Hanya sedikit yang tersisa dari masa lampau Nusa Utara, kendati para ahli memprediksi sudah ada manusia yang menghuni kepulauan itu sejak zaman es pada 5000 – 7000 tahun lampau.
Selain legenda, mitos, sastra dan tradisi yang hidup dalam ingatan massal masyarakat setempat, akan sulit menemukan fakta yang masuk akal untuk menjelaskan Nusa Utara bahkan hingga waktu yang terdekat, yaitu di bawah abad 15. Beruntung, perkembangan sains yang kini terbuka luas, setidaknya memberikan cukup sinar atas tabir rahasia sebuah pertanyaan besar: Dari manakah nenek moyang kita berasal. Dari manakah kita datang.
Penyebutan Nusa Utara untuk gugusan Kepulauan Sangihe dan Talaud sendiri baru dimulai pada 1974 oleh A Maluegha dalam “A Brief of the Development of the Dutch Rule in Nusa Utara” sebagai terjemahan dari Nooder Einlanden pada sumber Belanda.
Menyisir sejarah negeri kepulauan seluas 2.290,76 km² ini seakan baru dimulai pada abad ke-16 ditandai dengan berdirinya 9 kerajaan samudera. Kerajaan yang menurut Ivan Kaunang, mengutip system pengelolaan tata pemerintahan tradisional dari Schrieke, digolongkan pada tipe kerajaan dengan segala keragamannya. Nyaris tak ada catatan yang berhasil mendeskripsikan sebuah batu masih tersusun di atas pondasi istana masa lalu kerajaan-kerajaan samudera itu.
Hingga pertengahan 1970-an, sejumlah artefak fisik dari era kerajaan Siau di kota Ulu dibiarkan terlantar dan akhirnya hancur. Di Enemawira, Tabukan dan di Manganitu, Sangihe pada tahun 1990, jejak-jejek silam itu benar-benar mengalami nasib yang sama. Beruntung, di Museum Sulawesi Utara, masih tersimpan sejumlah pernak-pernik masa kerajaan-kerajaan ini.
Padahal, Nusa Utara dan pada umumnya Sulawesi Utara, merupakan jembatan darat yang menghubungkan wilayah Asia dengan wilayah Pasifik. Para pakar memperkirakan sebenarnya Gajah Purba (Stegodon) pernah bermigrasi dari daratan Asia ke Kepulauan Indonesia melalui kepulauan ini.
Hal itu dibuktikan dengan ditemukannya fosil gading dan geraham binatang tersebut di Desa Pintareng, Tabukan Selatan, Sangihe, yang berasal dari masa Plestosin. Migrasi fauna itu diperkirakan dari daratan Asia ke Selatan melalui Filipina dan Sulawesi Utara, ungkap Santoso Soegondho di laman situs Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia pada Mei 2012. Oleh sebab itu di Filipina dan di Sulawesi Utara terdapat peninggalan fosil-fosil binatang purba seperti gajah purba (stegodon) dan fosil hewan lainnya.
Menurut para ahli dari Museum Geologi Bandung dan dari Pusat penelitian Arkeologi Nasional Jakarta, fosil-fosil tersebut dinyatakan sebagai bagian dari fosil Stegodon yang pernah hidup di Kepulauan Nusantara pada masa Plestosin sekitar 2 juta tahun lalu.
Gajah purba ini selain di Pintareng telah ditemukan fosil-fosilnya di Sangiran, di Kabupaten Sragen Jawa Tengah, di Lembah Cabenge di Sulawesi Selatan dan di Lembah Besoa di Sulawesi Tengah.
Stegodon di dunia diperkirakan pernah hidup sejaman dengan binatang purba lainnya. Di Indonesia stegodon hidup dengan binatang-binatang purba lainnya seperti Rinocheros (badak purba) serta kerbau purba dan lain sebagainya.
Dengan temuan fosil gajah purba di Pintareng, Tabukan Selatan Sangihe tersebut, maka sebenarnya pada masa lalu gajah pernah hidup di Pulau Sulawesi dan terutama di Sulawesi Utara.
