Oleh : Jupiter Makasangkil
Bulan Oktober bagi bangsa Indonesia dikenal sebagai Bulan Bahasa Nasional. Setiap institusi pemerintah yang bersentuhan tupoksinya denga urusan bahasa nasional pasti menggelar aneka kegiatan seperti lomba menulis esai, lomba cipta puisi, lomba baca puisi, lomba musikalisasi puisi, dan lain-lain. Lalu bagaimana dengan perhatian dan kepedulian terhadap bahasa daerah atau bahas aibu (lingua franca) tiap sukubangsa di seluruh daerah di Indonesia?
Salah satu bahasa ibu adalah bahasa Sangihe Talaud yang digunakan sehari-hari oleh penduduk pulau-pulau utara (noorderneilanden) atau Nusa Utara. Kepulauan eksotis ini berurut memanjang dari utara keselatan mulai dari laut ujung selatan Mindanao di utara hingga selat Talise di jazirah utara Sulawesi pada ujung selatan. Bahasa penduduknya serumpun dengan kelompok bahasa-bahasa Filipina, dan merupakan bagian penyebaran dari kelonpok bahasa Austronesia ataupun kelompok Melayu-Polynesia sebagaimana dikemuka-kan J.C. van Eerde dan Daniel Brilman.
Bahasa Sangihe sebagai bahasa sehari-hari penduduk atau komunitas adat di Sangihe dan Talaud sedang terancam punah. Hal ini bukan suatu kondisi dan kenyataan yang tidak berdasar. Sampai saat ini belum ada satu pun seminar atau apapun namanya yang dilakukan guna mengkaji dan membahas keadaan bahasa daerah kepulauan Sangihe dan Talaud yang berstatus terancam punah berdasarkan penelitian dan kajian Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan selang tahun 2011-2019.
Status terancam punah mengartikan semua penutur bahasa berusia 20 tahun keatas dan jumlahnya sedikit, sementara generasi tua tidak berbicara dalam bahasa daerah kepada anak-anak atau di antara mereka sendiri. Kajian itu dilakukan melalui pengamatan terhadap pengguna atau penutur bahasa daerah dalam percakapan sehari-hari dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, di perkantoran, di sekolah-sekolah, di pusat-pusat kegiatan ekonomi, pada kegiatan ritual tradisi budaya dan kegiatan keagamaan. Sejak tahun 2017 hasil penelitian itu sudah disampaikan kepada semua pemerintah daerah lokasi penelitian. Namun, sangat disayangkan sedikit sekali publikasi yang mengangkat atau mengungkap keadaan yang memprihatinkan ini kepermukaan, baik dalam wacana pelestarian bahasa dan sastra daerah atau pun diskusi resmi tentang permasalahan itu yang digagas atau diberi ruang pengkajian oleh pemerintah daerah.
Khusus di Kapubaten Kepulauan Sangihe hingga saat ini diketahui belum ada tindak lanjut yang memadai dan konstruktif terkait dengan ancaman kepunahan bahasa Sangihe sebagai bahasa ibu. Penerapan kewajiban bertutur bahasa Sangihe setiap hari Jumat oleh pemerintah daerah dan lembaga-lembaga keagamaan tampaknya belum berhasil mendaratkan upaya dan tujuan perlindungan bahasa.
Tulisan ini bertujuan mendorong dan menggugah semua pemangku kepentingan mengenai betapa perlunya melakukan upaya-upaya nyata, maksimal dan komprehensip dalam menjaga kelangsungan hidup bahasa daerah Sangihe dan Talaud. Secara khusus dalam tulisan ini diarahkan pada pelestarian bahasa Sangihe. Tentu perlu dilihat dan diamati faktor-faktor penyebab adanya ancaman terhadap kepunahan bahasa daerah Sangihe serta langkah dan upaya apa yang perlu dan harus dilakukan oleh semua pemangku kepentingan guna memperkecil dan atau mengatasi ancaman yang sangat serius ini.
