Oleh: Iverdixon Tinungki
Sebagaimana para Tonaseng mengenal laut, demikian laut mengenal mereka. Ketika awan mencongklang dan angin berhembus di sisi pulau, para Tonaseng akan pergi ke bibir pantai dan berbicara dengan laut. Untuk meramaikan Sangihe Writers & Riders Festival (SWRF) 2021, berikut ini kami sajikan telusuran sisi-sisi unik dalam tradisi bahari masyarakat kepulauan itu.
Jam tak pernah berhenti mendetak di Intata. Di sana, tradisi lama nampak lestari terjaga. Di pulau kecil itu, penduduk Kakorotan, masih memelihara Mane’e. Sebuah tradisi unik menangkap ikan dengan janur kelapa. Di hadapan daun berbalut magis tradisi lama ini, ikan-ikan seakan tunduk dan patuh untuk ditangkap.
Kakorotan sejati sebuah pulau kecil yang indah, di kawasan utara Kepulauan Talaud. Kakorotan juga merupakan sebuah desa, meliputi pulau Kakorotan, pulau Intata serta pulau Malo. Dari ketiga pulau di desa ini, hanya Pulau Kakorotan berpenghuni.
Desa ini masuk dalam wilayah Kecamatan Nanusa, Kabupaten Talaud, Sulawesi Utara. Terletak di koordinat 04° 37’ 36” LU dan 127° 09’ 53” BT. Kendati di pulau Kakorotan sendiri hanya sekitar 800-an orang yang mukim, namun banyak warga salah satu pulau terluar tersebut tinggal dan bekerja di daerah lain. Mayoritas penduduk berprofesi nelayan, karena di wilayah tersebut potensi perikanan sangat besar. Komoditas lainnya adalah kopra.
Belakangan ini, pulau Kakorotan sangat dikenal karena penduduknya masih hidup dalam tradisi tua mereka, Mane’e itu. Cara manangkap ikan yang unik ini sungguh menyenangkan. Siapa pun bisa ikut bersama. Menangkap dan menangkap ikan dengan gembira. Sebuah budaya lama yang masih terpelihara dan terjaga.
“Banyak wisatawan terpikat uniknya Mane’e,” ungkap Erwin Tamatompo, yang juga menjabat Kepala Bidang Pariwisata di dinas tempat ia bekerja. Ini sebabnya, lanjut Erwin, Kakorotan beserta pulau-pulau karang di sekitarnya setiap tahun selalu dibanjiri pengunjung dari berbagai tempat dan negara. Mereka datang menikmati festival Mane’e.
Masih seperti dulu. “Tak ada yang berubah dalam ritualnya,” ujar Ben Liunsada, salah seorang warga Kakorotan kepada saya, saat berkunjung ke Talaud.
Dalam tradisi aslinya, Mane’e terdiri dari 9 tahap. Tahap pertama disebut dengan Maraca Pundangi atau memotong dan mengambil tali hutan termasuk mengumpulkan janur.
Prosesi ini dilakukan 3-4 hari sebelum acara utama dilaksanakan. Disusul upacara permohonan kepada Tuhan yang disebut Mangolompara. Kegiatan dilaksanakan pada subuh sebelum alat penangkapan ikan disebar ke laut. Kemudian dilanjutkan dengan Matuda Tampa Panee atau acara menuju lokasi upacara Mane’e di mana di sana mereka akan membuat perangkap ikan menggunakan janur dan prosesi ini dinamakan Mamabi U Sammi.
Setelah peralatan siap, mereka akan menebar sammi atau perangkap ikan dari janur yang telah di buat tadi ke tengah laut, tahap ini dinamakan Mamoto U Sammi. Selanjutnya warga akan menarik sammi ke darat atau Mamole U Sammi. Setelah ikan mendarat mereka mengambil hasil tangkapan, membaginya dan diakhiri dengan melakukan kegiatan syukuran yang masing-masing tahap disebut dengan Manganu Ina, Matahia Ina dan Manarima alami.
Sebagaimana tradisi orang-orang di selatan Sangihe yang diwarnai legenda bahari masa lampau, bagi banyak orang, menangkap ikan dengan daun kelapa seakan sesuatu yang mustahil. Di Kakorotan hal itu nyata, dan menjadi akar penting dalam membentuk kesadaran diri masyarakatnya mencintai laut. Sebagai anak-anak kepulauan, mereka tidak asing dengan gelegak hidup nelayan yang berteman angin, bersahabatkan ombak.
Prof Dr Ir Frans G Ijong MSc, seorang pakar perikanan Sulawesi Utara menyimpulkan, tradisi menangkap ikan semacam ini adalah simbol kesadaran intelektual masa lalu orang-orang Sangihe Talaud (Nusa Utara).
Setelah Talaud, mari berlayar ke selatan, ke Sangihe, ke pulau Para, ke negeri “Tonaseng” yang hidup dalam tradisi laut mereka yang juga unik. Di puncak bukit pulau Para ada pohon “Kalisusu” (kemboja). Kemboja (Plumeria) tua itu konon berusia ratusan tahun menaungi sebuah batu datar berlubang yang sesekali mengeluarkan air. Di situlah para Tonaseng ditahbiskan dalam sebuah upacara tradisi orang laut.
