Oleh: Iverdixon Tinungki
Untuk meramaikan Sangihe Writers & Riders Festival (SWRF) 2021, berikut ini kami sajikan catatan perjalanan menyusuri jejak 9 kerajaan yang pernah berdiri sejak abad 15 di Kepulauan Sangihe Talaud.
Saya tak punya frasa lebih, untuk mendeskripsikan keindahan Biaro, ketika kapal yang kutumpangi melabuh di Sawangino pada 2013. Itu pertama kali saya sampai di Lamanggo, pulau Biaro, ditemani Opa Hersen Anise, seorang pelaut tua yang pernah mengemudikan kapal bertonase besar melayari route internasional. Tak ada tanjung dan terusan di berbagai benua yang tak pernah dilalui kapal yang dikemudikannya. Hersen Anise adalah salah satu dari ribuan anak-anak bahari Nusa Utara (Sangihe Talaud) yang telah membuat sejarah dalam mengarungi samudera di planet bumi.
Tentang perairan di depan Lamanggo, kata Opa Hersen, memiliki titik yang dalam. Menjadi tempat kawin ikan-ikan paus yang melintas kawasan itu. Dalam beberapa hari mengelilingi Biaro, berperahu menuju Tope dan Buang, saya jadi ingat catatan Brilman saat menumpangi sebuah kapal milik perusahaan Koninklijke Paketvaart Maatschappij (K.P.M) yang melintas di sana, di tahun 1927. Misionaris Daniel Brilman menarasikan pulau Biaro sebagai keindahan di bawah kaki langit yang mendatangkan suatu kenikmatan.
Dalam tradisi tua “sasahara”, negeri asal legenda raksasa Linsaha ini dinamakan “Kolokolo”. Kendati tak banyak disebutkan dalam catatan para pelaut Eropa era Kerajaan Tagulandang, pulau eksotis Biaro adalah pintu gerbang selatan menuju negeri Ratu Lohoraung. Luasnya 20,85 km persegi, namun penduduknya berbahasa Sangihe dialek Tagulandang dan dialek Siau.
Biaro, pulau dengan lanskap nan indah, sitir misionaris Brilman dalam “Onze zending velden De zending op de sangi-en Talaud – eilanden” 1938. Disebut eksotis karena banyak spot penyelamanan, antaranya di Tumora, pantai sekitar pulau karang Teluk Buang dan pantai Kalakuhi dan perairan di teluk Tope. Juga ada pulau Salangka yang tak kalah indahnya, dan Lamanggo.
Setelah dijamu Biaro, akan nampak pulau Ruang (Duang), sebuah pulau dengan gunung berapi yang sejak abad ke-17 berkali-kali meletus. Kerucutnya yang pipih dilapisi abu dan menjulang setinggi 725 meter dari permukaan laut. Lalu pada selempar pandang ke arah barat, Nampak pulau karang rendah Pasige. Dari sana kemudian akan ditemui pesisir Balehumara, di pulau utama Tagulandang.
Di masa lalu, sebuah kapal K.P.M yang melepas sauh pada sore menjelang malam meninggalkan pelabuhan Manado akan tiba pada dini hari di Tagulandang. Berbeda dengan saat ini, armada kapal cepat hanya membutuhkan waktu kurang lebih 3 jam untuk menempu rute itu. Di pulau seluas 5.000 hektare itu, pada tahun 1570, Lohoraung ditahbis sebagai Ratu, dan sejak itu kerajaan Tagulandang terus berkiprah sepanjang 375 tahun (1570-1945).
Ketika Fernao vaz Durado, seorang Eropa pembuat peta pelayaran niaga mencatumkan Kerajaan Tagulandang dengan nama Pagincar di tahun 1580, Ratu Lohoraung telah 10 tahun menduduki tahtanya. Sepuluh tahun kemudian eskader Bertholamev Laso, tepatnya pada 1590, dalam catatannya menyebut negeri penghasil Salak ini Pancare, dan kerajaan ini eksis selama 375 tahun hingga masa pendudukan Jepang.