Seperti diketahui ungkap Soegondho, pada masa plestosin sekitar 2.5 juta tahun yang lalu, iklim di bumi mengalami perobahan total yaitu penurunan suhu yang sangat drastis. Masa itu dikenal dengan zaman glacial (zaman es). Fenomena alam ini erat hubungannya dengan perubahan dari parameter astronomi mengenai posisi bumi terhadap matahari. Kejadian ini berlangsung secara periodik, yang telah mengakibatkan berubahnya jumlah total dan pembagian energy dari matahari yang diterima bumi.
Selama apa yang disebut zaman es (zaman glasial) itu berlangsung, air di bumi terkumpul dalam bentuk es di daerah-daerah yang bergaris lintang tinggi. Perubahan tersebut di atas sangat mempengaruhi bentuk kepulauan nusantara. Laut Cina Selatan dan Laut Jawa menjadi surut, sehingga mengakibatkan terbentuknya jembatan daratan yang luas yang menghubungkan Benua Asia dengan Kepulauan Asia Tenggara.
Jembatan daratan inilah yang memungkinkan berlangsungnya proses migrasi dari daratan Asia ke Asia Tenggara bahkan ke Pulau-pulau lain di sekitarnya. Ini sebabnya, sejarah peradaban manusia di daerah ini ungkap dia, cukup panjang dan menarik.
Daerah ini pada jaman es melanda dunia pada masa plestosin jutaan tahun yang lalu, merupakan bagian daratan yang menghubungkan pulau Sulawesi dengan daratan Filipina bahkan daratan Asia. Setelah jaman es berakhir, Sulawesi Utara menjadi daratan yang membentuk jazirah Pulau Sulawesi dan kepulauan di bagian Utaranya. Selain daratan yang sebagian besar merupakan dataran tinggi, Sulawesi Utara juga terdiri dari pulau-pulau yang jumlahnya cukup banyak, lebih dari 150 pulau.
Daerah ini mempunyai karakter alam yang khas yaitu dataran tinggi lebih luas dari dataran rendahnya, memiliki banyak gunung berapi dan sebagian besar masih aktif termasuk gunung api bawah laut, memiliki banyak gugusan karang yang membentuk pulau-pulau, selain itu kerak bumi daerah ini berdekatan bahkan sebagian berada tepat di daerah terjadinya proses subduksi (perbenturan) lempeng-lempeng (plates) tektonik antara lempeng Pasifik-Filipina-Australia dengan lempeng Sangihe dan Halmahera. Bahkan terletak dekat dengan pertemuan lempeng-lempeng dunia seperti lempeng Pasifik, Eurasia dan Australia.
Berdasarkan penelitian arkeologi diketahui bahwa tanda-tanda kehidupan manusia Nusa Utara sudah berlangsung sejak 30.000 tahun yang lalu seperti yang ditemukan buktinya di gua Liang Sarru di Pulau Salibabu, Talaud.
Bukti yang lain menunjukkan adanya kehidupan sekitar 6.000 tahun lalu di Situs Bukit Kerang Passo di Kecamatan Kakas dan 4.000 tahun yang lalu sampai awal Masehi di gua Liang Tuo Mane’e di Arangkaa di Pulau Karakelang, Talaud.
Adapun migrasi manusia dari wilayah Asia ke Pasifik melalui route ini ditengarai dengan menyebarnya kebudayaan Austronesia di pulau-pulau di sekitar Pasifik, seperti ditunjukkan oleh penggunaan bahasa-bahasa yang tergolong ke dalam rumpun bahasa Austronesia, serta ditemukannya sisa-sisa budaya yang mengenal pemakaian alat-alat batu muda (neolitik) yang berupa beliung batu persegi di Liang Tuo Mane’e di Kabupaten Talaud dan di daerah lain di Sulawesi Utara.
Disamping itu ditemukan pula sisa-sisa budaya masa logam tua (paleometalik) yang mengenal penggunaan tempayan kubur seperti yang ditemukan di Liang Buiduane di Talaud.
Sehubungan dengan hal itu wilayah ini menurut para pakar diperkirakan menjadi daerah kunci yang dapat memberi jawaban atas permasalahan daerah asal (home land) dari suku bangsa yang berbahasa Austronesia yang pada masa kemudian mendiami daerah-daerah antara Madagaskar di bagian barat sampai dengan Easter Island di kepulauan Pasifik di bagian timur, serta Formosa Island di bagian Utara.
Editor : Iverdixon Tinungki
Discussion about this post