Jika pendidikan adalah pintu peradaban dunia, maka guru adalah kuncinya. Jangan mengira semua guru mendapat banyak kemudahan karena tugasnya menjadi lebih ringan di masa pandemi Covid-19. Saat sekolah diliburkan dan anak didik belajar dalam jaringan, ternyata masih ada guru yang memperjuangkan hak pendidikan siswa lewat tatap muka langsung.
Ocen Hilda Lun menempuh jarak sejauh 50 kilometer untuk bisa menemui siswanya Meldo Malintoy. Mereka berada di Pulau Lembeh, sebuah pulau di depan Kota Bitung, Sulawesi Utara. Alasan Ocen harus mengajari Meldo lewat sistem luar jaringan (luring) di masa pandemi tak sekadar karena belum semua bagian Lembeh terpapar jaringan internet. Keduanya memang harus bertatap muka karena sang murid adalah tunarungu, sementara gurunya mengajari bahasa isyarat.
“Sudah menjadi tugas saya setiap hari Rabu turun ke rumah siswa untuk mengajar secara luring, protokol kesehatan tetap kami lakukan, para siswa wajib cuci tangan dan kenakan masker, duduk di hadapan guru pun diatur jaraknya,” ujar Ocen, tenaga pendidik anak berkebutuhan khusus yang mengabdi di Sekolah Luar Biasa (SLB) Trikora Bitung, belum lama ini.
Jumlah siswa di SLB ini yang tunarungu sebanyak 14 anak, tunagrahita ada 23 orang dan tunadaksa 3 orang dan autis 3 anak. Pendidikan untuk mereka tak boleh putus hanya karena dihadang pandemi. Ocen pun berjuang menempuh jarak puluhan kilometer dengan kontur jalan yang lumayan menyulitkan, agar hak itu bisa diterima anak didiknya.
Karena siswa harus di rumah saja, menjadi tugas Ocen untuk merangkum tugas selama satu minggu dan membawanya langsung untuk diserahkan ke siswa atau orang tua. Saat tugas sudah selesai dikerjakan, Ocen kembali lagi menjemputnya untuk dievaluasi.
“Kendati was-was karena kegiatan belajar mengajar di bawah ancaman virus Covid-19, namun tugas ini harus dilakukan demi anak-anak didik saya,” cetus Ocen.
Kisah guru yang berjuang di tengah pandemi juga ada di Kepulauan Sangihe, sebuah kabupaten perbatasan yang berdekatan dengan negara tetangga Filipina, juga bagian dari Provinsi Sulawesi Utara. Tak beda dengan Ocen, Mirce Meitti Gahagho juga mengambil sistem luring pada murid-muridnya di SMP Negeri 6 Satu Atap Tamako, tepatnya di Kampung Makalekuhe. Ya, jaringan internet memang belum sepenuhnya bisa dinikmati warga kepulauan ini secara luas.
Apalagi kata Meitti, “Tak semua siswa saya punya laptop dan Ponsel.”
Maka yang dia lakukan adalah menempuh perjalan melalui jalan berbukit, setiap hari, demi menjabarkan ilmu yang harus diresapi anak didiknya. Beberapa siswa di Tamako memang tidak bermukim dekat jalan utama yang mudah diakses. Banyak juga di lokasi yang cukup jauh hingga ke wilayah-wilayah pesisir. Tantangannya semakin tinggi saat musim hujan membuat medan yang dilalui licin.
“Kami terpaksa harus meninggalkan motor di pinggir jalan dan masuk ke dalam walaupun harus berjalan kaki karena jalan yang sempit dan rusak serta belum beraspal,” kata dia.
Saat belajar tatap muka, Protokol masa pandemi tetap menjadi yang utama. Tak lupa juga Meitti selalu mengingatkan siswanya rajin cuci tangan, memakai masker dan menjaga jarak. Dia pun berharap agar pandemi covid-19 bisa berakhir sehingga proses belajar mengajar bisa kembali normal, anak-anak kembali mengisi ruang belajar yang nyaris kosong sepanjang tahun ini. (**)
Editor: Ady Putong
Discussion about this post