Meminimalisir ancaman kepunahan bahasa Sangihe harus dengan tindakan dan kegiatan nyata yang konstruktif, sebagai bentuk upaya perlindungan melalui sinergitas yang padu dari Pemerintah Daerah, Masyarakat, dan Keluarga selaku pemangku kepentingan. Pasti membutuhkan kesadaran, kebersamaan, semangat, kemauan baik, pendanaan dan tanggung jawab moral. Sebagai komunitas masyarakat adat yang telah teruji oleh deras arus dan gelombang samudera serta terjangan angin dan badai, dengan semangat semboyan daerah SOMAHE KAI KEHAGE, saatnya kini semua pihak membangun komitmen pantang mundur dalam memberi perlindungan dan menjaga kelestarian bahasadaerah. Pada keunikan bahasa dan sastra daerah, kedalaman esoteris, serta keindahan makna dalam bahasa ibu itu,terukir keadaban, harkat, martabat, nilai luhur dan jatidiri “Tau Sangihe”.
Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan “bahasa daerah adalah bahasa yang lazim dipakai di suatu daerah”, juga diartikan sebagai bahasa suku bangsa. Setiap daerah atau suku bangsa memiliki kekhasan bahasa masing-masing. Bahasa ini dipakai sebagai bahasa keseharian dalam suatu daerah sebagai bahasa sehari-hari walaupun di antara komunitas masyarakat di daerah itu berbeda-beda dialek yang menunjukkan cirri khas wilayah tempat tinggal setiap komunitas. Orang Sangihe Talaud adalah satu suku bangsa di Provinsi Sulawesi Utara berdasarkan pengelompokan wilayah hukum adat menurut pembagian dan penetapan lingkunga hukum adat (Rechtskringen) oleh Prof. Mr. Cornelis Van Vollenhoven dalam bukunya Het Adatrecht van Nederlandsch-Indie (1902). Sangihe Talaud masuk pada lingkungan 19a dengan segala hukum adat dan budayanya. Secara geografis dan kemasyarakatan Kepulauan Sangihe dan Talaud terdiri dari dua gugusan kepulauan dengan dua komunitas penduduk, yaitu Kepulauan Sangihe dengan penduduk yang disebut “Tau Sangihe” (Orang Sangihe) dan Kepulauan Talaud dengan penduduk yang dikenal dengan sebutan “Tau Taȴoda” (Orang Talaud). Masing-masing gugusan pulau mempunyai bahasa sebagai identifikasi diri komunitas dengan beberapa dialek yang ada pada masing-masing wilayah pemukiman. Dengan demikian terdapat dua kelompok bahasa daerah di lingkungan wilayah hukum adat Sangihe Talaud. Lingkungan hukum adat di gugusan kepulauan Sangihe meliputi wilayah pulau Sangihe Besar termasuk pulau-pulau sekitarnya dan gugusan pulau Siau Tagulandang Biaro serta pulau-pulau sekitarnya. Lingkungan hukum adat di kepulauan Talaud meliputi wilayah pulau Salibabu, Karakelang, Kabaruan, dan pulau-pulau Nanusa termasuk pulau-pulau sekitarnya.
Alex John Ulaen mengurai : Ada dua kelompok bahasa daerah yakni (A) bahasa Sangihe atau Sangir dengan 10 dialek: (1) dialek Manganitu, (2) dialek Tahuna, (3) dialek Kendahe, (4) dialek Tabukan Utara, (5) dialek Tabukan Tengah, (6) dialek Tabukan Selatan, (7) dialek Tamako, (8) dialek Siau Barat, (9) dialek Siau Timur, (10 dialek Tagulandang; dan (B) bahasa Talaud dengan 6 dialek: (1) dialek Salibabu, (2) dialek Kabaruan, (3) dialek Karakelang, (4) dialek Essang, (5) dialek Nanusa, dan (6) dialek Miangas. PenulisbukuNUSA UTARA – Dari LintasanNiagaKe Daerah Perbatasan (2003) ini menjelaskan pula “penggunaan bahasa daerah secara utuh hanya dapat ditemukan dalam percakapan antara sesame generasi tua yang akrab satu dengan yang lain.
