MIANGAS
leluhur ketapang tak lupa pada Lorca
mengajar pelautnya nyanyian malam
“Los Cuatro Muleros dan Sevillanas”
sebuah monumen beton terpacak mengubur Pardao
begitu Miangas tak lupa cantiknya dimasa Las Palmas
kini meranggas, tak lebih sebuah pulau tapal batas
dulu kadetkadet kapal layar Spanyol adalah penari
di tengah api dinyalakan udara pasifik
rancak Vihuela De Mano dipetik semarak ombak
menyeruh seruanseruan Paradiso yang agung
pulau karang ini tak sekadar sarang gurita
cangkang siput purba dan Lumaromban
tidur di atas mite samudera khatulistiwa
tapi surga buat letih pengelana laut penjejak benua
kini barisan tambur menggerendam dek kapal
dalam kisahkisah arung menggetarkan telah karam
lisut di atas sebuah tapal menimbun sejarah pulau
kecuali kisah buram dipancarkan suar
letih meniti makna dini hari
rimbun ketapang tak lain rimbun kemelaratan
sebuah bendera berkibar di atas kuburan
di atas rumahrumah gubuk beratap tangisan
tersuruk senja mengelisahi malam rentah bernanah
di wajah anak pulau meratapi nasib dan lautnya
gemuruhkan mirisnya warna kemiskinan
Saat pelaut Spanyol memijak Miangas di abad 16, pertama-tama yang mereka lakukan adalah menancapkan pardao. Reiner Emyot Ointoe, pernah menulis peristiwa di pulau karang kecil –yang pada masa itu bernama Palmas– ini dalam artikelnya yang semarak dan penuh imajinasi. Di dekat sebuah api unggun, seusai batu-batu pardao tersusun, para eskader dengan riang menyanyikan copla diiringi permainan Flamengo guitar yang cakap dan apik.
Tak jauh, di rumah-rumah pesisir, seakan menimpali, anak-anak pulau menyenandungkan lagu rakyat mereka:
“Upung-upung waroa, anggile u wae
Wae ipaura, ipandamu ghati
Sio rotewe, tuarinu adoiwe”
Di tahun 1990, ketika berada di Beo, Karakelang, saya menerjemahkan syair lagu rakyat Talaud itu: Wahai para leluhur burung bangau// berikanlah aku air// untuk apa air itu?// untuk membasuh wajahku// ya pergilah ambil// tapi ingat sisahkan untuk adikmu.
Saya jadi ingat teori postcolonialism Edward Said yang berupaya mengembalikan keotentikan sejarah kebudayaan timur, dengan menggunakan sumber-sumber primer berupa dunia susastra yang ditulis dalam bahasa asli, seperti syair lagu ini.
Meresepsi syair lagu bernuansa fabel tersebut, kita langsung dipertemukan dengan dunia makna yang luhur. Sebuah kisah. Sebuah gambaran relasi manusia dan alam berlangsung dalam suatu tatanan hormonis, saling menghormati, saling menghargai. Ada nilai regenerasi, ada tata karma dan etika, dan beragam nilai luhur sumber kehidupan yang dapat diinterpretasikan pada simbol air untuk membasuh wajah. Bahkan dalam tafsir sosiologis, fabel ini mewariskan perilaku etis dari kehidupan komunal masyarakatnya.
Kendati Trius Abbas, seorang budayawan Talaud mengatakan, di atas artefak pardao itulah tugu batas Negara Republik Indonesia dibangun, saya lebih ingin mempertanyatakan hubungan copla di Spanyol dan Sasambo di Nusa Utara, ketika ciri-ciri sastra lama berupa pantun mewarnai keduanya.
Sastra ternyata punya narasi lebih dan luas dibanding apa yang dapat dan telah dikisahkan dan dilakukan sejarah selama ini, di sini, di masa lalu negeri-negeri bahari, Nusa Utara. Bukan berarti tak pernah ditulis literatur barat, maka timur tak punya sejarah. Bukankah kita lebih bisa bercerita tentang diri kita sendiri.