Ketika Gubernur Robertus Padtbrugge melakukan kontrak dengan para raja di antero Sangihe Talaud yang menyatakan kerajaan-kerajaan tersebut menjadi milik Kompeni –dikembalikan kepada para raja sebagai pinjaman — Minanga, telah lama menjadi tempat persinggahan bajak laut Filipina. Saat gubernur Belanda yang bertugas di Ternate dan Maluku ini pada 1 November 1677 memimpin 1180 tentara bersama Sultan Ternate Kaitjil Sibori menggempur Kerajaan Siau serta menekan seluruh kerajaan di kepulauan Nusa Utara untuk mengamankan kepentingan Kompeni (VOC), Kerajaan Tagulandang telah berusia 93 tahun.
Berkunjung ke Minanga pada 2014, penulis disuguhkan ingatan bersama (collective memory) penduduk, yang lebih banyak berkisah tentang legenda Putri Sinandiri berubah menjadi duyung, atau akar batu Minanga yang jauh terbancak ke dalam dada pulau, serta patahan cerita bajak laut yang mampir mengambil air di sungai Minanga nan jernih dan sesekali membawa pergi para wanita muda untuk menjadi kekasih. Sementara sejarah panjang negeri Lohoraung ini tak banyak diketahui.
Namun, 375 tahun kerajaan Tagulandang merupakan jejak yang panjang dan menarik. Di kurun itu, kerajaan tersebut telah dipimpin 19 orang Raja dan 3 orang pejabat Raja. Sudah disebutkan sebelumnya, kerajaan Tagulandang bermula pada tahun 1570 didirikan oleh Ratu Lohoraung, dan berakhir pada 1942 di masa Raja Willem Philips Jacobz Simbat yang dipancung tentara fasisme Jepang pada 19 Januari 1945 di Tahuna.
Berbagai literatur menyebutkan, Tagulandang sempat menjadi kerajaan maritim besar di belahan utara pulau Sulawesi. Terletak di pulau Tagulandang, Kepulauan Siau Tagulandang Biaro, dengan kotaraja pertama berpusat di Tulusan. Ini sebabnya kekuatan gabungan Belanda dengan Sultan Ternate mengandeng kerajaan Tagulandang berkali dikerahkan untuk mengusir Spanyol yang sejak 1580 bersatu dengan Portugis. Sehingga di tahun 1663 Siau didudukinya, setelah sebelumnya terusir dari Ternate dan Tidore. Pos terakhir Spanyol di benteng Santa Rosa Siau itu pun ditaklukan tahun 1677.
Kerajaan Siau
Mari berlayar ke Siau. Kerajaan Siau adalah salah satu Kerajaan bercorak Kristen di Sulawesi bagian utara sejak abad ke-16 Masehi. Keunikan Kerajaan Siau adalah negeri yang dibaptis. Ini sebabnya, Minggu menjadi hari yang istiwewa di sana. Zending Daniel Brilman ketika bersinggah pada tahun 1927 sempat menulis deskripsi yang menakjubkan tentang keistimewaan itu; –Saat lonceng gereja mendenting pertama kali di suatu pagi, hari Minggu, 34.000 penduduk pulau tersebut seakan serentak bergerak menuju rumah-rumah ibadat. Kaum pria mengenakan celana dan baju bersih yang diseterika rapi. Kaum wanita dengan kebaya dihiasi renda lebar yang mahal dan dipakukan dengan peniti emas. Lainnya mengenakan sarong sutera, sanggul ikat dengan sisir besar yang indah dari kulit penyu dan peniti bertatahkan kancing emas. Selop-selop yang bagus dan sebuah payung sutera. Sementara kaum muda mengenakan gaun gaya Eropa.
Pemandangan Minggu itu sudah lazim sejak masa yang lebih jauh, ungkap penulis buku “Onze Zendingsvelden De Zending op de Sangi – en Talaud- eilanden”, yang kemudian diterjemahkan oleh GMIST menjadi “Wilayah-wilayah Zending Kita, Zending di Kepulaun Sangi dan Talaud” ini.
Ada keistimewaan lain lagi di pulau penghasil pala terbaik dunia itu, yaitu gunung Karangetang yang menjulang 1784 meter. Gunung ini pernah meletus pada tahun 1675, mengeluarkan lava pijarnya dengan sangat dahsyat. Karangetang sebelumnya tercatat sudah mengalami erupsi sebanyak 41 kali sejak tahun 1675 hingga masa Brilman. Salah satu ciri khas dari gunung api ini, adalah satu-satunya gunung berapi di dunia yang pernah di baptis.