Hingga pertengahan tahun 1960-an, masih sering dijumpai penggunaan bahasa daerah dalam situasi formal, terutama pada acara pesta-rakyat (termasuk upacara daur hidup), upacara keagamaan dan pertemuan-pertemuan sosial yang diselenggarakan oleh pemerintah di desa. Pada pesta-rakyat misalnya, pembicara-terutama orang-orang tua – bahkan sering menggunakan kata-kata satra yang dikenal dengan sebutan bahasa sasahara, ketika hendak menuturkan silsilah, mengucapkan doa dan mantra atau melantunkan sasambo. Bahasa sasahara juga digunakan pada saat sekelompok orang sedang melaut atau bekerja di ladang. Apa yang ditulis Ulaen, menjadi penanda adanya ancaman kepunahan bahasa Sangihe dan bahasa Talaud, beberapa tahun sebelum UNESCO dan Badan Bahasa Kemendikbud mengumumkan tentang hal itu.
Sejarah mencatat sejak tahun 1893 bahasa daerah Sangihe telah menjadi objek penelitian ilmiah Nicolaus Adriani seorang ethnolog dari Belanda dalam penyusunan desertasi doktoralnya. Dibantu nona Clara Steller puteri pendeta Ernst Trauggot Steller di Manganitu, hasil penelitian itu diterbitkan tahun 1894 dengan judul SangireescheSpraakkunst (Tata Bahasa Sangihe), kemudian dilanjutkan dengan buku kedua terbit pada tahun yang sama, SangireescheTeksten – Met VertalingenAanteekeningen (Narasi Bahasa Sangihe – Dengan Terjemahan dan Catatan). Buku kedua berisi 40 bio (ceritera), 401 tatinggung (teka-teki), dan 302 sasambo (pesan luhur), 4 kakalanto (ungkapan lara), dan 3 kakumbaede (ungkapan pujian), 2 bawasadoa (bacaan mantra), serta 5 lahemba (mantra penolakbala).
Belum semua orang Sangihe dari generasi kegenerasi menyadari betapa penting dan berharganya dua buku tua itu, dan Sangirees– NederlandsWoordenboek met Nederlands-Sangirees Register (Kamus Bahasa Sangihe – Belanda dengan Daftar Bahasa Belanda-Sangihe) karya Mr.K.G.F.Steller dan Ds.W.E.Aebersold (1959) guna kepentingan pelestarian bahasa dan budaya “Tau Sangihe” masa kini. Demikian pula dengan buku-buku berbahasa Sangihe berupa kitab-kitab Injil, dan ceritera-ceritera kristiani yang diterjemahkan oleh pendeta Ernst T. Steller dan putra-putrinya K.G.F.Steller dan Clara J. Steller.
Tahun 1860 hingga tahun 1960 selama seratus tahun atau satu abad lamanya bahasa daerah Sangihe Talaud (bahasa Sangihe dan bahasa Talaud) mengalami masa keemasan sebagai bahasa ibu dan hadir sebagai kekayaan budaya yang ditempatkan secara baik, dan tepat dalam memudahkan penyampaian dan penerimaan ilmu pengetahuan kepada dan oleh murid-murid di sekolah yang ada. Penelitian dan pengembangan penggunaan bahasa Sangihe Talaud oleh para pendeta orang Eropa (Steller, Schroder, Kelling, Richter, Gunther, dll) bersama para guru sekolah (volkschool dan vervolkschool) sekaligus sebagai pekerja gereja, sangat membantu memudahkan pengajaran dan pencerahan Injil kepada orang Sangihe Talaud. Penerbitan dalam bahasa daerah : kamus kecil bahasa Belanda-bahasa SangiheManganitu (1861), kumpulan ceritera rakyat Beke, Bawioh, dan Sesamboh (1868), sejarah Alkitab (1871), bagian-bagian Alkitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru (1883, 1886, 1888, 1889. 1890, 1891, 1893, dan 1938), Katekismus Heidelberg (1871,1889 dan 1890), nyanyian ibadah gerejawi (1871, 1880, 1898), buku pelajaran sekolah dan ceritera-ceritera rohani (1868, 1871, 1889, 1893, 1905, dan 1938) oleh beberapa pendeta zending, mempunyai andil besar terhadap penggunaan bahasa daerah sebagai bahasa tutur di dalam dan oleh keluarga, sehingga mulai dari anak-anak, orang dewasa dan orang-orang tua semua bertutur dalam bahasa daerah.
