Oleh: Iverdixon Tinungki
Makam korban keganasan tentara Dai Nippon di Kelurahan Bungalawang, Kecamatan Tahuna Kabupaten Kepulauan Sangihe adalah saksi bisu dari tragedy berdarah pedang Samurai di kepulauan itu. Untuk mengenang masa kelam itu, berikut penelusuran kisahnya, dipersembahkan untuk meramaikan Sangihe Writers & Riders Festival (SWRF) 2021.
Panggilan nurani kemanusiaan bisa menggerakan seseorang dari sebuah belahan dunia ke belahan dunia yang lain. Demikianlah kisah kehidupan dr Gyula Cseszko, di Tahuna. Membayangkan Cseszko, tak mungkin meluputkan seseorang membayangkan Hongaria. Sebuah negara di daratan Eropa tengah. Terletak pada Basin Carpathia dan berbatasan dengan Austri di sebelah barat, Slowakia di sebelah utara, Ukraina di sebelah timur, Rumania di sebelah tenggara, Kroasia dan Serbia di sebelah selatan, Slovenia di sebelah barat daya.
Negeri Cseszko ini dalam sejarahnya disebutkan, setelah masa pendudukan bangsa Celtic, Roman, Hun, Slavia, Gepid, dan Avar, kerajaan Hongaria terbentuk pada akhir abad ke-9 oleh pangeran agung Hongaria Arpad. Cucunya, Santo Stephen I naik ke tampuk kekuasaan pada tahun 1000 M, mengubahnya menjadi kerajaan Kristen. Kerajaan Hongaria bertahan hingga 946 tahun dan pada beberapa waktu menjadi pusat kebudayaan dunia Barat. Setelah Perang Mohacs dan pendudukan oleh Kesultanan Utsmaniyah (1541-1699), Hongaria menjadi bagian dari Kekaisaran Habsburg, yang kemudian membentuk bagian dari Kekaisaran Austro-Hongaria. Baru pada 23 Oktober 1989, Hongaria kembali menjadi republic parlementer yang demokratis.
Tahun-tahun sebelum kedatangan Dr. G. Cseszko, wabah malaria, kolera, dan cacar sedang merajalela di Sangihe. Mengakibatkan banyak kematian di sana, dan pulau-pulau sekitarnya. Brilman menggambarkan, penderitaan penduduk akibat sakit penyakit kadang-kadang tak terlukiskan dengan kata-kata. Klinik-klinik zending dikepulauan itu dibuat kelimpungan melayani kondisi kesehatan masyarakat, apalagi tanpa kehadiran seorang Dokter. Ribuan bayi atau 40 persen dari bayi yang baru lahir dan menyusui meninggal dunia.
Perang Dunia I belum lama berakhir ketika Cseszko menyatakan bersedia mengabdi di Sangihe. Di Hongaria sendiri masih nampak dampak dari perang global yang melibatkan 70 juta tentara militer, termasuk 60 juta orang Eropa, yang kemudian mengakibatkan 9 juta prajurit gugur. Di tengah kesulitan itu, Komite Zending Sangihe berjuang keras mendapatkan seorang dokter dari Eropa untuk melayani 150.000 penduduk di kepulauan ini.
Karena tidak ada dokter Belanda yang bersedia, akhirnya pada 1931 Dr. G. Cseszko, dokter Kristen yang masih berusia muda dari Hongaria menyatakan kesediaannya melayani penduduk di bidang kesehatan untuk wilayah Zending Sangi. Kedatangan Cseszko bersama istri dan anaknya di Tahuna disambut dengan penuh kegembiraan. Ia kemudian membangun rumah sakit Landschap Tahuna.
Sebuah pasar amal yang diadakan untuk mengumpulkan dana pembangunan perluasan rumah sakit berhasil mengumpulkan dana 1000-an gulden. Sekian tahun kariernya, dokter zending ini dengan penuh gairah melayani masyarakat terutama memerangi malaria, frambusia, penyakit cacingan, tuberkulose, perawatan luka-luka, penyakit-penyakit dalam yang parah, termasuk melakukan pembedahan.
Rumah Sakit Liungkendage, masih berdiri tegak hingga saat ini di Kota Tahuna. Pendirinya tak lain yaitu Emma Rosza Haday von Oerhalma dan suaminya dokter Gyula Cseszko, utusan lembaga gereja Eropa sebagai tenaga dokter Zending di Sangihe. Perkawinan mereka dikarunia 4 orang anak yaitu Emma (lahir 1931) Eva (lahir 1934) Gyula (lahir 1936) Jozsef (lahir 1939). Setelah dua tahun melayani misi kemanusiaan di Sangihe Talaud, mereka merintis pembangunan Rumah Sakit Liungkendage yang dimulai pada 10 Januari 1933. Di tengah himpitan situasi ekonomi akibat perang dunia kedua saat itu, Gyula Cseszko akhirnya berhasil mewujudkan impian mereka dengan berdirinya rumah sakit bagi penduduk kepulauan ini.
