Mata pencari bakat pesepakbola akan tertuju di Indonesia pada 2021, bersamaan pentas Piala Dunia Junior. Mereka dikirim dari berbagai klub besar di Eropa untuk mengkonfirmasi siapa saja talenta belia terbaik yang usianya di bawah 20 tahun.
Indonesia bukan satu-satunya negara di Asia Tenggara yang menjadi penyelenggara iven prestisius besutan FIFA ini. Tahun 1997, Malaysia juga pernah menjadi tuan rumah. Mengingat masa itu, warga Negeri Jiran begitu sumringah menyambut 24 tim yang bertarung di babakan final. Pesta sepak bola khusus pemain U-20 pun bergulir meriah di 6 stadion.
Bocah-bocah ajaib bermunculan di ajang ini. Dia bisa berdiri di bawah mistar gawang, bertugas mengawal pertahanan, menjadi pengatur permainan, menyerang dari sayap maupun menjebol gawang lawan. Uruguay, wakil Zona Conmebol, punya Gustavo Munua dan Fabian Carini; 2 kiper berbakat yang kelak akan bermain di tim nasional dan usai turnamen langsung teken kontrak dengan klub Eropa. Sedangkan Brazil yang tak pernah kehabisan generasi emas mengandalkan Adailton Martin, ujung tombak penuh talenta.
Jangan lupakan wakil Asia, Jepang. Di masa itu muncul pemain hebat bernama Atsushi Yanagisawa dan Shunsuke Nakamura. Kedua pemain belia itu diberi tugas memborbardir pertahanan lawan. Ketika Jepang bermain gemilang di pentas Piala Dunia senior, Yanagisawa dan Nakamura merupakan tulung punggung tim. Sedangkan Afrika ada gelandang Stephen Appiah dan penyerang Peter Ofori Quaye dari Ghana.
Bagaimana dengan wakil UEFA? Piala Dunia Junior Malaysia menjadi awal kemunculan Michael Owen. Bila di masa sebelumnya Ronaldo Luiz Nazario Lima adalah Il Phenomenon, maka Owen disematkan The Next Phenomenon; fenomena berikutnya! Ujung tombak Inggris yang main di Liverpool itu punya kecepatan dan akurasi tembakan. Tubuhnya termasuk mungil untuk ukuran Eropa, tapi justru itu jadi modal dia meliuk dan secepat kilat melewati hadangan pemain bertahan lawan. Dari tim Tiga Singa juga ada duet bek sentral Matthew Upson dan Jamie Carragher.
Pun dari Spanyol mencuat nama gelandang David Albelda serta penyerang sayap Miguel Angel Angulo. Ada juga Alberto Rivera dan Fransisco Farinos yang kelak berlabuh di Inter Milan. Tapi kredit perlu dicatatkan pada para bocah bertalenta dari Prancis. Kali itu Les Blues mengandalkan penyarang visioner bernama Thierry Henry. Dia bukan ujung tombak murni, karena sebetulnya di posisi terdepan ada David Trezeguet dan Nicolas Anelka. Henry punya kebiasaan meluncur cepat dari sayap kiri dan melewati hadangan lawan. Dia kemudian akan mengumpan atau berpenetrasi diakhiri tembakan keras.
Henry, Trezeguet dan Anelka kemudian menjadi andalan Timnas Prancis senior yang masa-masa itu memang tengah krisis penyerang. Pasca-kehilangan David Ginola, Eric Cantona dan Jean Pierre Papin, praktis Ayam Jantan hanya mengandalkan Stephane Guivarch dan Christope Duggary sebagai penggedor. Ketiga penyerang muda ini terbukti menjadi langganan timnas pada tahun-tahun berikutnya, termasuk saat Prancis memenangi Piala Dunia 1998 di kandang sendiri. Henry kemudian jadi andalan Arsenal bersama Denis ‘The Flying Dutchman’ Bergkamp, sedangkan Trezeguet menemukan puncak permainannya saat bertandem dengan Alex Del Piero di Juventus.
Playmaker Klasik
Tetapi sesungguhnya mata publik dunia tertuju pada Timnas Argentina. Titel sebagai pemenang dalam turnamen tak hanya pantas dibicarakan, karena proses wakil Amerika Latin ini menjadi yang teratas sesungguhnya tidak terlepas dari ruh permainan gelandang Juan Roman Riquelme. Bocah 18 tahun itu adalah representasi dari pengatur ritme serangan bertipe klasik.
Fungsi playmaker terus berevolusi dari masa ke masa. Sang dirigen memang tak selalu pemain tengah, pernah pula muncul dari belakang seperti halnya pakem yang dimainkan Franz Beckenbauer di masa silam. Kemudian ketika sepak bola semakin praktis, pengatur permainan pernah dimainkan Ronaldinho Gaucho sebagai wide-playmaker di Barcelona. Tetapi Riquelme menjaga hukum pengatur serangan dari sisi tengah lapangan.
Dia tak memiliki kecepatan seperti Ariel Ortega. Juga tidak semasif pendahulunya Diego Maradona kala memombardir pertahanan lawan. Riquelme justru terlihat lambat dan sering menahan tempo. Dia akan melakukan keeping rapat dan mencari ruang, kemudian meluncurkan umpan akurat ke kotak penalti. Dia jenius mengatur ritme dan memiliki visi untuk menaklukan lawan. Dalam usia mudanya, Juan Roman Riquelme telah menjelma sebagai playmaker matang serupa Andrea Pirlo dan Manuel Rui Costa saat berada di era keemasan.
Dan paling tidak bila masih bermain di masa kini, bukan hal sulit bagi Lionel Messi mempersembahkan titel Piala Dunia senior bagi Tim Tango, bila berkompatriot dengan Riquelme. Membayangkan keduanya adalah duet sempurna dan menakutkan bagi siapa saja. Tentu saja, karena Messi akan menemukan teman sekerja dari lapangan tengah dan mata rantai yang hilang saat membangun serangan.
Skuad Argentina memenangi Piala Dunia Junior Malaysia pada 1997, mengandaskan sesama wakil Conmebol, Uruguay, di babak final dengan skor 2-1. Ada nama hebat seperti Leo Franco, Walter ‘The Wall’ Samuel, Pablo Aimar dan Esteban Cambiasso di tim ini, namun yang jadi buah bibir selepas turnamen adalah sosok bocah ajaib bernama Juan Roman Riquelme. (*)
Editor: Ady Putong
Discussion about this post