Tanpa menafikan keberadaan bahasa Melayu (Melayu Maluku). Sejarah mencatat secara nyata pada masa keemasan ini, bahasaSangihe dan bahasa Taȴoda menjadi bahasa utama yang digunakan secara utuh dalam percakapan sehari-hari di dalam berbagai situasi formal oleh penduduk setempat.
Tahun 1921 hingga tahun 1940 sebelum Steller bersaudara meninggalkan Sangihe karena beredar kabar akan pecah perang dunia kedua, nona Clara J.Steller dan saudaranya pendeta Mr. K.G.F. Steller bersama beberapa orang guru sekolah “Tau Sangihe” menerbitkan dua bulletin pelayanan Kristen berbahasa Sangihe “Mananawuhĕ” (Penabur) yang disebar kesemua Jemaat di Resort yang ada (11 Resort), dan buletin “Maria Martha” bagi ibu-ibu isteri pendeta, inlandsch leerar, guru dan penghentar emaat. Bagi kaum muda hadir bulletin berbahasa Melayu dan bahasaSangihe, yaitu “Bentara Pemoeda”. Besar sekali perhatian dan kesungguhan mereka dalam memberikan perlindungan bahasa melalui penyediaan bahan bacaan terutama Alkitab dan Katekismus dalam bahasa daerah dan kewajiba nmenggunakan dan menutur pada percakapan sehari-hari, meskipun hal itu adalah bagian penting dari misi penginjilan lintas budaya.
Coba kita bayangkan, bagaimana seandainya pendeta Ernst T. Steller, Friedrich Kelling, W. Richter, P. Gunther dan pendeta lainnya tidak mengedepankan penggunaan bahasa ibu dalam pekerjaan pelayanan mereka, sangat mungkin sejak tahun 1960-an bahasa Sangihe Talaud sudah mengalami kepunahan.
Kemunduran dalam penggunaan bahasa Sangihe dan bahasa Taloda sebagai kekayaan bahasa daerah Sangihe Talaud, mulai tampak pada penghujung tahun 1960 ketika penyebaran dan penggunaan bahasa Melayu Menado merambah Nusa Utara dengan kehadiran para tenaga pendidik bukan suku Sangihe Talaud, setelah berdirinya beberapa sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas serta sekolah kejuruan lainnya (terutama dari Minahasa dan Jawa), dan penempatan pegawai-pegawai dari luar daerah pada kantor-kantor dan instansi pemerintah (TNI, Polisi, Jaksa, Hakim, dan lain-lain).
Pertumbuhan ekonomi yang makin pesat setelah dibangunnya pasar pada beberapa ibukota kecamatan, mendorong kedatangan para penjual dan peniaga suku Jawa, Bugis, Gorontalo, dan Sumatera. Banyak dari antara mereka kawin-mawin dengan penduduk Sangihe Talaud, dan akibat perkawinan campuran itu keseharian mereka tidak lagi menggunakan atau tidak bertutur bahasa daerah. Berbarengan dengan kondisi tersebut, rendahnya kemauan baik dan dukungan pemerintah daerah, kurangnya kepedulian semua lembaga kemasyarakatan terhadap upaya perlindungan bahasa, turu menjadi penyebab melemahnya vitalitas atau daya hidup bahasa Sangihe Talaud.
