Catatan: Ady Putong
Sebetulnya saya tidak mengenal dekat Frederik Tangkau. Saya membaca namanya beberapa kali dari tulisan yang dikirim jurnalis desk politik untuk saya edit. Saya juga mengenal dia dari penuturan senior dan beberapa sahabat. Dari situ sedikit banyak saya dapat gambaran untuk menyimpulkan sosok politisi Partai Nasdem ini.
Sebelum duduk di dewan Kota Manado, Didi, menurut informasi itu, pernah jadi pimpinan organisasi pelayanan di jemaatnya–sehingga ada tambahan panggilan “pena” kependekan dari gelar penatua di depan namanya. Dia juga pimpinan organisasi pemuda berbasis kemasyarakatan. Yang paling sering saya dengar, dia berada di organisasi seni teater yang anggotanya ribuan, jejaringnya tersebar di seantero Manado.
Jaringannya dengan kelompok teater di ibukota Sulut ini membawa saya melihat Didi sebagai orang yang punya banyak konstituen. Tapi yang paling penting dia pasti paham seni. Dan paling jauh, paham budaya. Teater juga memang berkutat pada hal-hal terakhir itu. Tapi tak sekalipun saya mendengar narasi kekerasan dalam track record dia. Dia normal-normal saja dan cenderung lembut. Kenormalannya juga bisa saya gambarkan ketika berdiskusi dengan beberapa pengurus Partai Nasdem tingkat provinsi semasa pencalegan. Mereka seperti tidak begitu tertarik membicarakan figur Frederik Tangkau, anak baru yang tak punya jejak politik meyakinkan. Mereka justru asyik menandai sejumlah caleg Nasdem Kota Manado yang dinilai bisa berbicara banyak kala duduk sebagai wakil rakyat.
Kita tahu bahwa kemudian Didi Tangkau terpilih sebagai wakil rakyat. Kita juga kemudian tahu dia ditetapkan sebagai ketua Fraksi Nasdem di DPRD Manado. Setelah itu bayangan saya pada dia adalah sosok politikus stylish yang ramah, tapi cenderung dingin dalam arena. Saya menyangka dia bukanlah figur yang akan berteriak-teriak dalam rapat sembari memojokkan siapa saja. Lebih tepat karena kenormalannya, dia akan berbicara tenang sambil umbar senyum.
Namun kelakuan Frederik di ujung pembahasan penetapan alat kelengkapan dewan (AKD) beberapa malam lalu membuat semua sangkaan saya buyar. Emosi Didi si politisi stylish itu pecah usai doa penutup sidang. Bayangkan, dia menjungkirkan mejanya bahkan hanya beberapa detik setelah kata amin diucapkan peserta sidang paripurna. Dalam rekaman video yang saya lihat, air muka Frederik Tangkau tampak memerah. Amarahnya seperti meledak keluar ubun-ubun.
Persepsi mengajak saya untuk menelusuri peristiwa ini dalam konteks hubungan sebab-akibat. Seperti tanpa api tentu saja tak ada asap. Atau tanpa gula dan susu, kopi akan tetap pahit. Tanpa pemicu, tentu Didi tak akan seemosional itu. Dinamika penentuan AKD boleh jadi faktor yang membuat Didi meledak.
Informasi yang media saya terima, sebelum AKD ditetapkan sudah ada komitmen, sekali lagi komitmen, antara para anggota dewan untuk menetapkannya dalam semangat keadilan dan kebersamaan. Dalam kebersamaan sudah pasti ada ketulusan sekalipun ini dilakukan dalam dunia politik praktis. Infonya disebutkan Nasdem sendiri telah diberi porsi pada salah satu pimpinan dari 4 komisi yang akan dibentuk. Bahkan Fraksi Nasdem telah menyediakan nama anggotanya yang akan didudukkan pada posisi itu. Tentu saja ini sah-sah saja mengingat Nasdem memiliki fraksi utuh dengan 5 politisi asli, plus 2 dari Perindo.
Tapi pergelutan sidang yang berjalan alot hingga 2 hari tidak lagi menunjukkan jejak komitmen itu, karena penetapan AKD tidak memberikan porsi apa-apa pada Fraksi Nasdem. Tidak satupun anggotanya yang dipilih duduk sebagai ketua komisi. Drama di floor sidang paripurna menunjukkan protes dari anggota Fraksi Nasdem. Revany Parasan, salah satu legislator Perindo yang gabung dengan Nasdem, dengan lantang memrotes kenapa penetapan AKD tak berjalan sesuai komitmen. Protes masih berlanjut terus hingga sidang selanjutnya, tapi kali ini beban untuk memperjuangkannya ada pada ketua komisi, Frederik Tangkau.
