Pendeta Ny Wehelmeintje Anthoneta Sambuaga Dumais SmTh BA ditempatkan mengantikan Pendeta Dumanauw Musa Victor Kandijoh di Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM) Bethanie (Betani) Singkil Sindulang pada tahun 1976.
Ketika itu, Gereja Bethanie masih merupakan pusat pelayanan dari gereja-gereja dan jemaat-jemaat di Wilayah Manado Utara. Selain menjabat sebagai Ketua Badan Pekerja Majelis Jemaat (BPMJ) Bethanie Singkil Sindulang, ia sekaligus sebagai Ketua Badan Pekerja Wilayah (BPW) Manado Utara.
Penugasannya ke Jemaat Bethanie Singkil Sindulang tersebut, sebenarnya sudah merupakan penempatan kedua kalinya oleh Badan Pekerja Sinode GMIM. Penugasan pertama ke Bethanie saat Pendeta Sambuaga Dumais masih berstatus nona, pada masa kepemimpinan Pendeta Daandel. Hanya sesaat bertugas di Bethanie sebagai pendeta biasa, kemudian dipindahkan ke Jemaat GMIM Wanea. Dari Wanea, dikembalikan lagi ke Bethanie untuk menjadi Ketua BPMJ sekaligus Ketua Wilayah Manado Utara.
Kedatangannya ke Wilayah Manado Utara, memberikan corak tersendiri di aras kepemimpinan wilayah yang dalam kurun 73 tahun (1903-1976) dipimpin kalangan lelaki. Selain itu, di era kepemimpinannya terjadi kebangkitan semangat membangun di tengah jemaat-jemaat, dan juga menambah referensi kepemimpinan di jemaat dari kalangan perempuan.
Selain Pendeta Sambuaga Dumais yang saat itu memimpin Jemaat Bethanie, di Jemaat GMIM Pniel Tuna telah diangkat Dra Welmien Makapedua Silangen sebagai Ketua Jemaat. Sementara di Jemaat GMIM Torsina Tumumpa telah ditempatkan Pendeta Ny LM Sumolang Dapu.
Sentuhan halus kepemimpinan dari kalangan perempuan di tengah jemaat memberikan makna tersendiri. Konflik dalam beberapa babakan dapat diselesaikan dengan baik di Torsina dalam kepemimpinan Pendeta Ny Sumolang Dapu. Kondisi jemaat yang terkoyak-koyak menjadi pulih dan beralih pada semangat membangun yang solid.
Di Bethanie, Pendeta Sambuaga Dumais juga mengobarkan semangat membangun gedung gereja yang baru. Hal yang sama terjadi di Jemaat Tuna, dan jemaat-jemaat lainnya di Manado Utara.
Jemaat-jemaat Yang Membangun
Jemaat Bethanie Singkil Sindulang terdiri dari 1.000 lebih Kepala Keluarga (KK) yang tersebar di 26 kolom, ketika Pendeta Sambuaga Dumais memulai tugasnya. Ia didampingi Wakil Ketua BPMJ Albert Tamara. Kiprah awalnya di Bethanie adalah menyelesaikan pembangunan gedung gereja baru yang pethabisannya dilakukan pada 27 Juli 1980. Pembangunan gedung gereja tersebut menelan anggaran sebesar Rp 25.000.000.
Melihat besaran anggaran pembangunan tersebut, kita dapat menarik suatu perbandingan tingkat inflasi dan kondisi sosial ekonomi anggota jemaat dalam 30 tahun kemudian, bila pembangunan gedung gereja Bethanie dibandingan dengan besaran anggaran yang diserap pada pembangunan gedung gereja Nazaret Tuminting (2005-2012) yang anggota jemaatnya mendekati 800 KK yang tersebar di 25 kolom, kemudian menjadi 29 kolom.
Gedung gereja Nazaret Tuminting dalam bentuk permanen menelan anggaran mendekati Rp 4.000.000.000, dengan mata anggaran yang bersumber dari swadaya jemaat sekitar 80 persen. Sebuah serapan anggaran dari kocek anggota jemaat yang fantastis bila bercermin dari kondisi jemaat yang 60 persen anggotanya adalah mereka yang berprofesi sebagai pekerja kasar dan buruh. Lebih miris lagi bila kita melihat angka upah minum dunia pekerja kita di tahun 2012 hanya berkisar Rp. 1.250.000 per bulan. Sementara pada tahun 2011 hanya Rp 1.050.000 per bulan.