Tahun 1970-1980-an memang pernah ada kehadiran kelompok pemusik dan nyanyi (vokal grup) dan penyanyi lagu daerah antara lain grup vokal Dampelos, Tampunganlawo; penyanyi Alfred Lumeno, Sosto Mangeghong, dan lain-lain. Pada kurun waktu 1990- sampai sekarang ini, antara lain grup vokal. Alfa Omega, Bentane, grupsamper Putra Galangan, Nazareth, Golden Sasiritang, dan Putra Santiago.
Semua pekerja seni itu membawakan lagu-lagu atau nyanyian bahasa daerah gubahan lama dan juga lagu-lagu ciptaan mereka. Tidak sedikit nyanyian bahasa daerah dengan genre musik masamper, pop percintaan, dan pop rohani, hadir memperkaya khasanah blantika musik lagu-lagu bahasa daerah, kemudian lebih populer dengan sebutan lagu pato-pato. Akan tetapi sentuhan bahasa Sangihe dan bahasa Talaud dalam karya seni mereka sebatas hanya untuk dinikmati dan dinyanyikan kembali oleh para penggemarnya. Sedikit sekali pengaruhnya terhadap penguasaan dan pengembangan kemampuan bertutur bahasa Sangihe Talaud.
Temu Budaya Sangihe Talaud tahun 1995 berakhir tanpa ada keputusan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan perlindungan bahasa sebagai kekayaan budaya daerah. Tidak ada pemikiran tentang perlunya keharusan dan pengaturan bertutur bahasadaerah bagi Tau Sangihe dan Tau Taloda sebagai bentuk perlindungan bahasa, kecuali keputusan politik mengenai peninjauan dan penetapan kembali perhitungan hari ulang tahun daerah KepulauanSangihe dan Talaud.
Gelar kegiatan lintas sekolah pada semua tingkatan berupa lomba menuwang tamo yang bermula dari gagasan cerdas Bupati Sangihe dan Talaud almarhum Yan Mende memang sangat bermanfaat dan mendorong penguatan sastra lisan daerah. Masih terkait dengan perlindungan bahasa, patut diakui keputusan pemerintahdaerah dan badan adat daerah Komolang Mananireda Tundun Tampunganlawo tentang pelaksanaan upacara adat Tulude setiap perayaan hari ulang tahun daerah, memang memberi kontribusi positip terhadap perlindungan bahasa dan sastra daerah, namun tidak berpengaruh signifikan terhadap pertambahan jumlah penutur ataupun pengguna bahasa daerah.
Cendekiawan penulis, penyair dan seniman sastra Nusa Utara seperti Alex John Ulaen telah menyusun dan menerbitkan Kamus Bahasa Talaud (2018) disusul Kamus Bahasa Sangihe oleh Soleman Montori (2020). Buku puisi berbahasa Sangihe oleh Iverdikson Tinungki (2020) dan beberapa video musikalisasi puisi bahasa Sangihe di youtube, memang sangat berguna dan menjadi sumbangan nyata dalam upaya perlindungan bahasa dan sastra daerah, meskipun titik awal perlindungan bahasa adalah tradisi bertutur dalam keseharian setiap keluarga Tau Sangihe Taloda. Dipastikan geliat sastra daerah kedepan dalam bentuk buku-buku puisi dan musikalisasi puisi bahasa daerah akan mampu memberi sumbangsi nyata bagi perlindungan bahasa.