Karangetang dibaptis oleh Pendeta F. Kelling pada 1857. Ia seorang misionaris Nederlandsche Zending Genoodschaap (NZG) yang datang ke Siau untuk menyebarkan Injil. Pendeta tersebut menamakannya Yohanes (Yohanes Tamaghaghlo). Sementara gunung tidak berapi di samping Karangetang yang dikenal dengan nama Tamata, juga ikut dibaptis, dinamakan Yohana.
Raksasa yang sedang berasap adalah metafora Brilman untuk menggambarkan lanskap pulau Siau. Sementara nama Kerajaan Siau sudah disebut dalam suatu publikasi peter Antonio Marta pada tahun 1588 dan Ds. F. Valentijn pada 1700, ungkap Brilman. Data lain yang menyebutkan, pencantuman nama Kerajaan Siau dalam sejumlah sketsa dan peta pelayaran abad 16 oleh sejumlah penulis, di antaranya, catatan harian Antonio Pigaffeta, “Primer Viaje en Torno del Mondo” yang mencatat perjalanan eskader yang dipimpin Laksamana Magelhaes melewati Kepulauan Sangihe dan Talaud pada Oktober dan November 1521. Tome Pires, dalam “The Suma Oriental of Tom Pires and the Book of Fransidco Rodriques” Armendo Cortesao, menyebut pulau Siau dengan nama Chiaoa. Nicolas Desliens pada tahun 1541 menyebut Siau dengan Siao. Huich Allardt menyebut Siaw pada 1652.
Lebih menarik lagi data yang dipapar sejarawan Dr. Ivan RB Kaunang, SS, M.Hum dalam bukunya “Bulan Sabit di Nusa Utara, Perjumpaan Islam & Agama Suku di Kepulauan Sangihe Talaud”, ia menyebutkan, nama Siau sudah dicantumkan dalam buku pentunjuk pelayaran pelaut Cina, sebelum pelaut Spanyol dan Portugis melintasi perairan Nusa Utara (Kepulauan Sangihe Talaud).
Mengutip buku petunjuk pelayaran Shun Feng Hsin Sung tahun 1500, dosen Fakultas Ilmu Budaya (dulunya Fakultas Sastra) Universitas Sam Ratulangi Manado ini menyebut, nama Shao (Siau) telah dicatat sebagai bagian dari jalur Utara Cina melewati Zamboanga ke bagian Timur Mindanao, kemudian ke Selatan menuju pengunungan Shao atau Siau. Seperti juga D. Brilman, Kaunang mengungkapkan, jauh sebelum armada Eropa melintasi Sangihe Talaud, para pelaut dan pedagang Cina, Arab dan India telah menjadikan pulau-pulau Sangihe Talaud ini sebagai tujuan untuk mendapatkan produk-produk andalan seperti kayu hitam, minyak kelapa, kelapa, cengkeh, pala dan fuli serta persediaan makanan. Juga sebagai daerah lintasan dari Mindanao ke Maluku.
Kerajaan Siau didirikan raja pertama, Lokongbanua, pada tahun 1510 dan eksis selama lebih 4 abad hingga masa akhir Presiden Pengganti Raja Siau Ch David, tahun 1956, atau 11 tahun setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 di Jakarta.
Pusat kerajaan ini di pulau Siau yaitu pulau di Laut Sulawesi yang terletak pada 02o 45’ 00’’ LU dan 125o 23’ 59’’ BT yang kini merupakan wilayah Kabupaten Kepulauan Sitaro (Siau, Tagulandang dan Biaro). Daerah ini adalah salah satu kabupaten perbatasan Utara Indonesia dengan negara Filipina. Pulau Siau sendiri hanya berukuran luas tak lebih dari 100 Km2.
Namun dalam catatan sejarawan Pitres Sombowadile dan situs Arkeologi dan Riset Sejarah, dalam kiprahnya, wilayah kerajaan Siau pernah mencakup daerah-daerah di bagian selatan Sangihe, pulau Kabaruan (Talaud), pulau Tagulandang, pulau-pulau teluk Manado dan wilayah pesisir jazirah Sulawesi Utara (kini Minahasa Utara), serta ke wilayah kerajaan Bolangitan atau Kaidipang (Bolaang Mongondow Utara) bahkan sampai ke Leok Buol. Perluasan wilayah Kerajaan Siau tersebut terjadi, terutama, di masa pemerintahan Raja Don Geronimo Winsuļangi hingga Raja Don Fransiscus Xavirius Batahi, yang ditopang penuh kekuatan armada angkatan laut yang besar, tulis Max S. Kaghoo dalam bukunya “Jejak Leluhur, Warisan Budaya di Pulau Siau”, yang diterbitkan PT. Kanisius 2016.