Ratusan tahun tradisi ini masih terjaga sebagaimana orang-orang pulau merawat laut mereka. Kata para tetua, Soekarno, sang proklamator Indonesia pernah dimandikan di sana. Tentang tradisi di bukit Kalisu ini, tercatat dalam larik 28 dan 29 Sasahola Laanang Manandu (De lange Sasahola), sebuah jenis puisi lama orang Nusa Utara yang direkam dan diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda oleh penulis Barat W. Aebersold, dalam buku Sangirese tekst met Ned. Vert” In: Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 1959: “28 Ilëmmangke, ilëmmangke, irakje, irakje; 29 ilëmmangke sarang Para, daki sarang Malëkaheng”.
Opo Lao Mamonto adalah sedikit dari para pemelihara tradisi yang masih ada ketika nyaris setahun saya menghabiskan waktu di pulau itu pada 1987. Seperti orang-orang di pulau-pulau lain di kawasan kepulauan ini, laut adalah jalan satu-satunya untuk sampai ke tempat lain.
Di sana tak ada satu orang pun yang pernah lahir tak melewati laut. Bahkan lautlah guru yang mengajarkan mereka teguh menjalani hidup. Opo Lao Mamonto mengatakan, ada mantra di dalam diri para Tonaseng sehingga alam laut mengenal mereka. Ketika awan mencongklang dan angin berhembus di sisi pulau, para Tonaseng akan pergi ke bibir pantai dan berbicara dengan laut. Setelahnya baru mereka memutuskan apakah Seke melaut atau tidak.
Bersahabat dengan para nelayan tradisional. Menyimak semangat kebahariwan para Tonaseng, bahkan melaut bersama armada seke, telah mengantarkan saya pada pemahaman di mana laut adalah cermin tradisi. Di sanalah orang-orang laut ini melihat wajah dan diri mereka sendiri.
Albertus Sakendatu, lelaki berusia 66 tahun itu, salah satu dari generasi terakhir para tonaseng yang masih hidup. Sebagaimana Tonaseng lainnya, Albertus mengaku mengetahui sifat-sifat ikan, begitu juga pusaran arus ketika menebarkan jaring Seke. Menurutnya, itu menjadi salah satu syarat utama dalam pengangkatan Tonaseng Seke, selain dari garis keturunan Tonaseng.
“Syarat orang diangkat menjadi Tonaseng adalah dia mengetahui hal-hal seputar Seke. Mulai dari dia bisa membuat Seke dan kemampuannya tentang laut. Ada juga turun-temurun. Sebab Tonaseng mempunyai tugas utama ketika Maneke, seperti memberi komando mengatur posisi Seke. Jadi dia harus tahu melihat arus. Jangan sembarang melepas Seke,” ujarnya.
Menangkap ikan dengan menggunakan Seke adalah tradisi turun temurun. Alat tangkap ikan tradisional ini pertama kali dibuat oleh dua orang leluhur mereka bernama Dolongpaha dan Takapaha di kisaran tahun 1713. Sebuah alat tangkap ikan yang terbuat dari Bulu Tui, (Bambu Kuning Kecil), Gomutu (Ijuk), dan Kayu Nibong (Batang Nira) serta Janur Kelapa, atau lebih detilnya sebuah alat tangkap tradisional yang terbuat dari rakitan bambu halus berdiameter 2-3 sentimeter yang dipotong sepanjang setengah depa atau sekitar 80 hingga 90 sentimeter. Pada 1989, tercatat ada 6 organisasi Seke di Para yaitu Seke Champiun, Lumairo, Lembo, Lembe, Rame, dan Balaba.
Balu, sebelum menjabat kepala desa Para adalah salah satu dari pemimpin kelompok seke. Dia menuturkan penggunaan alat tangkap Seke ditanam di kedalaman 10 hingga 15 meter, dan hanya khusus untuk menangkap ikan Malalugis. “Jadi alat ini ditanam sore sekitar jam 6, begitu juga kalau ditanam pagi ia harus sekitar jam 5. Karena bayangan dari alat ini sampai ke atas permukaan air, sehingga ikan Malalugis enggan keluar dari atas permukaan, karena juga ikan Malalugis takut tehadap daun kelapa,” jelas lelaki yang lengkapnya bernama Elengkey Nesar.
Melakukan aktivitas Seke biasanya disebut Maneke. Struktur yang mencakup pembagian kerja, yaitu (1) Tonaseng yang merupakan pemimpin kelompok yang turun menjaring ikan, (2) Matobo, ia bertugas menyelam untuk mengamati gerak-gerik ikan, (3) Mandor, sebagai pembagi hasil tangkapan, (4) Mata-Mata, memantau orang-orang yang terlibat aktif di lokasi Maneke, dan (5) Penasehat, adalah mantan Tonaseng.
Ingatan masyarakat setempat dalam mengenang Seke-Maneke ialah tradisi kebersamaan, kerukunan yang terjaga antar sesama masyarakat dalam membagi hasil tangkapan Seke. Mengunakan alat tangkap tradisional itu para nelayan seke bisa meraih hasil sampai 5 perahu atau 10 ton ikan Malalugis.
Balu menyebutkan alat Seke merupakan pencaharian yang mempunyai nilai sosial yang sangat tinggi bagi mereka warga Para. Suasana kebersamaan dalam tatanan tradisi suku Sangihe sangat terjaga dalam aktivitas Seke-Maneke.
Berbeda dengan Mane’e di kepulauan Talaud yang masih terjaga hingga kini, tradisi unik Seke di selatan kepulauan Sangihe ini di atas tahun 2000 pada akhirnya punah. (*)
Discussion about this post