Pertanyaannya, dalam menghadapi ancaman kepunahan bahasa ini bagaimana sikap dan upaya kita? Sesungguhnya tak ada pilihan lain. Agar tidak mengalami kepunahan dan paling tidak mengembalikan kondisi dan status bahasa daerah Sangihe dari terancam punah kepada kondisi dan status aman, membutuhkan kesamaan pemahaman akan arti pentingnya secara massif bertutur bahasa bahasa Sangihe oleh semua Tau Sangihe di daerah maupun yang telah berdiaspora, Sadar betapapenting dan perlunya berbahasa Sangihe dengan baik dan tidak perlu malu dan merasa rendah diri berbahasa Sangihe. Hal yang pasti yakni perlu ada satu langkah konkrit yang patut dilakukan semua pemangku kepentingan berbahasa daerah dalam upaya pelestariannya. Mengapa hal ini menjadi topik yang menarik dikuliti meski sebatas argumentasi dari sudut pandang menyatukan bahasa dan mengajak melangkah bersama guna mendorong meluasnya penggunaan dan jumlah penutur bahasa daerah sehingga semakin eksis atau tidak mengalami kepunahan. Pasal musababnya tidak lain karenaa danya pemberitahuan dan peringatan UNESCO kepada negara-negara di dunia mengenai ancaman punahnya bahasa-bahasa lokal.
UNESCO sebagai badan khusus PBB di bidang Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan memperkirakan sekitar 3.000 bahas lokal akan punah di akhir abad ini. Hanya separuh dari jumlah bahasa yang dituturkan saat ini yang masih eksis pada tahun 2100 nanti. Kondisi ini sudah sedang terjadi dan dialami negara kita. Sebagai negara dengan 707 bahasa daerah sudah tentu resikokepunahan bahasa pada daerah-daerah tertentu adalah sebuah keniscayaan yang akan terjadi bila tidak disadari dan tidak diwaspadai oleh semua pemangku kepentingan berbahasa daerah.
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia sejak tahun 2017 telah memberi sinyal mengenai kebenaran prediksi ancaman kepunahan bahasa lokal (bahasa daerah) yang disampaikan UNESCO. Kepala Badan Bahasa, Prof. Dr. Dadang Sunendar menjelaskan “penelitian Badan Bahasa menunjukkan dari 652 bahasa daerah yang telah dicatat dan diidentifikasi, baru 71 bahasa daerah yang dipetakan vitalitas atau dayahidupnya. Keadaan vitalitas bahasa daerah pada 71 daerah penelitian menyajikan keadaan 19 bahasa daerah terancam punah dan 11 bahasa daerah dikategorikan punah, 4 bahasa daerah dengan kategori kritis, 2 bahasa daerah dengan kondisi mengalami kemunduran, 16 bahasa daerah dengan kategori rentan, dan 19 bahasa daerah berstatus aman. Sembilan belas bahasa yang terancam punah tersebut berasal dari daerah Maluku, Papua, Sulawesi, Sumatera, dan Nusa Tenggara Timur.
Secara nasional pemberitaan mengenai hasil penelitian tersebut telah dimuat dalam berbagai media beritabaik media cetak maupun media elektronik. Bahasa daerah di Sulawesi yang terancam punah ada 5 bahasa yaitu: (1) bahasa Ponosakan, (2) bahasa Konjo, (3) bahasa Sangihe Talaud, (4) bahasa Minahasa, (5) bahasa Gorontalo.
Tentang keterancaman bahasa, Lewis et.all, dalam Ethnologi: Langue Of The World (2015) menegaskan ada dua dimensi dalam pencirian keterancaman bahasa, yaitu jumlah penutur yang menggunakan bahasanya serta jumlah dan sifat penggunaan atau fungsi penggunaan bahasa. Suatu bahasa dikatakan terancam apabila semakin sedikit masyarakat yang mengakui bahasanya – dan oleh karena itu – bahasa itu tidak pernah digunakan ataupun diajarkan kepada anak-anak mereka. Selain itu, suatu bahasa dikategorikan terancam punah jika bahasa itu semakin sedikit digunakan dalam kegiata sehari-hari sehingga kehilangan funsi sosial atau komunikatifnya. UNESCO (2003) menggolongkan 6 (enam) tingkat keadaan bahasa berdasarkan penilaian vitalitas atau daya hidup bahasa. Dua diantara tingkatan itu adalah terancam dan sangat terancam.
