung.
Terpantau, suara khas musik tradisional ini berhasil memukau para peserta maupun pengunjung Sangihe Writers and Readers Festival.
Penulis: Iverdixon Tinungki, Rendy Saselah
Discussion about this post