Bagi orang Sangihe, Raja Jacob Marthin Lasarus Quesjee (1725-1750) adalah sosok pahlawan. Namun sumber Eropa menyebutnya sebagai pribadi yang penuh kontroversi. Selang 25 tahun berkuasa, selain memusingkan Belanda, Kerajaan Manganitu dililit sejumlah sengketa.
Andaikata tidak didamaikan Gubernur Maluku Jacob Christiaan Pielat, Karajaan Manganitu akan terlibat perang terbuka melawan kerajaan Siau di tahun 1729, tulis sejarawan Adrianus Kojongian dalam artikelnya yang berjudul “Raja-raja di Sulawesi Utara Yang Diasingkan Belanda”.
Mengutip sejumlah sumber tertulis Eropa, Kojongian menyebutkan, tindakan raja Jacob Marthin Lasarus yang masih berusia muda ini banyak tidak berkenan di mata Kompeni. Ia terus melawan penjajah yang menerapkan politik pecah belah. Ia bahkan berselisih lama dengan Raja Siau Daniel Jacobus berkaitan pulau Karakitan (Kahakitang) dan kemudian wilayah Tamako yang dimiliki Siau.
Permusuhan selama tiga tahun dengan Raja Siau tersebut baru didamaikan Gubernur Maluku Jacob Christiaan Pielat tanggal 21 Maret 1729 di Benteng Orange Ternate ketika ia bersama Raja Daniel Jacobus meneken kontrak perjanjian damai. Namun, Raja Jacob Marthin Lazarus masih memiliki keinginan mencaplok Tamako yang jadi enklave terpisah di kerajaannya dan masalahnya tetap berlarut-larut hingga di akhir kekuasaannya.
Jacob Marthin Lasarus Quesjee dilantik menjadi raja pada pertengahan tahun 1722, menggantikan ayahnya Don Marthin Takaengetang (Takinita) yang mengundurkan diri karena berusia tua. Ayahnya semula memerintah Manganitu bersama Don Carlos Diamanti (Carlos Piantay).
Para Bobato dalam pemerintahannya yang terkenal adalah Jogugu Zacharias Tampungang, Jogugu Pieter Katiandagho, Kapitan Laut Salomon Narondo, Kapitan Laut Jacob Dorondo dan Sangaji Simon Tatagou, yang bersama dengannya meneken kontrak 22 Agustus 1747 di Tabukan dengan Gecommitteerde Johannes Pauwen dan Sersan Komandan di Tabukan Hendrik Meelkop.
Dalam catatan Kojongian, perselisihan lain yang dihadapi Raja Lasarus yaitu dengan Raja Kandhar Andries Manabung dan juga dengan Raja Tabukan Philip Makaampo yang dapat didamaikan Gubernur Pielat pada 18 Agustus 1729.
Ia juga berselisih dengan Raja Taruna (Tahuna) yang baru naik tahta, Dirk Rasubala di tahun 1749, karena enggan mengembalikan budak yang lari dari Tahuna serta mengingkari perjanjian tertulis yang dibuatnya, sehingga ia dituduh menyembunyikan beberapa pembunuh.
Puncaknya, tulis Kojongian, ketika ia menyuruh dua lelaki, seorang bernama Habibi mencari kepala manusia untuk dipakai sebagai kehormatan pada pesta raja, dimana Habibi dan temannya memenggal seorang pria bernama Malasa di Batu Tanggolang.
Ia kemudian ditangkap dan ditahan di Manado. Secara resmi Belanda menuduh pemerintahannya tidak teratur, suka bertindak brutal dan berbagai tindakan tidak pantas lainnya. Gubernur Jenderal Jacob Mossel 31 Desember 1750 menyebut kesalahannya sangat merugikan Kompeni.
Tanggal 8 Agustus 1750 ia dibawa ke Batavia dan dibuang ke Cabo de Goede Hoop (Tanjung Harapan). Ia digantikan Pangeran Daniel Katiandagho yang dilantik dengan meneken perjanjian tanggal 23 Juni 1752.
Di Negeri Pembuangan Madagaskar
Dalam catatan situs Sangir, di Republik Malagasi (Madagaskar) –terutama di kota Antannarivo, Tamatava, dan Pinohipe— cukup banyak orang-orang yang disebut sebagai Suku Morin. Siapa sesungguhnya suku Morin? Konon, mereka adalah orang-orang Manganitu, Sangihe yang merupakan turunan dari sanak keluarga Raja Kerajaan Manganitu Don Marthin Lasarus.
Tahun 1750 adalah waktu paling memilukan bagi Raja Don Marthin Lasarus. Sebagaimana nasib raja-raja di tanah Sangihe yang diasingkan ke berbagai tempat, karena gencar melawan penjajahan Belanda (VOC), Raja keenam Kerajaan Manganitu ini dibuang ke Madagaskar bersama 45 anggota keluarga yang loyal padanya.
Di Republik Malagasi saat ini, keturunan Raja Lasaru beserta 45 anggota keluarga Kerajaan itu tersebar di beberapa daerah di pulau lepas pesisir timur Afrika, terpisah 8.000 kilometer oleh Samudra Hindia dari Indonesia itu, tulis situs tersebut. Beberapa daerah yang ditempati orang-orang Sangihe Manganitu ini dinamakan sendiri oleh orang Sangihe sebagai tempat mereka berdomisili.
Ungkap sumber tersebut, di Kota Antannarivo, orang-orang Malagasi menyebut keturunan raja yang diasingkan itu sebagai Suku Morin. Morin artinya diasingkan atau suku terasing dari Kerajaan Manganitu.
Masyarakat Kerajaan Manganitu yang ada di Manganitu dan Paghulu yang tidak diasingkan menyebut raja di tempat pembuangan itu sebagai: “Ilaha i tuan su kamu” (Raja berada di kaam de geode hoop).
Selama Raja Lasaru di tempat pengasingan, wilayah Teluk Lesa direbut kembali oleh Raja Bansage Paparang dari Kerajaan Tahuna. Sultan Habibi gagal mempertahankan wilayah tersebut, tidak seperti di masa kekuasaan Raja Lasaru.
Kerajaan Manganitu terletak di Pulau Sangihe, Provinsi Sulawesi Utara. Kerajaan Manganitu juga disebut Kerajaan Kauhis, Berdiri pada tahun 1600 di bawah pemerintahan Raja Boo atau Liung Tolosang menantu dari Kulane Ansiga dari Kerajaan Salurang. (Iverdixon Tinungki)
Sumber Tulisan:
-Delpher Kranten, Algemeen Handelsblad 1875, De Locomotief 1876, Het Nieuws van den Dag 1876, Java-Bode 1873, 1876, Sumatra-Courant 1876.
-Dunnebier W, Over de Vorsten van Bolaang Mongondow, Bijdragen tot de Taal-,Land-en Volkenkunde, Deel 105 (1949).
-Corpus Diplomaticum, Bijdragen tot de Taal-,Land-en Volkenkunde, Deel 96 (1939).
-Ensiklopedia Tou Manado
-Generale missive van Gouverneurs-Generaal en Raden aan Heeren XVII der Verenigde Oostindische Compagnie, Resources Huygens.
-Staten-Generaal Digitaal.
Discussion about this post