Lelaki 60-an tahun itu kini berpulang. Dan hari ini, Sabtu, 14 Agustus 2021, jagat Teater Sulawesi Utara berduka. Sebab, tanpa menyebut Royndra Kairupan maka alur sejarah teater Sulut tak mungkin lengkap.
Jauh sebelum saya bergambung dalam dunia teater, semasa SMP, tepatnya tahun 1979, saya telah mengenal Royndra Kairupan. Ia penulis lakon, aktor dan sutradara, pelaku teater yang setia di jalan seni panggung. Selain menyutradarai karya-karya sendiri, ia juga banyak mementaskan lakon karya pengarang terkemuka Indonesia dan dunia.
Di atas tahun 1982, saya cukup beruntung bisa bercakap ria sambil berguru kepada dramawan yang dikenal sebagai lelaki dengan postur ‘vasung dan imut’ yang di masanya selalu tampil dengan topi ala dramawan Putu Wijaya, berjaket ala WS Rendra ini. Banyak hari yang kami habiskan di sanggarnya di bilangan pertigaan Singkil, Manado. Dan dalam pandangan saya, ia dapat dikatakan sebagai penerus tradisi tonil dari pendeta-pendeta Belanda. Sebab pertunjukannya di era awal lebih banyak mengadopsi model tonel yang dipanggungkan di gereja-gereja.
Menyebut Roindra saya jadi ingat Rendra. Dramawan yang akrabnya disapa Roi ini sejak dulu memang sering mengidentifikasi dirinya semacam WS Rendra-nya Manado. Dengan teater Previdentia yang digawanginya, Roy merajai panggung-panggung teater gereja dengan tema-tema lakon bernuansa Kristiani.
Previdentia mencampai puncaknya ketika mementaskan lakon Opera “Jesus Sang Super Star” berdurasi sekitar 3 jam, sebuah lakon adaptasi dari drama karya Remy Sylado. Pemantik kiprah Previdentia pada masa itu juga mendapat topangan kuat dengan bergambungnya dramawan Richard Rhemrev yang baru kembali dari Jakarta. Duet Roy dan Richard Rhemrev yang akrab di sapa Bu Ica, menjadikan Previdentia sangat disegani di masanya.
Di era Royndra, sejak penghujung 1979, sejumlah festival menyemaraki kehidupan teater di Manado dan Sulut pada umumnya. Festival teater yang paling marak di era itu yaitu Festival Teater November yang dimotori para dramawan dari angkatan awal teater modern di daerah ini, seperti antaranya Baginda M Tahar, Husen Mulahele, Roydra Kairupan, Benni M Matindas, Karel Takumansang.
Festival November kemudian berhenti di era 1980-an diganti dengan Festival PATSU yang dilaksanakan oleh organisasi Persatuan Artis Teater Sulawesi Utara yang dimotori pendiri PATSU dramawan Masri Paturusi, Richard Remrev dan Royndra Kairupan serta para seniman teater era awal. Festival PATSU terakhir berlangsung pada tahun 2011, dan selama 9 tahun terakhir organisasi para peteater ini nampak mandek.
Semasa hidupnya, kendati disibuki dengan tugasnya sebagai karyawan Telkom di Manado hingga pensiun pada 1990-an, ia tetap eksis menghidupkan dunia teater dari panggung ke panggung. Pertunjukannya yang spektakuler tercatat mengisi panggung gedung kesenian Pingkan Matindas Manado, Wisma Montini Manado, Ouditorium Bukit Inspirasi Tomohon, panggung-panggung gereja hingga aras kolom, Kelurahan dan TVRI Manado.
Selamat jalan sang dramawan, tak sedikit kenangan indah telah kami tempuh di panggung bersamamu. Dan engkau telah menjadi bagian dari sejarah panjang kehidupan teater di negeri ini.
Penulis : Iverdixon Tinungki
Discussion about this post