Profesor Bellwood, peneliti Inggris berkebangsaan Swiss di tahun 1974 meneliti wilayah ini. Dosen terbang Universitas Chambera itu, ingin mengungkap perjalanan panjang masyarakat yang mendiami gugus kepulauan tersebut. Tidak banyak ditemukannya, kecuali peninggalan keramik dari cina di kuburan-kuburan tua, di gua-gua. Di arsip pusat arkeologi Nasional, Bellwood menyatakan benda-benda berupa keramik, kapak batu dan barang-barang peninggalan lainnya yang ditemukannya itu diperkirakan berusia 6000 tahun SM.
Artinya, telah ada manusia selama 6 milenia di Nusa-Utara, sebelum sejarah ekspedisi Ferdinand Magelhaens (1511-1521) tiba di kepulauan ini bersama seorang kepala armada perahu layar bernama Santos. Ketika itu mereka mencatat pulau Karakelang dengan nama Maleon, Sinduane untuk Salibabu, Tamarongge untuk Kabaruan, Batunampato untuk kepulauan Nanusa, dan Tinonda untuk Miangas.
Sebelum era Magelhaens, di Talaud Utara, di pulau-pulau Nanusa, dari era paleoklimatologi, anak-anak pulau dengan rambut berwarna tembaga dimasak panas iklim tropis, telah lama menjadikan ruang ingatan mereka seakan-akan perpustakaan raksasa dimana historiografi negeri itu harus tersusun rapi di sana, dalam bentuk susastra, di antaranya lagu-lagu rakyat dan syair-syair tangisan, mantra dan puisi-puisi ‘Kakumbaeda’ (Sasambo), hikayat, mitos dan legenda, ritual dan upacara-upacara tua. Public history ini tak tercantum dalam literatur Barat. Dan sejarah di Nusa Utara seakan-akan baru dimulai sejak abad 15. Pernahkah anda mendengar lagu-lagu Bondang, Alule dan Alenda saat orang-orang Dapalan memuja Dero sambil menari?
Bulan Oktober hingga Desember 2016, saat saya mulai meneliti dan menulis buku”Dari Ramensa Hingga Manongga”, Sebuah Kumpulan Cerita Rakayat Talaud, berbagai pesisir desa di sana sungguh elok dan memesona. Ada sejarah terpatri. Sejarah dan legenda tua dari sebuah tradisi moyang-moyang lama. Artefaknya masih berdiri tegak, menyisakan cerita untuk generasi kini.
Mari mulai dari artefak Batu Baliang. Batu Baliang artinya batu berlobang atau batu yang mempunyai gua. Tak jauh, ada lima gugusan batu lain yang berjejer dari darat hingga ke lepas pantai yakni, Batu Talenggo, Batu Manahe, Batu Panimbulan, Batu Babalolo, Batu Hanggulan. Deretan batu itu seakan tertata indah dan unik. Dua sungai kecil mengalir, sungai Laluaran Kecil dan Laluaran Besar. Dua sungai itu bermuara di pesisir tak jauh dari letak deretan Batu Baliang. Pada jejeran batu dan sungai itulah sebagian sejarah orang-orang Dapalan tersimpan.
Bagi orang-orang Dapalan, Batu Baliang tak sekadar batu pantai biasa. Batu itu adalah altar penyembahan moyang-moyang orang Dapalan di masa lalu kepada Tuhan. Mereka menyembah Tuhan pencipta alam semesta dan kehidupan yang disebut Derro atau Genggonalangi. Derro diambil dari baraatta (bahasa tua) Talaud yang artinya Tuhan yang patut dipuja. Sementara Genggonalangi dari bahasa Talaud pada umumnya.
Dalam cerita rakyat “Woi Entengan”, para tetua Dapalan tahu menghitung hari baik atau waktu yang tepat untuk ritual doa menurut Pasang air laut dan bulan di langit. Karena ritual doa hanya bisa dilaksanakan pada saat pasang Umaendo atau Atolla, dan ketika bulan di langit pada posisi Lattu hingga Naworaa. Persiapan dilakukan. Tenda-tenda di pasang. Saat harinya tiba, Woi Entengan menyuruh seorang pembantunya, memukul Batu Telenggo. Batu itu mendentingkan gema yang keras sebagai tanda mengundang semua warga desa dan para tetua berkumpul menghadiri ritual doa di Batu Baliang.