Dalalm video yang saya tonton tadi, Didi kemudian meminta kesempatan berbicara pada pimpinan sidang, namun kata dia tidak ada kesempatan itu. Yang ada hanyalah adu debat dan interupsi dari anggota dewan lain hingga sidang itu diakhiri dengan doa. Saya kira selain Fraksi Nasdem, banyak yang berharap agar sidang itu segera diselesaikan. Beberapa saat setelah doa diaminkan, Didi melampiaskan emosi sembari menjungkirkan meja di hadapannya.
Kata Freud, bapak psikoanalis itu, jika keinginan-keinginan yang kita miliki tidak tersalurkan, maka akan timbul ketidaknyamanan dan rasa sedih. Teori psikodinamis Freud menyatakan biasanya keinginan timbul dari gerak dorong yang tercipta di alam bawah sadar menuju kesadaran. Sesuatu yang kurang lebih sama pada apa yang dibuat oleh Frederik Tangkau pada malam ‘naas’ itu.
Di satu sisi dia sebagai ketua, punya beban memperjuangkan hak fraksinya dalam floor paripurna. Di sisi lain dia merasa diabaikan oleh pimpinan sidang ketika hendak memperjuangkan itu. Tumbukan berkali-kali antara keinginan dan kenyataan yang berlawanan bisa membuat seseorang lepas kontrol. Dan menjungkirkan meja adalah bentuk ekspresinya.
Apakah menjungkirkan meja dalam arena politik bisa dibenarkan? Tergantung dari mana kita melihat itu. Saya sendiri menyebutnya cara untuk memperjuangkan keadilan. Bahwa iya, ada perlakuan tidak adil yang diterima Fraksi Nasdem sekalipun pada press-conf dengan awak media, personil fraksi menyatakan sudah menerimanya dengan lapang dada. Yang Frederik Tangkau lakukan dalam sidang peripurna penetapan AKD adalah tuntutan pada keadilan.
Wakil rakyat memang harus memperjuangkan itu dalam bingkai dinamika politik, sejalan dengan yang sepatutnya mereka lakukan ketika memperjuangkan hak dan keadilan buat masyarakat. Baik di arena persidangan maupun di lapangan, keadilan selalu linear dalam satu garis lurus, tidak bisa tidak. Dalam alam di mana orang sulit mempercayai orang lain di masa-masa kekinian, sebetulnya butuh figur berani bicara, berani berbuat, sehingga bisa meyakinkan sesamanya bahwa dia dapat dipercaya untuk memperjuangkan sesuatu. Pada skala tertentu, Frederik Tangkau setidaknya pernah melakukan perjuangan pada tuntutan keadilan itu. Dan kita sejatinya tidak hanya butuh sikap seperti itu, kita juga butuh lebih banyak orang seperti dia.
Satu lagi, saya menulis ini bukan karena ada ‘sesuatu’ yang saya dapatkan. Saya kira, perspektif lain soal Frederik Tangkau dan kelakuannya di sidang dewan perlu dibicarakan. Dalam narasi yang berkembang di media sosial, banyak sorotan negatif menyudutkan dia. Parahnya kemudian, narasi itu berkembang menjadi represi tertulis. Miris memang banyak netizen yang merasa berhak mem-bully orang lain tanpa berkaca terlebih dahulu. Entah ini penyakit apa, namun mem-bully orang di media sosial kian hari semakin akut dan banal.
Tapi yang paling membuat saya muak adalah produk jurnalistik yang melakukan framing hanya pada peristiwa di arena sidang; bagaimana ketika meja itu dijungkirkan dan menimbulkan opini memojokan pelakunya. Galian lebih dalam pada peristiwa itu paling tidak membuka ruang terhadap posisi dan situasi yang dihadapi Didi Tangkau serta Fraksi Nasdem. Saya meyakini wajib ada unsur keberimbangan dalam setiap tulisan berita yang kita terbitkan.
Kalau pun kemudian saat tulisan ini dilempar di medsos, dan tetap dianggap ada ‘apa-apanya’ saya pun tidak mengapa. Toh kan berpendapat itu hak anda. (*)
Penulis adalah koordinator liputan Barta1.com
Discussion about this post