Tak jauh dari kampung Pananaru, ada sebuah tempat bernama Tanah Runtuh, di pulau Sangihe bagian Selatan. Lokasi itu hingga kini masih menyimpan misteri kehidupan seekor ular naga.
Keberadaan ular naga, bukan kisah baru di kepulauan Sangihe Talaud. Sejak lama penduduk kepulauan itu digemparkan penampakan ular-ular besar yang muncul dari laut yang diperkirakan sebagai naga.
“Percaya atau tidak, ular naga masih ada di pulau Sangihe,” kata Sjahrul Pontoh, seorang budayawan Sangihe.
Ketika kami mengunjungi Pananaru, belum lama, lelaki keturunan raja-raja kerajaan Tabukan dan Kendahe itu menunjukan lokasi Tanah Runtuh yaitu sebuah tanjung di tepian selatan pulau Sangihe yang memiliki liang persembunyian seekor naga yang masih hidup dan dinamakan masyarakat setempat “dumalombang”.
Ini sebabnya, kata Sjahrul, Pananaru sejak lampau dijadikan tempat pertapaan atau ritual budaya masyarakat Sangihe, karena adanya mahkluk mitologis ini.
Dalam sejarah dan legenda orang-orang Sangihe, Dumalombang disebut sebagai Ular Sakti yang ditunggangi pasangan Datu Gumansalangi – Ondaasa. Ular itu dikatakan diciptakan secara ajaib dari sehelai saputangan atas kesaktian Gumansalangi.
Uniknya, ular sakti Dumalombang hingga kini dipercaya sebagian masyarakat Sangihe, masih hidup di gua Tanah Runtuh.
Dengan menunggangi Naga Dumalobang disebutkan, Gumansalangi – Ondaasa dari Filipina Selatan sempat singgah di Wiarulung (Pulau Balut), kemudian terus ke arah selatan sampai di Pulau Mandolokang (Tagulandang). Mereka tidak turun di Mandolokang, tapi langsung melewati Pulau Siau, terus ke pulau Tampunganglawo hingga tiba di Tabukan Selatan.
Di Tabukan Selatan mereka turun mendarat di sebuah tempat yang disebut Pantai Saluhe. Sebagai seorang Kulano atau Raja, mereka disambut baik dan dielu-elukan penduduk setempat. Ini sebabnya tempat tersebut berubah nama menjadi Saluhang, yang berarti dielu-elukan dan dipelihara supaya ia bertumbuh dengan baik dan subur. Dan di kemudian waktu tempat itu berubah nama lagi menjadi Salurang hingga sekarang.
Setelah menetap sekian waktu, pada tahun 1300, Gumansalangi – Ondaasa mendirikan sebuah kerajaan baru di Salurang dan wilayahnya sampai di Marulang (Pulau Balut, Mindanao Selatan). Di tangan Raja Gumansalangi bersama istrinya, Salurang menjadi pusat pemerintahan, sementara keduanya memilih menetap di puncak Gunung Sahandarumang.
Karena kesaktian Gumansalangi – Ondaasa, setelah keduanya berdiam di Sahandarumang, puncak gunung itu selalu mengeluarkan bunyi guntur dan sinar cahaya kilat yang memancar. Ini sebabnya orang-orang Sangihe memberi gelar keduanya sebagai pasangan Medellu – Mekili yang artinya pasangan Guntur – Kilat.
Sementara di pulau Karakelang Talaud, orang-orang Pulutan juga punya kisah tentang kehidupan seekor naga.
Disebutkan, Mannatta dan Larrossa adalah pasangan suami istri yang mendiami puncak gunung Piapi. Di puncuk gunung yang cukup tinggi itulah tempat mereka melakukan pekerjaan sehari-hari sebagai pandai besi.
Sebagai dua orang yang memiliki kesaktian, merekalah yang disebut pernah membunuh seekor naga yang dalam sebutan masyarakat setempat yaitu Atoana.
Atoanna menggelepar dan terlontar ke mana-mana dalam adu kesaktian dengan pasangan suami istri itu. Ia tergulung-gulung hingga ke pesisir. Empedunya pecah dan bercecer menggenangi tanah. Tubuhnya melemah, kemudian mati dan berubah menjadi batu.
Batu tersebut oleh penduduk Pulutan disebut dengan nama Puang Katoan atau Batu Kepala Ular. Batu itu terbujur beberapa ratus meter di tepi pantai dan empedunya tergenang menjadi danau kecil.
Orang-orang Pulutan menyebut danau kecil itu dengan nama Melam artinya Biru. Danau Melam dan Batu Puang Katoan hingga kini masih ada di tepi pantai Pulutan.
Penulis : Iverdixon Tinungki
Discussion about this post