Batu Telenggo memang berfungsi sebagai batu lonceng atau batu pemanggil. Tingginya sekitar 15 meter (kini tinggal 10 meter, karena dirusak tangan-tangan jahil). Bunyi batu ini kalau dipukul bisa terdengar sejauh dua kilometer bahkan lebih. Seluruh penduduk desa ketika itu bisa mendengar bunyinya. Penduduk Dapalan berduyun-duyun datang. Mereka berharap ritual doa bisa menghindarkan mereka dari petaka. Sebab kisah keganasan perompak dan bajak laut Lanun, Filipina, selalu mengancam.
Sementara di Batu Manahe, Woi Entengan menempatkan beberapa penjaga untuk melindungi keberlangsungan ritual doa. Lima orang laki-laki ditempatkan di pucak batu sebagai pengintai. Sepuluh orang ditempatkan di tanah menghadap utara. Sepuluh orang lainnya menghadap barat. Sementara sepuluh orang lainnya lagi menghadap selatan. Maka penjaga atau pengawal itu berjumlah tiga puluh lima orang laki-laki atau Satu Buntuan. Ini sebabnya batu tersebut dinamakan Batu Manahe atau Batu Penjaga.
Saat semua penduduk dan para tetua Dapalan berkumpul, duduklah Woi Entengan di salah satu sisi yang tinggi dari Batu Baliang. Di sana, ia memulaikan ritual doa dengan melantunkan lagu pujian dan penyembahan yang disebut Magunde dan Megaloho. Lagunya terdengar ritmis dan resik. Orang-orang tampak takjub dan gigil.
Sesudah itu, Woi Entengan turun ke dalam liang. Di sana ia melakukan ritual khusus yang hanya didampingi seorang pembantu. Selesai ritual khusus di dalam liang, Woi Entengan kembali ke tempatnya semula untuk mengakhiri ritual doa di puncak Batu Baliang. Sedang rentetan ritual selanjutnya akan berlangsung di tempat lain. Woi Entengan mengajak semua yang hadir menuju Batu Panimbulan (Batu Pengasapan) dan Batu Hangguran (Batu Tenda). Di tempat itu telah dibangun tenda untuk memasak dan tenda untuk makan.
Semua warga harus makan bersama sebagai tanda ucapan syukur sesudah ritual doa di Batu Baliang. Tradisi makan ini barangkali semakna dengan “perjamuan kudus” pada umat Nasrani. Makan bukan sembarang makan, tapi menikmati nikmat kurnia dari Tuhan yang maha-penyayang. Usai makan, tempat itu kembali dibersihkan dan semua kotoran di buang di puncak sebuah batu besar yang bernama Batu Babalolo. Batu Babalolo artinya batu jahat dan busuk.
Seusai pembersihan, Woi Entengan mengajak semua penduduk ke tepi pantai di muara sungai Laluaran Kecil dan Laluaran Besar untuk mengakhiri seluruh rentetan acara ritual. Di tempat itu semua peserta ritual menyanyi dan menari sebagai pujian kepada sang Derro lewat lagu-lagu Bondang, Alule dan Alenda.
Saat diskursus posmodernisme menafikan “grand narrative” yaitu hegemoni sejarah kebudayaan Barat yang mengstigma Timur dalam apa yang mereka namakan sebagai orientalisme, masa lalu Nusa Utara masih tersimpan dalam belantara kata-kata, sebuah dunia susastra yang belum tersentuh akibat ketakucahan sejarah pada sastra sebagai sumber primer. Sementara di Nusa Utara jejak-jejak karya peradaban ini harusnya dijadikan sarana pewarisan tak saja nilai, tapi juga historiografi masyarakatnya. Dalam dunia susastra itu, terngkum bahasa, indentitas, symbol dan konstruksi-konstruksi social. (bersambung…)
Penulis : Iverdixon Tinungki
Discussion about this post