Pitres Sombowadile dalam sebuah artikelnya menyebutkan, kerajaan Siau dalam berbagai catatan Belanda dan sejarawan lokal di Manado, H.M. Taulu, disebut-sebut pernah mengusir armada Kerajaan Makassar yang menduduki wilayah Bolaang Mongondow. Tidak terhitung juga menghalau para armada perompak asal Mindanao. H.B. Elias dalam buku “Sejarah Pergerakan Kebangsaan Indonesia di Siau (1973)” mencatat Hengkengunaung, seorang Laksamana Angkatan Laut Kerajaan Siau, mencapai kejayaan di masa pemerintahan Raja Don Fransiscus Xavirius Batahi, ditandai dengan kemenangannya dalam sejumlah pertempuran laut di kawasan timur Nusantara. Nanti pada tahun 1677 Siau ditundukkan oleh Belanda dengan mempergunakan Sultan Ternate Kaitjil Sibori sebagai pelaksana.
Tercatat sejak 9 November 1677 kerajaan ini menjadi bagian dari wilayah yang tunduk pada kehendak VOC-Belanda sebagaimana perjanjian lange contract yang ditandatangani Raja Franciscus Xaverius Batahi. Di antara pasal penting yang ditanda-tangani adalah kerajaan Siau beralih agama ke Kristen Protestan Belanda.
Kerajaan-kerajaan di Pulau Sangihe
Maukah anda ke Sangihe? Di sana anda akan dipertemukan dengan Salurang. Salurang boleh dikata negeri rahim mantra. Seperti warna tanah liatnya yang merah. Sebuah dunia susastra atavisme dari masa lampau masyarakatnya. Para lelaki yang menggenggam “Bara” (pedang perang) sambil mengerahkan energi tubuh membuat lempeng logam itu menari seakan daun yang gemulai.
Percaya? Awalnya saya tak percaya! Di tahun 2000-an beberapa kali saya berkunjung ke sana, dan dunia magisme itu nyata. Senyata saya melihat daun yang menari. “Bahkan kamu bisa melihat dunia halus bila membasuh mata di sini,” ungkap budayawan Sangihe yang biasa kusapa Opa Manatar.
Di Salurang, Gumansaļangi adalah legenda, mitos, sekaligus sejarah. Ada banyak versi dalam sejarah dan sastra lisan orang-orang Sangihe yang mengungkap kisah hidup dan perjalanan sang pendiri kerajaan Salurang – Tampunganglawo ini. Dalam salah satu versinya disebutkan pada abad ke 12, Sultan Kotabato, Mindanao Selatan (Filipina) memerintahkan putra Mahkota Gumansaļangi, berlayar ke arah timur (Nusantara) untuk mendirikan kerajaan di sana. Maka berangkatlah Gumansaļangi dan istrinya Ondoasa (Sangiangkonda) mengikuti titah ayahanda Sultan. Mereka berlayar dengan perahu Ular Sakti menuju arah Timur, kemudian berputar ke Selatan.
Dalam legenda orang-orang Sangihe, perahu Ular Sakti yang ditumpangi sang Putra Mahkota dan Permaisurinya itu disebut sebagai seekor ular besar bernama Dumalombang yang diciptakan secara ajaib dari sehelai saputangan atas kesaktian Gumansaļangi. “Ular Sakti Dumalombang hingga kini dipercaya sebagian masyarakat Sangihe, masih hidup di gua Tanah Runtuh, di sebuah tanjung, di pulau Sangihe bagian Selatan,” ujar Syahrul Ponto saat ditemui di Tahuna pada 2009.
Dalam pelayarannya, Gumansaļangi – Ondaasa sempat singgah di Wiarulung (Pulau Balut), kemudian terus ke arah selatan sampai di Pulau Mandolokang (Tagulandang). Mereka tidak turun di Mandolokang, tetapi langsung melewati Pulau Siau, terus ke pulau Tampunganglawo hingga tiba di Tabukan Selatan. Disebutkan, dalam perjalanan ini ikut pula saudara laki-laki dari Ondaasa bernama Pangeran Bawangunglara.