Dari gambaran serapan anggaran pembangunan sebuah rumah peribadatan bagi Tuhan di atas, dapat terefleksi dimana tugas dan tantangan gereja kian berat dalam menghadapi realitas sosial ekonomi dari waktu ke waktu. Gereja-gereja terus dibangun dari kantong-kantong jemaatnya sendiri tanpa subsidi pemerintah. Anggota-anggota jemaat terus digembalakan menuju persekutuan yang esa dan kudus. Sebuah padang pelayanan yang tak ringan antara penguatan spiritualitas jemaat di tengah realitas sosial ekonomi yang kian berat dan menekan kehidupan jemaat.
Kondisi ekonomi anggota jemaat yang sebagian besarnya adalah pas-pasan karena berprofesi sebagai pekerja kasar dan buruh tapi tetap progresif dalam menunaikan panggilan imannya dalam membangun rumah Tuhan. Semua itu pula tak lepas dari kreativitas, peran, dan kerja keras para pemimpin di masing-masing gereja yang terintegrasi secara baik dengan peran kepemimpinan di aras Wilayah.
Ketika Pendeta Sambuaga Dumais tiba memimpin aras Wilayah GMIM Manado Utara, gereja-geraja di kawasan ini sedang giat-giatnya membangun dan melakukan perbaikan gedung gereja dari tahap semi permanen ke permanen, dari tahap darurat ke semi permanen.
Gedung gereja permanen Bethanie Singkil Sindulang yang dibangun pada tahun 1903 masa kepemimpinan Kepala Paroki Pendeta Hendrik Sinaulan, harus diruntuhkan dan dibangun lagi, karena tidak lagi representatif menampung anggota jemaat. Dan bangunan gereja yang dibangun dari masa Pendeta Sambuaga Dumais ketika itu, sumber pembiayaannya 80 persen dari swadaya anggota jemaat. Baru pada tahun 2012 gedung Gereja Bethanie Singkil mengalami proses rehab pada bagian depan terutama pengadaan pembangunan menara.
Di Jemaat Petra Karangria, gedung gereja permanen yang baru sedang dibangun setelah sebelumnya telah mengalami beberapa kali proses pemugaran, untuk mengantikan bangunan gereja semi permanen yang terletak di tepi pantai Karangria. Sumber pembiayaannya juga berasal dari swadaya anggota jemaat sekitar 90 persen.
Di Jemaat Torsina Tumumpa ketika itu upaya pembangunan gedung gereja permanen tahap I sedang berlangsung dengan 90 persen anggaran dari swadaya anggota jemaat, untuk mengantikan bangunan gereja semi permanen. Bangunan gereja permanen Torsina tahap I hingga kurun 2012 masih ada tapi tidak lagi digunakan sebagai tempat ibadah hari Minggu, karena jemaat tersebut saat ini sudah punya bangunan gereja yang megah dari buah pembangunan gedung gereja permanem tahap dua yang terletak di samping gereja lama.
Hampir seluruh jemaat-jemaat yang ada di aras Wilayah Manado Utara pada masa kepemimpinan Pendeta Sambuaga Dumais sedang giat membangun tidak saja bangunan gereja, tapi juga pembangunan pastori-pastori, dan sekolah-sekolah milik jemaat.
Perhatian pada sektor pendidikan di kurun ini menjadi prioritas mengingat tingkat pendidikan warga jemaat terbilang kurang dan minim. Angka buta huruf masih cukup tinggi. Di Petra Karangria didirikan SD GMIM 33, di Nazaret Tuminting berdiri SD GMIM 3, TK Nazaret, dan SMP Nazaret. Di Torsina Tumumpa dibangun SD GMIM 25.
Adalah menarik mencermati bentuk-bentuk swadaya anggota jemaat dalam membangun gedung gereja ketika itu. Lahan dimana gedung gereja berdiri rata-rata merupakan hibah dari keluarga-keluarga pemilik tanah. Bahan bangunan berupa kayu dibuat dan dicari dengan bentuk kerja Mapalus. Pasir, batu diangkut oleh warga jemaat dari kali dan pantai. Bata yang dicetak dan dibakar sendiri.
Bahkan para siswa dari sekolah-sekolah milik jemaat ikut dilibatkan mengumpulkan material bangunan terutama pasir yang diakut dari kali atau pantai. Para siswa juga mengumpulkan botol bekas di sekolah masing-masing untuk dijual menambah kas pembangunan gereja. Material berupa semen, besi, atap zink, dan kaca dibeli dari usaha pengumpulan dana dari anggota jemaat baik lewat perpuluhan, kegiatan kesenian (pesparawi) dalam rangka penggalangan dana, aksi penjualan makanan dan kue, serta bantuan donatur lainnya.
