Setiap pagi selalu dingin di Kelolondey. Begitulah memang hawa semua desa di Langowan Raya, Kabupaten Minahasa. Bagi Irene Manaroinsong (22), dinginnya pagi justru menjadi penyemangat dirinya untuk mengolah lahan perkebunan berisi bermacam sayuran. Sebagai anak petani, sarjana daru Universitas Negeri Manado itu sadar betul, ba kobong adalah jatidirinya.
Gadis Kelolendey itu sungguh cekatan memetik buncis yang tumbuh menggantung. Atau memisahkan mana tomat dan ketimun terbaik untuk dijual di pasar tradisional.
“Sayuran Kelelondey dijual di Manado, juga dikirim ke Maluku hingga Papua,” katanya, bangga, pada Barta1 Jumat (07/08/2020).
Aktifitas ba kobong membantu mama-papanya, pasangan Deni Manaroinsong (51) dan Iske Bolung (53) sudah dimulai sejak pagi benar, nanti berakhir sore. Di atas lahan sekitar 1 hektar itu Irene menanam, menyiangi kemudian memanen sayuran sebagai bekal hidup keluarganya. Kadang dia menemui kendala, berhadapan dengan hama, kekurangan pupuk dan modal. Tapi semua bisa dilalui.
“Sarjana saya ini dari hasil berkebun,” katanya sembari tersenyum. “Karena itu kita anak-anak muda jangan malo apalagi gengsi ba kobong,” tambah Irene.
Kantong-kantong perkebunan di Sulawesi Utara tersebar di tanah Minahasa, di mana Kelelondey Langowan adalah salah satunya. Sentra holtikultura terbesar berada di Kecamatan Modoinding Minahasa Selatan yang dikenal sebagai dapurnya Indonesia Timur. Selain itu petani sayuran juga tersebar di kaki Gunung Lokon, Kota Tomohon. Seluruh lokasi ini adalah kawasan beriklim sejuk cenderung dingin. Hasil perkebunan sayur-mayur dipasarkan ke Maluku, Papua, Kalimantan, Jawa, bahkan menembus negara-negara tetangga termasuk Filipina.
Baca juga: Sayur Modoinding, dari Industri Holtikultura ke Agrowisata
Dan semua petani sayur menggantungkan hidup dan derap langkahnya dari hasil perkebunan. Konsumsi masyarakat membuat petani bisa bernapas lega, termasuk kuat bertahan di masa pandemi. Irene sendiri mensyukuri hal itu, dan memahami bahwa kultur berkebun khas keluarganya memang harus terjaga. Dia membawa filosofi ba kobong ke ranah milenial, dalam konteks kesadaran karena mengaku biaya kuliahnya datang dari hasil perkebunan.
“Jadi jangan gengsi berkebun, karena ini sumber pendapatan yang bisa menopang kehidupan kita dan keluarga,” katanya. “Peran petani harus dihormati, petani harus tetap ada dan sangat membantu ketahanan pangan. Walau masih muda jangan malu pergi ke kebun, laki-laki maupun perempuan bisa bertani,” ujarnya lagi. (*)
Peliput: Meikel Pontolodondo
Discussion about this post