Di Tabukan Selatan mereka turun mendarat di sebuah tempat yang disebut Pantai Saluhe. Sebagai seorang Kulano atau Raja, mereka disambut baik dan dielu-elukan penduduk setempat. Ini sebabnya tempat tersebut berubah nama menjadi “Saluhang”, yang berarti dielu-elukan dan dipelihara supaya ia bertumbuh dengan baik dan subur. Di kemudian waktu tempat itu berubah nama lagi menjadi Salurang hingga sekarang.
Setelah menetap sekian waktu, pada tahun 1300, Gumansaļangi – Ondaasa mendirikan sebuah kerajaan baru di Salurang dan wilayahnya sampai di Marulang (Pulau Balut, Mindanao Selatan). Beberapa waktu setelah Kerajaan Salurang berdiri, Pangeran Bawangunglara, adik dari Ondaasa kembali melanjutkan pengembaraannya. Ia berlayar ke arah Timur Laut dengan perahu Ular Sakti hingga sampai di kepulauan Talaud. Ia mendarat di Pulau Kabaruan. Di tempat di mana perahunya dilabuhkan, sejak itu tempat tersebut diberi nama Pangeran. Nama itu masih lekat di sana sampai sekarang.
Di tangan Raja Gumansaļangi bersama istrinya, Salurang menjadi pusat pemerintahan, sementara keduanya memilih menetap di puncak gunung Sahandarumang. Karena kesaktian Gumansaļangi – Ondaasa, setelah keduanya berdiam di Sahandarumang, puncak gunung itu selalu mengeluarkan bunyi guntur dan sinar cahaya kilat yang memancar. Ini sebabnya orang-orang Sangihe memberi gelar keduanya sebagai pasangan Medellu – Mekila yang artinya pasangan Guntur – Kilat.
Raja Gumansaļangi dan Permaisuri Ondaasa mempunyai dua orang anak yaitu Melintang Nusa dan Meliku Nusa. Saat kedua anaknya menjadi dewasa, pemerintahan Kerajaan Salurang diserahkan kepada anaknya yang sulung yaitu Melintang Nusa pada Tahun 1350. Anak mereka yang bungsu, Meliku Nusa pergi mengembara ke Selatan dan sampai di Bolaangmangondow, Sulawesi Utara. Ia menikah dengan Menongsangiang, Putri Bolaangmangondow dan menetap di sana sampai meninggal. Sementara Raja Melintang Nusa pada masa pemerintahannya ia sering kali mengunjungi Mindanao Selatan, hingga akhirnya pada Tahun 1400 ia meninggal di Mindanao.
Pada tahun 1400 Kerajaan Salurang Tampunganglawo terbagi menjadi dua bagian yaitu bagian Utara bernama Sahabe (Lumango) dan bagian Selatan bernama Manuwo (Salurang). Kerajaan inilah yang disebut dalam dokumen juru tulis Magellan tahun 1421, Antonio Pigaffeta. Nanti pada 1530 kedua Kerajaan ini kembali dapat dipersatukan oleh Raja Makaampo Wawengehe dengan wilayahnya mulai dari Sahabe, Kuma, Kuluhe, Manalu, Salurang sampai ke Lapango, dan kerajaan ini disebut Rimpulaeng dengan Pusat Pemerintahannya di Salurang (Moade) dan berakhir pada 1575, karena Makaampo terbunuh oleh Ambala, seorang Pahlawan dari Mantelagheng (Tamako) dan saat itu ia ditemani oleh Hengkeng U Naung Pahlawan dari Siau yang disuruh oleh Raja Siau bernama Pontowuisang (1575-1612).
Berakhirnya masa kejayaan Rimpulaeng, kemudian di Tampunganglawo timbul lagi tiga kerajaan yaitu: Kerajaan Malahasa berpusat di Tahuna (Bukide) dengan rajanya Ansaawuwo yang disebut juga Tatehe atau Tatehewoba (1580-1625). Kerajaan Manganitu berpusat di Kauhis, dengan rajanya Boo disebut juga Liung Tolosang (1600-1630). Kerajaan Kendahe berpusat di Makiwulaeng, dengan Rajanya Egaliwutang (1600-1640).
Pada masa pemerintahan raja-raja tersebut di atas, menurut berbagai sumber sejarah, para penjajah sudah mulai masuk di daerah Sangihe dengan menyebarkan agama Kristen yaitu orang-orang Portugis dan Spanyol, serta pendeta-pendeta Belanda yang ikut bersama VOC. Pendatang asing ini masuk pertama kali di Siau pada Tahun 1604 kemudian di Pulau Sangihe pada Tahun 1616 dan di Pulau-Pulau Talaud pada Tahun 1689.