Namun Emma Rosza Haday von Oerhalma tentu tak menyangka hidupnya bakal berakhir di ujung samurai. Selama 3 tahun pendudukan Jepang (1942-1945) di Sangihe Talaud, telak mengakhiri karier tenaga zending asal Hongaria ini beserta keluarganya.
Malang tak dapat dielak, pada 29 Maret 1944 dokter Gyula Cseszko ditangkap Kempetai. Ia dituduh melakukan kontak dengan Sekutu serta konon pernah meneriakkan ‘Hidup Ratu’ (Ratu Belanda Wilhelmina) beber situs Situs Resmi Pemerintah Kabupaten Kepulauan Sangihe SangiheKab.go.id.
Di Tahuna beredar kabar di mana dokter Gyula Cseszko langsung dieksekusi pada hari itu juga. Namun kabar tersebut dibantah putrinya, Emma Cseszko. Menurut kesaksian putrinya tulis situs itu, ia melihat dokter tersebut di Airmadidi ketika diseret dari mobil, dan sebulan kemudian ada di penjara Tondano. Kata putrinya lagi, dokter Gyula Cseszko meninggal di kamp interniran Tondano setelah luka parah terkena pecahan bom yang dijatuhkan Sekutu.
Sementara istrinya Emma Rosza Haday von Oerhalma masih tetap bekerja di rumah sakit Lingkendage setelah suaminya ditangkap. Seperti juga nasib suaminya, ia didera rumor memiliki radio yang sebenarnya tidak dipunyainya. Pada tanggal 8 Agustus 1944 ia diciduk Kempetai Tahuna, tanpa diperiksa, disiksa bahkan disirami air keras dan dipukuli. Pada 9 November 1944, Emma Rosza Haday von Oerhalma akhirnya merenggang nyawa di ujung samurai bersama sejumlah Raja dan tokoh masyarakat yang ikut dieksekusi hari itu.
Nasib tragis keluarga Gyula Cseszko akhirnya menjadi kabar yang menyentak dunia ketika Surat Kabar bergengsi yang terbit di Singapura The Straits Times edisi 21 Agustus 1947 dan 22 Mei 1955 menurunkan tulisan veteran Richard Hardwick tentang kisah tragis keluarga Cseszko.
Pasca-kematian orang tua mereka, anak-anak dokter Gyula Cseszko dirawat Bidan asal Tagulandang, bekas murid dokter Gyula Cseszko di Minanga, tulis Adrianus Kojongian dalam “Misteri Kematian Raja-raja dan Tokoh SaTal”. Emma, Eva, Gyula dan Jozsef baru bisa diselamatkan pada Maret 1945 oleh tentara Sekutu. Saat keresidenan Manado dan Sangihe masih dikuasai Jepang, kondisi mereka sangat menyedihkan. Menderita penyakit tropis dan gizi buruk dengan tubuh penuh bisul. Paling parah adalah Emma selain lemah dan ketakutan ia pun menderita disentri akut dan terus menerus pingsan. Mereka akhirnya diterbangkan diam-diam dengan pesawat Katalina oleh Sekutu ke pulau Morotai lalu ke Australia.
Demikian antara 1942 -1945 adalah tahun kelam bagi orang-orang Sangihe Talaud. Di era pendudukan Jepang itu, selain penduduk setempat, tak sedikit raja-raja kerajaan di kepulauan ini mati dieksekusi tentara Jepang. Sejumlah data memaparkan, pembunuhan para raja dan tokoh masyarakat Sangihe itu berlangsung antara tahun 1942, 1944 dan 1945.
Para saksi mata, bahkan keturunan dari para korban hingga kini masih bersilang pendapat mengenai waktu eksekusi dan jumlah korban. Namun disebutkan tak sedikit orang telah gugur di sana. Diawali dengan dipancungnya 30 orang berasal dari Tabukan yang dilakukan Polisi Militer Jepang di Tahuna.
Mereka yang jadi korban eksekusi yaitu: Raja Tahuna (Kendahe-Tahuna) Engelhard Bastiaan, Raja Tagulandang Willem Philips Jacob Simbat, Raja Manganitu Willem Manuel Pandengsolang Mocodompis, Raja Talaud P.G. Koagow, mantan Raja Tahuna Christiaan Nomor Pontoh, Jogugu (sebutan Kepala Distrik) Kendahe Anthoni, Jogugu Manalu (Tabukan Selatan) Karel Patras Macpal, serta istri dokter Gyula Cseszko bernama Emma Rosza Haday von Oerhalma, tenaga Zending di Tahuna Sangihe-Talaud asal Hongaria Eropa.
Korban lain yang juga disebutkan yaitu guru agama G. Tatengkeng, kepala negeri Buang Kaliapas Jacobs, Jogugu Tagulandang B. Jacobs, Jogugu Manganitu B.L.P. Jacobs, Jogugu Tamako H.J.P. Macahekum, Jogugu Ondong E. Marthing, Jogugu Taidi dan W.A. Kansil, ipar Raja Manganitu Willem Mocodompis yang memimpin Komite Nasional Siau. Sementara sebuah sumber data dari Belanda menambahkan nama B. Hengkenbala, seorang kepala kelasi KM Eiland Tahuna dari kesatuan KM-KNIL yang dieksekusi 19 Januari 1945.