Ada juga dengan cara dikumpulkan dari partisipasi kolom-kolom terutama untuk atap zink dan batu bata. Pengerjaan pembangunannya dilakukan oleh para pekerja atau tukang secara suka rela tanpa upah. Suatu bentuk kerjasama anggota jemaat yang nyaris sukar lagi kita temukan dikurun waktu kini.
Progesivitas pembangunan dikurun kepemimpinan DPW Pendeta Sambuaga Dumais merupakan prestasi pelayanan yang selalu dikenang jemaat-jemaatnya.
Sementara sebagai Ketua BPMJ di Bethanie, 26 kolom bagi Pendeta Sambuaga Dumais bukanlah area pelayanan yang kecil. Itu sebabnya, beberapa kolom dilepas dan dikembangkan untuk berdiri sendiri sebagai jemaat yang otonom dan dinamakan Gereja dan Jemaat “Bukit Moria”.
Jemaat Bukit Moria setelah dimekarkan dipimpin oleh ketua jemaatnya Penatua Ny Anneke Makakiu–Gundong.
Selain itu ada 3 kolom lain dipersiapkannya untuk dimekarkan lagi menjadi sebagai jemaat yang otonom, yakni kolom-kolom 24 dengan Penatuanya Drs Lambertus-Sasube, kolom 25 Penatuanya Izak Manumpahi, dan kolom 26 Penatuanya Richard Matey. Ketiga kolom yang disiapkan sejak masa kepemimpinan Pendeta Ny Sambuaga Dumais itu saat ini telah menjadi Jemaat GMIM Yarden, Kampung Islam.
Pemekaran Wilayah Manado Utara II
Sebagai Ketua Wilayah Manado Utara, teritorial pelayanan Pendeta Ny Sambuaga Dumais terbilang luas, meliputi wilayah Kelurahan: Kombos, Wawonasa, Tuna, Singkil, Sindulang, Karangria, Tuminting, Tumumpa, Bailang, Molas, Meras, Buha, Bengkol, Pandu.
Susunan Badan Pimpinan Wilayah ketika itu sebagai berikut :
Ketua wilayah : Pendeta Ny WA Sambuaga Dumais
Wakil Ketua : Drs Engelhart Lahope
Sekretaris : Ferom P Langkudi BA
Bendaraha : RW Mandagie
Wilayah Manado Utara meliputi 15 Jemaat yaitu: Jemaat Kombos Ketua Jemaatnya J Masawet, Jemaat Karame Ketuanya M Sondang, Jemaat Tuna Ketuanya Pendeta Joffie Lontoh, Jemaat Bukit Sementara Moria Ketuanya Ny Anneke Makikui Gundong, Jemaat Bethanie Singkil Ketuanya Pendeta Ny W Anthoneta Sambuaga Dumais, Jemaat Petra Karang Ria Ketuanya Pendeta H Aling, Jemaat Nazaret Tuminting Ketuanya Drs Engelhart Lahope, Jemaat Torsina Tumumpa Ketuanya Pendeta Ny L.M Sumolang Dapu, Jemaat Imanuel Bailang Ketuannya Drs Hans Rendeo, Jemaat Batu Saiki, Ketuanya Amos Hamel, Jemaat Molas Ketuanya Ventje Mendangkey, Jemaat Meras Ketuanya Erens Donio, Jemaat Buha Ketuanya Elly Pahenon, Jemaat Bengkol Ketuanya John Pandelaki, Jemaat Pandu Ketuanya Herman Patimbano.
Area pelayanan ini belum berubah sejak ditetapkan sebagai aras pelayanan pada tahun 1903 (masa Gereja Protentan Belanda) hingga saat Pendeta Sambuaga Dumais ditempatkan sebagai Ketua BPW.
Dalam kurun 73 tahun aras pelayanan ini mengalami perkembangan pesat baik dari sisi jumlah anggota jemaat, jumlah kolom dan jumlah jemaat. Ini sebabnya pada peringatan HUT GMIM ke 47 yakni pada tanggal 30 September 1982, Pendeta Sambuaga Dumais menyampaikan usulan pemekaran Wilayah Manado Utara menjadi 2 wilayah. Usulan itu mendapat respons baik oleh Badan Pekerja Sinode GMIM.
Setelah melewati serangkaian rapat dan sidang Badan Pekerja Sinode, akhirnya pada 6 Agustus 1982, aras pelayanan Wilayah Manado Utara dimekarkan menjadi 2 wilayah yaitu: Wilayah Manado Utara I dan Wilayah Tumumpa atau juga disebut Wilayah Manado Utara II. (*)
Penulis : Iverdixon Tinungki
Discussion about this post