Begitulah saat berdiri di puncak Lenganeng, Sangihe, saya mencoba membayangkan Monako, sebuah negeri monarki konstitusional yang terletak di Cote d’Azur, Eropa Barat, yang luas wilayahnya hanya 2,02 kilometer persegi. Mengapa negara kota berdaulat yang berbatasan dengan Prancis di tiga sisi, dan satu sisi berbatasan dengan Laut Tengah ini disebut negara kedua terkecil di dunia? Karena luasnya tak lebih besar dari luas Kecamatan Tahuna Timur. Atau nyaris hanya kurang lebih gabungan dari dua kulurahan atau satu desa besar di kepulauan Sangihe. Lebih kecil lagi bila saya membayangkan Negara Kota Vatikan yang hanya berdiri di atas lahan sebesar 44 hektar.
Antonio Pigaffeta, seorang jurutulis Magellan punya dokumen tentang itu. Tentang Sangihe, sebuah kepulauan di belahan bumi tropis. Tempat anak-anak pesisir, anak-anak Salingkere, Para, Mahangetang, Kalama, Kahakitang hingga Enemawira di Tabukan yang berambut merah – sewarna rambut jagung tua – memandang ombak sebagai bunga sastra, tempat kisah dan sejarah mereka tersimpan dan diregenerasikan. Bahwa di Sangihe telah berpusat 2 kerajaan, ketika jurutulis Magellan itu mencatatnya di tahun 1421, yaitu kerajaan dari era Raja Gumansaļangi dan Permaisuri Ondaasa pada Tahun 1350. Pada tahun 1400 Kerajaan Salurang Tampunganglawo itu terbagi menjadi dua bagian yaitu bagian Utara bernama Sahabe (Lumango) dan bagian Selatan bernama Manuwo (Salurang).
Lalu pada abad ke 18, F. Valentijn mencatat, kepulauan seluas 736,98 km2 yang terletak di antara pulau Sulawesi dengan pulau Mindanao, Filipina ini telah mengoleksi beberapa kerajaan penting yaitu: Kerajaan Kendahe (1570-1893), Kerajaan Tahuna, Kerajaan Kolongan, Kerajaan Manganitu (1600-1949), Kerajaan Kauhis, Kerajaan Limau, Kerajaan Tabukan (1530- 1953), Kerajaan Sawang (Saban) dan Kerajaan Tamako.
Para “Kipung” dari masa lalu Lenganeng, tak merisaukan besaran wilayah kerajaan-kerajaan di kepulauan mereka. Bukan karena mereka hanya para pandai besi yang sejak masa lalu menjadi penempa perisai dan pedang pasukan tentara kerajaan. Tetapi begitulah mereka mengisahkan sejarah pada dentingan besi dari setiap hujaman palu untuk membentuk pedang yang baru.
Di kota Tahuna pada 2008, beberapa anak muda bercakap dengan saya di rumah peninggalan era kerajaan yang terletak di kelurahan Sawang Bendar. Mereka tahu wilayah kerajaan yang dibangun nenek moyang mereka tidak seberapa luasnya. Apalagi bila dibandingkan dengan luas wilayah kerajaan-kerajaan kontinental atau kerajaan maritim besar. Namun sastrawan Sangihe Leonardo Axsel Galatang yang pernah berkunjung ke Monako pada 1994 berkata lain. Bila dibanding dengan kerajaan-kerajaan Eropa sezamannya yang kini masih bisa dilihat sisanya seperti Kerajaan Monako, kata sosok yang kini punggawa para seniman panggung Kota Bitung itu, wilayah kerajaan-kerajaan di Sangihe jelas jauh lebih besar.
Generasi kini barangkali lebih mungkin dan cepat membanding luasaan itu dengan berselancar di dalam mesin pencari di dunia daring tentang profil Kerajaan Liechtenstein (Listenstaina) yang terletak di tepi timur Sungai Rhein, di antara negara Austria dan Swiss yang luasnya hanya meliputi 160 km2, atau Kerajaan Andorra yang luas wilayahnya 468 km² terletak di Semenanjung Iberia, di pengunungan Pirenia yang berbatasan dengan Perancis dan Spanyol. Juga Republik San Marino yang memiliki luas sekitar 61 km2 dikelilingi oleh Italia.