Bahasa yang terancam ditandai dan terjadi sebagai akibat anak-anak tidak lagi menggunakan bahasanya di rumah sebagai bahasa ibu (lingua franca). Sedangkan bahasa yang sangat terancam ditandai dan terjadi karena bahasa itu hanya digunakan antar generasi tua, tetapi tidak kepada anak-anak.
Berkait dengan kategori bahasa daerah yang terancam punah sebagaimana kajian Badan Bahasa terhadap bahasa Sangihe, seyogyanya perlu disikapid enganarif dan tidak perlu “grusah-grusuh”, saling menyalahkan dan atau merasa “tersakiti”. Keadaan ini adalah satu kenyataan yang dilihat, dirasakan, dan dialami, di semu lini kehidupan kemasyarakatan Tau Sangihe dewas aini. Semua pemangku kepentingan (pemerintah, masyarakat, dan keluarga) perlu memahami dengan baik faktor-faktor penyebabnya, kemudian menetapkan bersama upaya dan langkah nyata yang akan dilakukan dan dikerjakan.
Meskipun belum dilakukan penelitian dan pemetaan di lapangan, dari kondisi nyata yang ada di daerah serta kehidupan sosial masyarakat dapat dijumpai hal-hal yang dipastikan sangat memberi kontribusi kuat sebagai factor penyebab keterancaman kepunahan bahasa Sangihe dan mungkin pula bahasa Talaud.
Faktor-faktor penyebab itu ditengarai antaralain : (1) Menyusutnya jumlah penutur bahasa daerah di masyarakat. (2) Sikap masyarakat yang menganggap bahasa daerah kurang bergengsi.(3) Lemahnya perhatian Pemerintah Daerah, Masyarakat (Lembaga Kemasya-rakatan), dan Keluarga terhadap pemuliaan bahasa daerah. (4) Perkawinan campuran yang tidak diiringi pewarisan bahasa kepada anak-anak. Dipastikan masih banyak faktor lain sebagai penyebab keterancaman kepunahan bahasa Sangihe.
Mengingat dan memperhatikan keterancaman kepunahan bahasa Sangihe, semua pemangku kepentingan diharapkan terbingkai dalam satu bahasa dan satu langkah bersama untuk melakukan berbagai upaya dan kerja konkrit terarah sebagai komitmen dan kebijakan terpadu, yaitu:
- Pemerintah Daerah; membentuk Peraturan Daerah tentang Pelestarian Bahasa Daerah, pengaturan kurikulum dan silabus pembelajaran bahasa daerah mulai pendidikan dasar sampai sekolah lanjutan pertama, melaksanakan bulan bahasa daerah, invetarisasi dan dokumentasi sastra daerah, lomba cipta puisi dan cipta lagu bahasa daerah, lomba menyanyi bahasa daerah, lomba mengarang cerita dalam bahasa daerah, penelitian bahasa dan penerbitan Kamus Bahasa Daerah, penggunaan bahasa daerah dalam acara resmi tertentu oleh jajaran pemerintah daerah, kewajiban berbahasa daerah pada hari tertentu, pemberian penghargaan kepada seniman dan budayawan daerah pegiat bahasa daerah, pelaksanaan upacara adat Tulude, lomba bahasa sastra Menuwang Tamo, dan lain-lain.
- Masyarakat/Lembaga Kemasyarakatan: penggunaan bahasa daerah dalam kegiatan keagamaan dan kegiatan kemasyarakatan, menyelenggarakan upacara adat Tulude, menyelenggarakan lomba menyanyi lagu bahasa daerah, pembentukan sanggar-sangar seni budaya daerah, menciptakan dan menerbitkan kumpulan puisi bahasa daerah, menciptakan nyanyian bahasa daerah, menyelenggarakan lombaMebio, lombaMesambo, lombacipta dan baca puisi bahasaSangihe, dan lain-lain.
- Keluarga : mengajarkan dan menggunakan bahasa daerah dalam komunikasi sehari-hari di rumah, mengajarkan dan mendorong anak-anak menguasai dan mampu menyanyikan dengan baik nyanyian bahasa daerah.
