Jakarta, Barta1.com – Pandemi Covid-19 ikut menyeret krisis ekonomi di Indonesia. Berbagai sektor industri di Tanah Air menghadapi masa-masa yang suram. Tanpa terkecuali, krisis ini juga menghantam industri media nasional.
Bayang-bayang pemutusan hubungan kerja untuk karyawan (PHK) perusahaan media menjadi semakin nyata, ketika industri dihadapkan pada perfoma bisnis yang menurun secara drastis. Sebagaimana juga terjadi pada sektor lain secara bersamaan.
Sekjen Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Wahyu Dhyatmika mengungkapkan, berdasarkan survei yang dilakukan AMSI terjadi penurunan pendapatan perusahaan media cukup dalam. Pandemi ini juga mengaburkan kepastian nasib industri media ke depan.
“Hal ini bisa membuat penurunan kualitas dan ekosistem informasi,” katanya dalam Konferensi Pers Media Sustainability Taskforce “Selamatkan Warga, UMKM, Dunia Usaha, dan Pers Indonesia!” secara online, Kamis (14/5/2020).
Abdul Manan, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menambahkan minimnya pendapatan membuat efisiensi terpaksa dilakukan. Tak hanya pemotongan gaji, langkah terberat juga harus diambil.
“Di Jakarta saja sudah banyak efisiensi yang dilakukan, di antaranya pemotongan gaji. Yang di luar Jakarta pasti lebih parah. Ada gelombang PHK atau ada yang tidak digaji sama sekali. Dua bulan saja sudah separah ini. Bagaimana kalau 4-6 bulan?” ujarnya.
Ia menambahkan, organisasi wartawan juga turut terdampak dalam krisis ini. Senada, Sekretaris Jenderal Serikat Penerbit Pers (SPS) Pusat Asmono Wikan mengatakan, krisis Covid-19 ini memang luar biasa dan ancaman PHK sangat nyata.
“Sudah hampir separuh sudah dan sedang merencanakan PHK. Sebanyak 70% anggota sudah tidak mampu melihat jalan terang di balik pandemi. Ini persoalan besar. Mereka menganggap tidak ada lagi ruang untuk berkreasi, tidak ada peluang di balik krisis,” katanya.
Sementara itu, Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI) Rafiq menuturkan, sejak 2 Maret 2020 di mana kasus pertama Covid-19 ditemukan di Tanah Air, media sudah turut serta menggugah kesadaran masyarakat akan bahaya pandemi.
PRSSNI mulai melakukan kampanye, mulai dari memberi informasi soal Covid-19 hingga mengedukasi bagaimana agar terhindar dari paparan. Berduyun-duyun berbagai radio menyiarkan iklan layanan masyarakat tak berbayar.
“Memang 10% sudah jadi kewajiban untuk pertanggungjawaban semacam itu. Tapi kini rasanya anggaran terkait sudah lebih dari itu,” ungkapnya.
Ia mengatakan, belanja iklan untuk radio terbanyak ada di Jakarta. Kisarannya mencapai 70% dari total iklan, sisanya terbagi di kota-kota lain. “Di Jakarta saja sudah turun banyak, bagaimana dengan kota-kota lain? Rasanya untuk memenuhi tagihan listrik pun pasti berat,” katanya prihatin.
Di tengah situasi ini, permintaan agar media masih menjalankan fungsi sosial tetap berdatangan. Salah satunya, program Kemenko Kemaritiman dan investasi yang tengah mendorong kampanye membeli produk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Indonesia.
Pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) telah menyebabkan permintaan akan produk UMKM anjlok. Lewat program Kemenko Kemaritiman dan Investasi ini, nantinya produk UMKM akan dijual melalui tujuh platform e-commerce. Dalam hal ini, radio diminta untuk menyiapkan spot kampanye produk.
“Kalau semua minta tolong ke radio, kita lalu harus minta tolong ke siapa?” ujarnya.