Sejarawan Alex Ulaen dan Ivan Kaunang, adalah dua orang sarjana sekaligus akademikus yang percaya, kerajaan-kerajaan di kepulauan Sangihe ini hingga permulaan abad ke-20 tak saja berdiri di atas kawasan kepulauan Sangihe. Penelitian-penelitian akademis mereka yang telah dibukukan mencatat, kerajaan-kerajaan di Sangihe mencakup wilayah pulau-pulau Talaud. Pulau Karakelang misalnya, pernah terbagi menjadi bagian wilayah dari kerajaan Tabukan, kerajaan Manganitu, kerajaan Kendahe – Tahuna, kerajaan Siau dan kerajaan Tagulandang. Bahkan, ada kerajaan yang wilayahnya membentang hingga ke bagian-bagian negara Filipina.
Kerajaan Kendahe misalnya, disebut dalam beberapa situs di Mindanao sebagai Candahar, mempunyai wilayah di Mindanao. Kerajaan ini mula-mula merupakan bagian dari kerajaan Mindanau Tubis. Data Valentijn mencatat, wilayah Kerajaan Kendahe setelah pisah dari Tubis meliputi Bahu, Talawid, Kendahe, Kolongan, Batuwukala dan pulau-pulau sekitarnya termasuk Kawio, Lipang, Miangas sampai sebagian Mindanau Selatan. Bagian yang di Mindanao yaitu Coelamang, Daboe (Davao), Ijong, Maleyo, Catil dan Leheyne.
Namun pada tahun 1900-an tersisa tiga kerajaan saja di Sangihe yaitu : Kerajaan Tabukan, Kerajaan Manganitu, Kerajaan Kendahe-Taruna. Kerajaan-kerajaan sebelumnya mengempis catat sejumlah sumber. Kerajaan Tamako menjadi bagian Kerajaan Siau di Kepulauan Siau. Sementara, Raja Kerajaan Limau ditumpas pasukan kiriman Gubernur Belanda di Maluku, Padtbrugge. Kerajaan ini hancur lebur. Kerajaan Sawang bergabung dengan Kerajaan Tahuna. Kerajaan Kauhis bergabung dengan Kerajaan Manganitu. Pada tahun 1898 Kerajaan Kendahe dan Kerajaan Taruna digabung menjadi satu.
Lalu, ke mana Kerajaan Kolongan yang terletak di kaki Gunung Awu itu menghilang? Mari membaca kembali berita tempo dulu di era Hindia-Belanda, kita akan dipertemukan dengan sejarah letusan Awu yang benar-benar mengguncang dunia, terutama lutusan pada malam 7 Juni 1892 yang mengakibatkan kehancuran besar di wilayah sekitarnya. Misionaris D. Brilman menulis dalam bukunya “Onze Zendingsvelden De Zending op de Sangi-en Talaud-eilanden”, letusan gunung Awu sangat mengerikan dan dramatis dengan korban jiwa sebanyak 2000 orang. Setelah gemuruh yang dasyat, dalam seketika waktu saja dari puncak hingga ke garis pantai berubah menjadi lautan api gas. “Lautan api itu membawa kematian dan pemusnahan total ke segala penjuru. Dari negeri Tabukan hingga Tahuna seluruh tanaman, hutan dan tanah ditutupi abu panas yang tebal, ” ungkap Brilman.
Letusan itu catatnya, selain memuntahkan lahar panas, juga menggelontorkan 45 juta meter kubik air dari dalam kawah yang telah mencapai titik didih. Sementara hujan abu amat tebal terlontar ke pulau-pulau sekitar di antaranya mencapai pulau Siau dan Tagulandang. Ribuan orang mati di desa-desa kaki gunung. “Dan yang paling mengerikan adalah temuan di sebuah gereja di desa Bahu, nampak pemimpin jemaat yang berdiri memimpin ibadat dan anggota jemaat yang duduk di bangku-bangku telah terbakar dan saat disentuh langsung hancur menjadi abu,” begitu tulisnya.
