Rumah Es Riviera sudah ada sejak 1974. Generasi kini pasti banyak mendengar cerita tentang enaknya es brenebon khas Manado di Rumah Es Riviera dari orang tua mereka. Bagi generasi seangkatan saya, –lulusan SMA 1982– Rivera adalah tempat nongkrong paling bergaya di masanya.
Orang-orang Manado yang saat ini berusia 50 tahunan ke atas, tentu punya sejuta kenangan tentang Rivera. Diberbagai situs dan media sosial cukup banyak beredar foto kenangan menggunakan film Kodak ColorPlus 200 & kamera Nikon EM tentang suasana Rivera di masa yang sudah lalu itu.
Rumah Es & Kue ini terletak di pojokan bangunan Shopping Center, Pasar 45 Manado, dekat dengan tempat wisata kuliner Jalan Roda. Selain murah meriah, di erah 80an, Rivera menjadi tempat ngumpul anak-anak muda, tak saja mereka yang berasal dari kawasan Kota Manado, bahkan dari daerah sekitarnya seperti Minahasa dan Bitung.
Konon, bagi anak muda yang tidak pernah mengunjungi Rivera di masa itu, boleh dikata sebagai anak muda yang tidak gaul. Karena Rumah Es & Kue Rivera adalah bagian dari tren zaman masa itu. Tempat ngumpul, kenalan, pacaran, dan atau sekadar gaya-gayaan.
Dan beruntung aku masih punya kesempatan berkunjung ke Rivera, dan boleh menulis beberapa potong kenangan dalam sajak di bawah ini.
RIVERA
baiklah aku duduk di pojok ini saja, sambil mencelup
sekerat kue susen ke mangkuk es yang meleleh
aku ingin merayakan ingatan masa remaja:
di rivera, diramai shopping center, matahari
warnawarni di udara, dan rambutku panjang
mempestakan geriap, memperagakan seseorang
di sampingku bergelayut. bibirnya bau pandan
masa remaja masa bendera,
berkibarkibar berpagut menandai kota,
seperti tiangtiang besi yang dicor,
dan pemandangan sibuk sedemikian lebar
kendaraan kenangan saling bergegas,
mengejar, mengisi halaman ingatan:
di sebuah pusat perbelanjaan, kita belanjakan
semua usia dengan ruparupa pernik, dari buku,
tontonan bioskop, dan cinta di kursi pojok
duduk di pojok ini
aku seakan peraya hari tua dengan ziarah kecil
ke harihari yang nakal,
di tempat yang sudah kikuk didatangi,
kecuali mengenang keukue lama: lumpia, balapis, dan lalampa
dan tak apalah mengenang pula sepasang mata
yang dulu menatapku seindah bunga prem di motif bajunya
sudah nenek pasti ia, seperti aku sudah kakek pula
kenangan itu tak lebih wujud kunangkunang
mengendap jauh dan samar, bagai kelakar kelelawar
di napas menyesak jelang malam
kota Manado lama memang telah hilang, dan umban
tumbuh menjuntai melewati kening, seperti musuh,
ia memperlihatkan pisaunya yang berkilau
tibatiba ada perasaan galau karena tak musim lagi
menyodok bola billiard di lantai atas, atau berburu
cerita silat di tengah tulang mulai linu, dan rabun
mengkhilafkan segala tatap
di pojok ini dulu aku bersua banyak sahabat,
seperti gaya film delapanpuluan,
seperti Gita Cinta SMA, seperti Sakura Dalam Pelukan
kami mojok dengan gaya itu,
dan gadisgadis dalam gaya itu pula.
bikin ketawa aja bila dibanding kini
–benarbenar klise dan lucu!
tapi ketika itu di rivera, aku selalu datang dengan buku
dalam gaya Chairil, dan aku membaca Plato, Aristoteles,
sayap-sayap patah Gibran, kadang juga komik,
dan cerita silat Ko Ping Hoo
karena membaca adalah bagian dari gaya,
bagian dari masa rivera, bagian dari pojokku,
bagian dari kenanganku tentang Indonesia yang dulu
Indonesia yang penuh harapan
dan orangorang menjulukiku
si kutubuku, dan gadis di dekatku
berbaju motif bunga prem itu
ah…
baiklah aku duduk di pojok ini saja
menatapi ruang ini dan jerujijerujinya
bau debu dari jalan
karatkarat bangunan tujuhpuluan berjatuhan
masalalu berlalu di tikung jalan
timur ini kian malang
lalulalang orang tak kukenal
dan rasa tua yang sendiri
melipatku seakan buku tak dibaca masa kini
Penulis: Iverdixon Tinungki
Discussion about this post