Hukuman yang dijalani para korban lebih banyak didasarkan pada tuduhan yang buat-buat oleh pihak tentara Jepang sendiri. Sebagai misal, Raja Tahuna Engelhard Bastiaan belum genap 30 tahun. Ia menduduki tahtanya tahun 1939 menggantikan ayahnya Albert Bastiaan yang wafat. Raja muda yang menikahi wanita bermarga Parengkuan dari Minahasa itu pada Mei 1942 hingga Juli 1943 dipercaya menjalankan pemerintahan di bekas Onderafdeeling Sangihe en Talaud-eilanden yang sebelumnya dikendalikan Kontrolir J.G.H. Kramps dan Kontrolir W. Langendonk. Lalu dengan tuduhan dibuat-buat ia ditangkap Kempetai. Ia disebutkan dieksekusi di tahun 1942.
Hal yang sama juga menimpa Raja Willem Philips Jacob Simbat yang menjadi Raja Tagulandang sejak tahun 1934 menggantikan Hendrik Philips Jacob Malempe. Raja Levinus Israel Petrus Macpal dari kerajaan Tabukan kelahiran tahun 1891 anak mantan Jogugu Manalu (Tabukan Selatan). Ia menjabat Jogugu Tabukan Selatan ketika naik tahta menggantikan raja sebelumnya Willem Alexander Kahendake Sarapil yang diberhentikan dan diasingkan Belanda ke Kolonedale Sulawesi Tengah.
Raja Manganitu Willem Manuel Pandengsolang Mocodompis, anak mantan raja Manganitu Manuel Soaha ‘Hariraya’ Mocodompis yang memerintah 1864-1880. Ia memindahkan ibukotanya ke Tamako tahun 1916. Dianggap mampu, ia pun dipercaya merangkap jadi pejabat Raja Tahuna periode 1928-1930, dan menerima bintang jasa penghargaan dari Residen Manado tanggal 19 Mei 1936.
Permaisurinya Ella Louise Kansil putri mantan Raja Siau Lodewijk Kansil. Putri mereka Yolanda Wilhelmina Joachine Mocodompis (Manganitu 10 Januari 1910-Tahuna 20 November 1986) meraih gelar meester in de rechten (Mr, sarjana hukum) dari Universitas Leiden Negeri Belanda. Menurut keluarganya, Raja Willem Mocodompis ditangkap Kempetai bulan Desember 1944 dengan tuduhan mata-mata Sekutu, dipenjarakan sebulan, lalu dieksekusi pancung tanggal 19 Januari 1945 di Tanjung Tahuna.
Christiaan Nomor Pontoh adalah tokoh politik terkenal dari Tahuna. Mantan raja lulusan Hoofdenschool (Sekolah Raja) Tondano dan Landbouwschool Buitenzorg ini pernah dipilih menjadi anggota Volksraad (Dewan Rakyat, DPR Hindia-Belanda) tahun 1920-1924 duduk di ‘fraksi’. Tanggal 13 Desember 1923 ia memperoleh Ridder in de Orde van Oranje-Nassau. Ia naik tahta kerajaan Tahuna (Kendahe-Tahuna) tahun 1914 (versi lain baru dinobatkan 1917) menggantikan ayahnya Soleman (Salmon) R. Pontoh. Karena kritis terhadap Belanda, di tahun 1928 diturunkan dari tahtanya lalu diasingkan ke Luwuk Sulawesi Tengah, dan baru kembali di Tahuna tahun 1933, dan dieksekusi Jepang pada 19 Januari 1945 di Tanjung Tahuna.
W.A. Kansil, seorang pejuang yang memimpin Komite Nasional Siau (KNS). Dalam kapasitas demikian, tanggal 11 Desember 1941 ia mengambilalih kekuasaan di Siau dari tangan Belanda. Jepang kemudian menunjuknya sebagai koordinator pemerintahan di Sangihe Talaud sampai diambilalih (Asisten Residen) Hirano. Setelah Raja Willem Mocodompis ditahan, ia ditunjuk sebagai Wakil Syutjo (wakil raja) Manganitu di Tamako menggantikan iparnya tersebut (yang resmi disebut pengganti sebagai raja adalah Jogugu Manganitu Alexander ‘Ambong’ Ambrosius Darondo). Di tahun 1945 Kansil ditangkap dengan tuduhan terlibat pemberontakan di Sangihe Besar serta dieksekusi mati.
Tuduhan tak jelas yang berakibat hukum pancung juga menimpa R.G. Koagow, Raja Talaud. Ia adalah ambtenar (pejabat) kolonial berasal Minahasa. Semula ia menjabat sebagai Bestuur Asistent, posisi penting di bawah komando langsung Kontrolir. Kemudian oleh Jepang diangkat menjadi Syutjo (Raja) Talaud menggantikan Metusala Tamawiwij, raja sebelumnya yang dipecat. (*)
Discussion about this post