Catatan:
Denni H.R. Pinontoan*
Di Indonesia, beberapa perguruan tinggi telah membuka Program Studi Tata Kelola Pemilu untuk jenjang S2 (Magister). Ada yang memasukannya di bidang peminatan dalam suatu program studi. Dengan demikian maka tentang kepemiluan telah menjadi ilmu.
Kemarin, 12 Maret 2022, saya diundang oleh KPU Provinsi untuk menghadiri FGD mengenai “Pemilu Lokal di Minahasa”, yang dilaksanakan di Titik Kumpul Café, Bahu Mall. Hadir dalam FGD tersebut semua komisioner KPU Sulut. Lalu, sebagai pemantik FGD adalah Viryan Aziz, Komisioner KPU RI Viryan datang ke Sulawesi Utara dan bahkan hingga ke situs Watu Pinawetengan karena rupanya dia sedang menyelesaikan penulisan buku mengenai Pemilu di Indonesia.
Lalu, mengapa Minahasa, karena dari daerah di wilayah jazirah utara itu dia menemukan jejak-jejak demokrasi dan praktek elektoral yang khas dan unik.
Diskusi berjalan sangat baik. Beberapa pokok pikiran bung Viryan memicu yang hadir untuk mengemukakan pengetahuannya, yang mulanya seolah-olah hanya tentang sejarah demokrasi di Minahasa, tapi diskusi justru lebih banyak tentang tradisi budaya demokrasi di tanah Lumimuut-Toar.
Diskusi sangat mendalam, mencakup konteks waktu yang panjang. Ada yang berbicara tentang tradisi kepemimpinan era Wanua-Walak-Pakasaan, hingga pelaksanaan pelaksanaan politik elektoral di era Minahasa-Raad, pemilu tahun 1948 pada era NIT, pemilu nasional uji coba tahun 1951 di Minahasa (dan Yogyakarta serta beberapa daerah lainnya), hingga pemilu yang disebut-sebut paling demokratis, yaitu pemilu tahun 1955.
Setelah mendapat giliran kedua berbicara, lalu menyimak jalannya diskusi dengan pendalaman dari yang hadir dalam FGD tersebut, yang ternyata ketika berbicara sejarah tidak lepas dari tradisi-budaya berdemokrasi dalam arti memilih pemimpin, pengaturan komunitas, dll di Minahasa, saya kemudian berpikir bahwa kajian tentang politik elektoral secara ilmiah-akademis (sebagai ilmu) ia mesti menyentuh juga sistem sosial, budaya, tradisi, konsep tentang kehidupan bersama, kosmologi, dll yang semua itu adalah kebudayaan.
Jadi, saya berkesimpulan bahwa apa yang dalam istilah teknis kepemiluan disebut politik elektoral adalah juga unsur kebudayaan.
Kebetulan hadir dalam FGD tersebut Dr. Ferry Liando, pakar kepemiluan dan juga Ketua Minat Tata Kelola Pemilu, Prodi Pengelolaan Sumber Pembangunan (PSP) UNSRAT. Dalam diskusi itu saya mengatakan kepada Dr Ferry mungkin di Minat Tata Kelola Pemilu Unsrat perlu membuka mata kuliah dengan nama “Etnoelektoralogi” (etno + elektoral + logi). Kalau dalam kajian musik ada Etnomusikologi, dalam kajian ekologi adalah Etnoekologi, dll.
Awalnya saya cuma dalam rangka saja mencari istilah teknis untuk apa yang menjadi diskursus dalam FGD tersebut, namun setelah dipikir-pikir rasanya masuk akal. Sebab pertama, untuk kehidupan politik atau berdemokrasi sejak negara ini berdiri sudah didesain sejak awal sistem elektoral untuk memilih pemimpin masyarakat secara hukum negara.
Meski nanti berlangsung secara nasional sejak tahun 1951 (terbatas untuk uji coba), lalu Pemilu basional benar-benar dimulai tahun 1955, tapi dan ini alasan yang kedua, karena Pemilu rutin dilaksanakan maka ia kemudian dapat dikatakan telah menjadi budaya masyarakat dalam berdemokrasi.
Saya kira benar apa yang dikatakan oleh bung Viryan ketika membuka diskusi dengan beberapa pokok pikirannya, bahwa penting untuk kita mengetahui genealogi praktek politik elektoral tersebut.
Ya, selama ini praktek itu dihubungkan dengan tradisi yang diimport dari Barat, lebih jauh lagi dari tradisi Yunani klasik (yang sebenarnya sangat berbeda dengan demokrasi yang kemudian berkembang di era modern), lalu katakanlah gagasan-gagasan modern itu berasal dari Revolusi Perancis, kemudian berdirinya negara-negara bangsa yang mengikuti doktrin demokrasi mesti menjalankan politik elektoral (Pemilu) untuk disebut sebagai negara demokrasi. Padahal sebetulnya, sistem elektoral hanyalah satu satu dari gagasan besar demokrasi tersebut.
Nah, FGD tersebut membuka pemahaman mengenai, bahwa sesungguhnya terminologi “demokrasi” yang sudah diterima sedunia sebagai paham, sistem dan metode pengelolaan kekuasaan yang berbasis partisipasi rakyat, dengan sistem keterwakilan, dan metode pemilihan secara partisipatif bagi setiap orang yang memenuhi syarat untuk menentukkan pemimpin, ia menyangkut banyak hal dalam pengelolaan kekuasaan di masyarakat/negara. Dalam praktek elektoral, banyak hal dalam kebudayaan masyarakat berkaitan dengannya.
Jadi, “etnoelektoralogi” adalah ilmu, kajian, studi tentang bagaimana ide-ide atau gagasan yang mendasari praktek tersebut secara antropologis. Berkaitan dengan itu, bagaimana suatu kaum memahami tentang pemimpin yang ditentukkan dengan metode apapun (entah dipilih secara langsung atau ditentukkan secara musyawarah), dan bagaimana kepemimpinan itu berlangsung yang semuanya diasumsikan berkaitan dengan entah tradisi, kosmologi dan sudah pasti gagasan-gagasan kultural dasar yang mendasarinya.
Setiap kaum atau bangsa tentu memiliki kekhasan dan keunikannya berkaitan dengan pengelolaan kekuasaan dalam komunitasnya. Demokrasi modern, misalnya di Indonesia membuat itu menjadi seragam, yaitu Pemilu dalam sistem politik elektoral. Ini suatu keniscyaan.
Tapi, kegelisahaan yang terus hadir dalam setiap proses pelaksanaan tersebut adalah kualitas yang dihasilkan, entah prosenya, entah pemimpin yang terpilih, dan kualitas kepemimpinan. Sudah banyak upaya untuk menjelaskan hal tersebut secara ilmiah akademis, mungkin tidak salah kalau juga dengan cara ini, yaitu studi geneaologi kultural politik elektoral, dan itu adalah “etnoelektoralogi”.
Bagitu jo dulu… (**)
*Penulis adalah Dosen Prodi Sosiologi Agama IAKN Manado
Discussion about this post