Catatan akhir yang terus mengusik ketenangan jiwa adalah keyakinan bahwa kepunahan bahasa daerah merupakan lonceng kematian bagi kebudayaan sebagai wujud nyata kemanusiaan setiap suku bangsa. Bahasa Sangihe terancam dan berada diambang kepunahan. Di dalam kedirian bahasa Sangihe tidak saja mengandung makna sebagai sarana komunikasi verbal Tau Sangihe, tetapi ada bahasa sasahara dan bahasa sastra yang sarat dengan sasalintiho, tatanata, tentiro, bawahansang, dan laiwoge. Semua itu perlu perlindungan sekaligus pelestarian.
Kalau pun saat ini bahasa Sangihe termasuk pada bahasa yang terancam punah, harus jujur diakui bahwa penyebabnya adalah karena selama ini perlindungan terhadap bahasa daerah kurang optimal. Terlebih lagi rendahnya kemauanbaik dan minimnya upaya semua pemangku kepentingan dalam pelestarian bahasa daerah.
Mungkin sekali, keadaan ini patut diduga menjadi penyebab mengapa Bahasa Sangihe berada diiambang kepunahan. Sesungguhnya semua pemangku kepentingan memikul tanggungjawab yang sama untuk mencegah kepunahan bahasa. Guna menyelamatkan dan melindungi bahasaSangihe, sangat arif bila semua pihak memahami dan menyadari tanggungjawab moral masing-masing untuk melindungi bahasa daerah sebagai bagian dari kekayaan takbenda yang sangat berharga dan tidak ternilai harganya. Bahasa daerah adalah asset budaya daerah sekaligus aset dan kekayaan budaya nasional.
Sebagai momentum untuk mengingatkan dan memberi perlindungan betapa pentingnya bahasa ibu (lingua franca) oleh semua bangsa dan sukubangsa di dunia, sejaktahun 1999, UNESCO menetapkan peringatan Hari Bahasa Ibu setiap tanggal 21 Pebruari. Penetapan ini dianggap penting karena dapat menjadi tonggak pemacu kesadaran suatu bangsa untuk menjaga bahasa ibu-nya dan mewariskan kepada generasi penerus pada setiap bangsa dan sukubangsa.
Sepanjang tidak dianggap lancang dan boleh menjadi pertimbangan, ada tiga hal yang sangat bermanfaat dan berperan untuk perlindungan bahasaSangihe : Pertama, dalam keseharian di lingkungan keluarga dan pergaulan bersama setiap keluarga Tau Sangihe hendaknya menyediakan waktu bertutur bahasa Sangihe yang luas dan berkualitas bagi semua anggota keluarga.
Kedua, sebagai komitmen dan wujud perlindungan terhadap bahasa daerah, TauSangihe di daerah ataupun diaspora wajib menyatukan tekad melestarikan bahasa Sangihe sebagai bahasa ibu dengan terus menggunakannya setiap hari dalam komunikasi verbal mulai dalam keluarga, pergaulan kemasyarakatan, dan memperkuat tekad melalui pelaksanaan peringatan Hari Bahasa Ibu. Ketiga, Pemerintah Daerah sebagai pemangku kepentingan terdepan dalam mendorong pelestarian bahasa daerah perlu memperhatikan dan melaksanakan amanat Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Pasal 25 – 45 yang dengan jelas mengatur kewajiban dan tanggung jawab pemerintah tentang perlindungan terhadap bahasa daerah.
Ayo. Mari bersama kita satu bahasa dan satu komitmen melindungi dan melestarikan bahasa Sangihe agar terhindar dari ancaman kepunahan! Meminjam pameo salah satu organisasi politik: Kalau tidak sekarang kapan lagi. Kalau bukan kita siapa lagi !
Penulis adalah pemerhati sejarah dan budaya daerah Sangihe Talaud.
Discussion about this post