Sangihe, Barta1.com – Ombak tentu saja tak mengenal identitas siapa yang berlayar mengarunginya. Tetapi bagi orang-orang pulau, baik laki-laki maupun perempuan, ombak tetap saja ombak. Bukan kawan maupun musuh, tetapi harus disyukuri sebagai jembatan penghubung pulau-pulau.
19 Februari 2019, Jull Takaliuang bertolak dari Manado menuju Siau, Kabupaten Sitaro. Dirinya mengemban sebagai ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) di Sulawesi Utara, menunaikan tugasnya mengunjungi anak-anak pengungsi yang menjadi korban dari kecamuk gunung Karangetang.
Setibanya di negeri Sembilan Bidadari itu, dirinya melakukan sosisalisi perlindungan anak ke para orang tua di sana. Besoknya, 20 Februari 2019 ia menyempatkan diri menghabiskan beberapa jam bersosialisasi dan bermain bersama anak-anak pengungsi di Paseng sekaligus membagikan bantuan berupa susu, pampers, dan buku.
Tak hanya di Paseng, ibu yang biasa disapa Akang Jull itu, melanjutkan sosialisasinya di Tanaki, di sana dia disambut lebih dari lima puluh ibu rumah tangga yang rindu mendengar ceramah perlindungan anak darinya.
Menurutnya, isu perindungan anak haruslah terus diwacanakan, agar anak-anak di hari ini dapat tumbuh berkembang dengan baik, tanpa tekanan psikis apalagi fisik. Dirinya berkomitmen mensosialisasikan hal itu bukan semata karena tugas kelembagaan melainkan tuntutan rasa kemanusiaan yang ada dalam dirinya.
“Tentu saya punya kerinduan agar anak-anak kita dapat tumbuh dengan baik, tanpa dididik dengan kekerasan. Dan barang tentu, rasa kemanusiaanlah yang sejak lama terpupuk dalam hati, sehingga perjalanan-perjalanan seperti ini saya lakukan tanpa henti, jadi saya menjelaskan seputar Undang-Undang Perlindunngan Anak kepada mereka di sana,” ungkapnya.
Tak hanya berhenti di situ, perjalan perempuan penerima penghargaan N-Peace Award dari PBB itu berlanjut menyeberang ke Pulau Para, Kabupaten Kepulauan Sangihe. Seperti biasa misi utamanya adalah untuk mensosialisasikan Perlindungan Anak kepada masyarakat pulau. Di sini dirinya diuji sebagai anak pulau untuk mengarung ombak, ketika harus naik perahu taxi biasa mengunjungi beberapa pulau-pulau kecil, bermula dari Para, Mahengetang dan Kahakitang.
Di beberapa pulau itu, Jull Takaliuang menemukan masih banyaklah hal-hal yang kurang atau tantangan yang mendera orang-orang pulau masih cukuplah kuat. Menurutnya masih banyak hal yang perlu menjadi bahan evaluasi di pulau itu, semisal di Para.
“Minimnya listrik, kecenderungan mendidik anak dengan kekerasan masih ada, dan akses penegak hukum seperti polisi sangat minim, sehingga kalau ada kekerasan kepada anak atau kekerasan dalam rumah tangga hanya sampai kepada Kepala Desa. Jadi saya kasih tau, bahwa sudah ada LPA dibentuk di Sangihe,” tutur Takaliuang.
Konsistensinya dalam perjalanan itu, berakhir di Tabukan Utara, Pulau Sangihe Besar. Seperti biasa dalam program unggulan Pemerintah Kepulauan Sangihe yang disebut dengan “Medaseng” Jull Takaliuang turut juga terlibat aktif mengambil bagian bersama Lembaga Perlindungan Anak Kepulauan Sangihe yang diketuai Hermin Ririswati Gaghana.
Sabtu, (22/22/019) sebelum bertolak ke Manado, Jull Takaliuang membekali Ibu-Ibu PKK Kecamatan Tabukan Utara dengan memberikan pengenalan mendalam mengenai perlindungan anak. Tampak di matanya memang ada letih, tapi semangatnya menutupinya dengan kebanggaan apa yang dia sebut sebagai tanggung jawab.
Ya! Itulah perjalanan aktivis perempuan terkemuka di Sulawesi Utara menyisir sebagian jazirah Nusa Utara. Tentu baginya, perjalanan itu tak asing lagi, sebab dalam dirinya darah kepulauan memang masih sangat merah. Itu terbukti dalam setiap tutur katanya yang kental berdialeg bahasa Sangihe.
Namun bukan soal itu, perjalan Jull Takaliuang tidak sekadar perjalanan menyiarahi tanah leluhurnya, tetapi tugas kemanusiaan yang diembannya sangatlah besar. Tujuan-tujuan memberikan penyadaran dan cara mengasuh anak diungkapkannya dengan tulus di luar dari keterbatasannya sebagai seorang manusia.
Penulis : Rendy Saselah
Discussion about this post