Rafiq mengungkapkan lembaga penyiaran harus membayar berbagai hal untuk operasional. Oleh karena itu, ia meminta kepada pemerintah untuk meringankan atau meniadakan tagihan-tagihan tersebut. “Bayar listrik pemancar, 1 radio sebulan saja sudah sekitar Rp25 juta–Rp30 juta. Itu baru pemancar, belum biaya office. Kalaupun pemerintah masih belum memenuhi juga, kita masih akan terus berjuang,” ucapnya.
Menyikapi kondisi ini, Ketua Forum Pemimpin Redaksi (Forum Pemred) Kemal Gani menegaskan tersendatnya industri media akan menimbulkan dampak serius ke masyarakat. Pasalnya, penyampaian informasi kredibel kepada masyarakat akan terganggu.
Ketua Komisi Penelitian, Pendataan & Ratifikasi Pers, Ahmad Djauhar menambahkan, peran media begitu strategis. Ia juga menilai bahwa media harus tetap hidup agar informasi tidak dimonopoli media sosial. Berbeda dengan media sosial, penyampaian informasi melalui media massa melewati proses pengecekan ulang sehingga akurasi terjaga. Terdapat pula kode etik dalam jurnalis bekerja menyampaikan informasi.
“Kami berharap, sesulit apapun kondisi teman-teman media masih bisa memberikan informasi yang kredibel. Agar hoaks tidak sampai berkembang di masyarakat,” tuturnya.
7 Insentif
Dewan Pers bersama Asosiasi Perusahaan Media dan Asosiasi Profesi Media sepakat mendorong pemberian insentif ekonomi bagi industri media nasional. “Ada tujuh butir insentif yang kami perjuangkan,” kata Ketua Komisi Hubungan Antar Lembaga dan Internasional Dewan Pers Agus Sudibyo.
Tujuh butir insentif ekonomi yang diusulkan kepada pemerintah untuk mempertahankan bisnis media massa tersebut. Yakni, mendorong negara untuk tetap mengalokasikan dana sosialisasi kebijakan, program, atau kampanye penanggulangan covid-19, baik di tingkat pusat maupun daerah untuk perusahaan pers.
Kedua, mendorong negara untuk memberikan subsidi harga kertas bagi perusahaan pers cetak sebesar 20% dari harga per kilogram komoditas tersebut.
Ketiga, mendorong negara memberikan subsidi biaya listrik untuk perusahaan pers sebesar 30% dari tagihan per bulan para periode Mei–Desember 2020.
Keempat, mendorong negara memberikan kredit berbunga rendah dan berjangka panjang melalui Bank BUMN untuk perusahaan pers.
Kelima, mendorong negara menangguhkan kewajiban karyawan dan perusahaan pers untuk membayar iuran BPJS Ketenagakerjaan selama masa pandemi covid-19, tanpa mengurangi manfaat yang seharusnya diperoleh karyawan.
Keenam, mendorong pemerintah menanggung kewajiban karyawan dan perusahaan pers untuk membayar iuran BPJS Kesehatan selama masa pandemi covid-19.
Dan yang terakhir atau ketujuh, mendorong negara memaksimalkan pemungutan pajak penghasilan (PPh) dari perusahaan platform global yang beroperasi di Indonesia, seperti Google, Facebook, Youtube, Twitter, Instagram, Microsoft, dan lain-lain.
Komponen atau hasil pemungutan PPh itu, menurut kalangan industri media, penting untuk menciptakan iklim persaingan usaha yang sehat dan setara. Pajak tersebut layak dialokasikan untuk mengembangkan dan menyelamatkan institusi jurnalisme di Indonesia.
“Untuk itu, AMSI berharap pemerintah bisa memberi respons terhadap tuntutan kami, yaitu dengan memberi insentif, relaksasi bagi industri pers, hanya untuk masa pandemi,” pungkas Komang, sapaan Sekjen AMSI.
Peliput : Agustinus Hari
Discussion about this post