Harga pala Siau saat ini berada di level terendah. Di sejumlah pedagang pengumpul di kawasan Ulu dan Ondong berkisar antara Rp. 52.000. – Rp. 59.000. per kilogram (kg). Sedangkan harga fuli Rp. 132.000 per kg.
Harga tersebut jauh dari ideal pasar pala Indonesia sebagaimana data yang dilansir Industry.co.id yang berkisar dari Rp 75.000 – Rp 85.000 per kg. Sedangkan fuli berkisar Rp 180.000 – Rp 200.000 per kg. Ada apa dibalik kemelut harga pala yang sulit merangkak naik ini? Berikut wawancara BARTA1.COM dengan salah seorang eksportir Pala Siau Ronald Takarendehang belum lama.
BARTA1: Uni Eropa memberikan Geographical Indication bagi pala Siau dengan spesifikasi khusus. Spesifikasi tersebut membedakan pala produksi Siau dengan pala produksi daerah lain di Indonesia. Lantas mengapa pala Siau sulit bertengger setidaknya mendekati harga ideal pasar Pala Indonesia?
Ronald Takarendehang: Setidaknya ada dua hal pokok yang melatari persoalan itu yakni, pertama, ada permainan di tingkat eksportir yang secara sengaja memainkan mutu pala Siau dengan cara mencampur produksi pala Siau dengan pala dari daerah lain. Akibatnya mutu pala Siau jadi turun, maka berdampak pada harga. Kedua, karena tidak adanya political will (kemauan politik) dari pemerintah daerah untuk mengeluarkan semacam jaminan keabsahan sebagai penanda perbedaan spesifikasi antara pala Siau dengan pala dari daerah lain.
BARTA1: Dalam hal ini anda mau mengatakan pada tingkat ekspor pemerintah pusat tak punya kontrol terhadap kualitas pala Indonesia. Pada level daerah pemerintah kabupaten Sitaro tidak punya kemauan politik menjamin spesifikasi Pala Siau lewat semacam sertifikat saat pala tersebut keluar dari Siau.
Ronald Takarendehang: Pada kenyataannya memang Pala Indonesia sering mendapat penolakan di negara tujuan ekspor terutama di Uni Eropa. Alasan penolakan itu terkait standar untuk kesehatan terutama kelebihan kandungan aflatoxins dan ochratoxins yang di atas ambang batas yang ditoleransi. Alasan lainnya produk tidak dilengkapi health of certificate.
Sejak tahun 2012 Uni Eropa telah memberlakukan kontrol kelengkapan dokumen dan persyaratan ekspor pala Indonesia ke Uni Eropa. Mengapa semua ini terjadi? Karena nyaris semua eksportir pala Indonesia melabel semua produk ekspor mereka sebagai pala Siau. Lantas siapa yang menjamin kalau produk ekspor mereka itu benar-benar pala yang berasal dari pulau Siau. Siapa yang mengontrol itu semua.
Ada semacam petanda apa yang diberikan pemerintah daerah untuk menjamin pasar Uni Eropa bahwa komoditas yang mereka beli itu benar-benar pala Siau. Di pasar Uni Eropa julukan untuk pala Siau King of Species. Pala Siau disebut terbaik di dunia. Pala Siau paling diminati, tapi dari data yang ada, masalah dalam ekspor pala Indonesia terus meningkat. Tahun 2016 lalu kasus penolakan pala Indonesia di Eropa bertambah jumlahnya menjadi 24 kasus.
BARTA1: Dapatkah anda memperjelas alasan permainan sebagian kalangan eksportir hingga mencampur produk pala Siau dengan Pala dari daerah lain?
Ronald Takarendehang: Harga Pala Siau jauh lebih mahal dibanding harga pala dari daerah lain di Indonesia. Karena kualitasnya memang berbeda. Contohnya, harga pala Aceh hanya Rp. 45.000. per kg. Sementara harga pala Siau saat ini saja Rp. 59.000. per kg. Sedangkan harga di daerah lain lebih murah lagi.
Ini sebabnya eksportir mencampur pala Siau yang memang berkualitas unggul dengan pala dari daerah lain yang kualitasnya di bawah. Permainan ini membuat mutu pala Siau ikut merosot di mata pasar dunia. Jangan jauh-jauh, mutu pala di Pulau Tagulandang, Talaud, dan Minahasa saja berbeda jauh dengan mutu pala Siau.
Ini disebabkan oleh faktor alam. Pala Siau tumbuh di atas batu yang bertanah, sementara di daerah lain tanaman pala mereka tumbuh di atas tanah saja dan memakai pupuk untuk merangsang pertumbuhannya. Pala Siau tidak mengenal pupuk, sebab pupuk utama pala Siau adalah abu vulkanik dari gunung Karangetang.
BARTA1: Dari laporan INDUSTRY.co.id upaya memperbaiki standar komoditas Pala agar tak terhambat lagi ketika memasuki negara tujuan ekspor sudah dilakukan melalui Trade Support Programme (TSP) II atau program kerjasama bilateral antara pemerintah Uni Eropa dengan pemerintah Indonesia pada tahun 2011-2015. TSP tersebut fokus meningkatkan mutu di semua titik rantai pasok produksi pala di beberapa sentra produksi. Apakah menurut anda program pemerintah ini belum cukup?
Ronald Takarendehang: Program itu lebih banyak difokuskan untuk memberikan bimbingan teknis serta penyuluhan kepada petani pala. Lalu mengapa kenyataannya pada 2016 masih ada kasus penolakan pala Indonesia di Eropa hingga mencapai 24 kasus? Ini dikarenakan kita tidak jujur saat melakukan ekspor. Harusnya ada tanda spesifikasi untuk produksi pala di setiap daerah penghasil pala. Karena di Indonesia bukan cuma Siau yang punya tanaman pala. Pala itu diantaranya ada di Aceh, Nusa Tenggara, Sumatra Barat, Maluku, dan Ternate.
BARTA1: Menurut anda, solusi kongkrit apa yang harus dilakukan untuk menaikan harga pala Siau?
Ronald Takarendehang: Pemerintah daerah harus mengeluarkan semacam berkas bea ekspor setiap produk pala yang keluar dari Siau. Berkas bea ekspor itulah yang akan menjadi petanda bagi pasar dunia bahwa pala tersebut benar-benar dari Siau. Pemerintah daerah Sitaro harus punya kemauan politik melakukan ini agar harga pala Siau bisa melesat naik.
Editor: Iverdixon Tinungki
Discussion about this post