Memahami alam, tak bisa sekadar menatapnya dari jauh. Ini sebabnya, Opa Sasela (73), adalah lelaki tua yang beruntung. Ia nyaris menghabiskan seluruh waktu hidupnya di Mburake dan Gunung Kapeta, sebuah kampung di Kecamatan Siau Barat Selatan, Kabupaten Siau Tagulandang Biaro (Sitaro).
Lelaki sepuh itu, saksi hidup dari era paling dekat dengan kehidupan raja kedua puluh satu Kerajaan Siau, PF Parengkuan (1936-1945).
Kendati banyak warga tak ingin membicarakan sepak terjang raja era kolonial itu –yang terstigma sebagai kaki tangan Belanda–, tapi Opa Sesela punya ingatan tentang kecintaan Parengkuan terhadap alam Mburake. Dan kami beruntung bisa melewati malam bersamanya di situs peninggalan rumah kediaman raja Parengkuan, di puncak Mburake, di tepian Danau Kapeta.
Seperti biasanya, September adalah bulan dengan cuaca yang berubah-ubah, dan hujan akan terasa dominan di gunung. Beberapa teman menyalakan unggun untuk menepis kabut dingin yang menusuk dari arah danau dengan bentangan alam yang masih lestari.
Ada suara Serak Sulawesi, Gosong Philipina, dan kelelawar berlindapan di antara dedahan. Makhluk-mahluk itu seperti ingin memandu kami melewati malam gunung.
Ini sebabnya, tak ada yang lebih menakjubkan di Mburake dan puncak Kapeta, selain menikmati malam bersama sosok sepuh ini. Dan hanya mereka yang pernah menikmati malam bersamanya yang tahu ada konser megah suara makhluk nocturnal di sini.
Opa Sasela benar. Alam punya lagu sendiri, dan mereka bisa bernyanyi, bahkan begitu lirih.
Pekur dan dengkur aneka satwa berpadu dengan suara jangkrik, lalu ciutan suara yang melengking tajam dari Tarsius Tumpara jantan, seperti menjeritkan pangilan cinta kepada pasangannya. Dan ciutan kecil anak-anak Tumpara ikut menimpali. Angin yang tipis memantulkan bunyi “ngun-ngun” dari celah batu, kerisik dedaun di terpa angin, dan bunyi detum datang sesekali dari gelegak magma di kepundan gunung Api Karangetang yang letaknya tak jauh, bahkan nyaris bersisihan itu.
“Siapa yang tak dibuat takjub oleh suara alam yang memesona ini,” kata Opa Sasela. “Ini sebabnya, Raja Parengkuan dulu membangun kediamannya di sini karena ia selalu ingin berada di tengah suara alam yang bernyanyi,” sambung dia.
Memang banyak yang belum tahu, jika Kabupaten Siau Tagulandang Biaro punya beberapa satwa unik. Salah satunya adalah Tarsius Tumpara. Hewan ini endemik pulau Siau, artinya tidak ditemui di tempat lain.
Tarsius adalah hewan pemanjat, hidupnya dihabiskan di atas pohon, dan mencari mangsa berupa serangga dengan cara meloncat dari satu pohon ke pohon lainnya. Ukuran hewan ini hanya sekitar 10-15 cm, dengan kaki berukuran sampai dua kali panjang badannya.
Jari-jari kakinya membesar di bagian ujung, yang berguna saat dia menyergap mangsanya. Jari yang khas itu juga membuat Tarsius bisa menempel walau di ranting yang licin. Ekornya sekitar 20 cm, dan matanya yang besar sekali serta bisa diputar 180 derajat. Apakah anda tak penasaran untuk melihatnya?
Sungguh ini malam yang menarik, cahaya bulan penuh mengisi hutan. Opa Sasela, dengan taksim berkisah, tentang orang orang zaman dahulu yang sangat mengerti bagaimana menghargai alam.
“Bulaeng pubawiaheng, adalah falsafa yang bermakna alam adalah harta yang menghidupkan,” tuturnya Opa.
Lanjut kata dia, kawasan danau Kapeta sejak dulu di kelilingi pohon Sagu, yang pada zaman itu merupakan salah satu sumber makanan penting bagi masyatakat.
Saat teman-teman masih asyik dalam diskusi tentang kisah raja-raja zaman dahulu di Kerajaan Siau bersama Opa. Saya bergerak menuju hutan membiarkan kaki dan naluri menuntun masuk lebih jau ke dalam. Dan beruntung saya bisa berjumpa Tumpara dan makluk-nahluk malam lain. Saya bisa membuat foto untuk melengkapi kisah di Mburake.
Beberapa jam setelah kembali ke tenda, Allfian Makahinsade tampak di sana sedang “Mesalai” (menari) mengikuti suara alam. Kami merasa bahagia.
Tak ada muatan mistis dalam perjelajahan kami. Kami lebih memilih melewati malam dengan berkeliling mengamati Tarsius Tumpara dan hewan lainnya seperti kebiasaan yang sering kami lakukan.
Ada agenda serius yang akan kami kerjakan di sini. Bertemu dengan masyarakat pemburu, berdiskusi hingga sebagian mereka telah menyerahkan senapan berburu sebagai wujud kesadaran akan pentingnya menjaga alam.
Pagi hari, cuaca cukup berangin dan awan tebal menutup matahari, beberapa pemuda lokal yang kami temui semalam bergabung menyeruput kopi dan berdikusi soal konservasi.
Kemudian kami pamit pada Opa Sasela. Lelaki sepuh yang baik hati itu telah menyiapkan sayuran segar sebagai ole-ole yang sangat tulus dan berarti dari alam yang dijaga olehnya.
Penulis : Buyung Mangangue, Iverdixon Tinungki
Discussion about this post