Peristiwa letusan gunung Awu ketika itu diberitakan luas media massa di Hindia-Belanda dan bahkan juga media massa Belanda saat itu. Koran Java-Bode, pada bulan Juni 1892 menerima telegram dari Makassar tentang kabar duka dari kepulauan Sangihe, kepulauan di sebelah ujung utara Pulau Sulawesi yang saat itu masuk ke dalam residentie Menado. Menurut sejarawan Adrianus Kojongian, Java-Bode mengulas kabar mengenai bencana alam letusan Gunung Awu yang disebutnya sebagai letusan yang dahsyat menghancurkan rumah-rumah penduduk dan juga lahan perkebunan kelapa yang menjadi salah satu sumber mata pencaharian utama masyarakat di sana. Kapal uap “Hecuba” milik perusahaan Inggris Ocean S.S. Company yang sedang berada di Menado saat itu pun segera disewa pihak terkait dan diberangkatkan ke lokasi bencana dengan membawa regu penolong.
Journal Padtbruge 1677 ikut mencatat rentetan Letusan besar gunung Awu lainnya, di antaranya, sudah terjadi pada sejak tahun 1641, 1677, 1711, 1812, 1856, 1892 dan 1966 yang menyebabkan lebih dari 8000 orang tewas. Ini sebabnya, kendati ada sumber yang menyebutkan Kerajaan Kolongan hilang ditinggalkan penduduk disebabkan oleh pertempuran dengan bangsa Portugis, persengketaan keluarga dalam kerajaan, namun lebih banyak disebabkan oleh penyingkiran penduduk akibat letusan gunung Awu.
Bangsa Barat pertama yang dikenal di daerah ini adalah bangsa Portugis dan Spanyol (abad ke-16). Portugis masuk melalui kesultanan Ternate-Maluku, sedangkan Spanyol masuk melalui Filipina. Selanjutnya VOC-Belanda (abad ke-17) melalui Ternate. Perkembangan kemudian Spanyol dan Portugis harus angkat kaki karena kekuasaan VOC-Belanda atas Ternate pada masa gubernur Jendral Padbrugge yang mengklaim Sangihe Talaud masuk dalam bagian kerajaan Ternate. Dari catatan sumber-sumber Eropa tersebut penting digarisbawahi, pada waktu lalu konsep kekuasaan tidaklah total dipahami sebagai kekuasaan kewilayahan dalam pemahaman kini. Ketika itu, kekuasaan dominan terkait dengan kemampuan membentuk kekuatan bersenjata yang mobile demi merebut kendali atas perdagangan tenaga kerja budak dan monopoli atas produk-produk dagang.
Bentuk kekuasaan semacam ini sebut Evelyn Tan Cullamar dalam ‘’Migration Across Sulawesi Sea” dibangun atas relasi orang atau tokoh lain. Aliansi politiknya dibangun dominan dengan kawin-mawin di antara para elit pemimpin. Sementara Ivan Kaunang, mengutip sistem pengelolaan tata pemerintahan tradisional dari Schrieke, menyebut kerajaan-kerajaan di Sangihe digolongkan pada tipe kerajaan dengan segala keragamannya.
Data Situs Kesultanan dan Kerajaan di Indonesia mengungkap, hubungan ke luar, dua kerajaan awal, Tabukan dan Kendahe di Sangihe Besar, kental mendapat pengaruh sistem kekuasaan di Sulu dan Mindanao (Filipina). Hal ini sejalan dengan keterangan sejarawan Alex Ulaen yang diutarakan kepada penulis pada 2019 di Manado. Ulaen mengatakan, sebelum disebut sebagai raja, pemimpin komunal di Nusa Utara mendapat gelar datu.
Dalam beberapa bukunya disebutkan, kedatuan merupakan awal dari sistem kepemimpinan komunal (proto pemerintahan). Sistem ini diduga sebagai pengaruh Islam yang tersebar dari Malaka (Melayu). Dia menjelaskan, di Sangihe, salah satu titik masuk Islam adalah dari Utara, yaitu Sulu dan Mindanao. Di Filipina, Syarif Kabungsuan atau Syarif Muhammad, sang pembawa Islam di Sulu dikenal sebagai pembentuk sistem kedatuan pertama di Maguindano Mindanao. Kata ‘datu’ merupakan kata Melayu lama. Pada periode masuknya Portugis dan Spanyol permulaan abad ke 16, ungkap Ivan Kaunang dalam bukunya “Bulan Sabit di Nusa Utara”, sistem pemerintahan kedatuan berangsur-angsur berubah menjadi kerajaan dan raja sebagai kepala pemerintahannya. (*)
Discussion about this post