BITUNG, BARTA1.COM – Bencana masih mengintai berbagai daerah di Indonesia. Mengantisipasi hal itu, Jumat (12/10/2018), Yayasan Terumbu Karang Indonesia (Terangi) bekerja sama dengan Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF) dan Kementerian Badan Perencanaan Nasional (Bappenas) menggelar lokakarya pemetaan partisipatif kerentanan masyarakat di Pantai Likupang dan Pulau Lembeh Dalam Menghadapi Bencana Ekologis dan Perubahan Iklim, di Kelurahan Pintu Kota, Pulau Lembeh, Kota Bitung, Sulawesi Utara.
Ketua Yayasan Terangi, Safran Yusri mengatakan bilamana peta kerentanan dari BNPB jika dibandingkan dengan pengalaman dan perspektif masyarakat lewat survei di tiga Kelurahan di pulau Lembeh yaitu Kelurahan Pasirpanjang, Pintu Kota dan Kereko, teridentifikasi bencana seperti banjir, banjir rob, kekeringan dan tanah longsor yang sebelumnya tidak terdeteksi pada peta kerentanan BNPB.
“Kawasan Kota Bitung dan Pantai Likupang memiliki nilai strategis secara ekologis dan ekonomi. Selain itu, industri perikanan juga menjadi urat nadi perekonomian di Kota Bitung dan Likupang,” ungkapnya.
Sayangnya, kata dia, kerentanan masyarakat menghadapi perubahan iklim di kawasan tersebut belum pernah dinilai pada tingkat desa atau kelurahan.
“Hal tersebut yang mendasari kami dari Yayasan TERANGI melakukan pemetaan partisipatif di Desa Bahoi dan Likupang 2 di Pantai Likupang, dan Kelurahan Pintu Kota, Pasir Panjang, dan Kareko di Pulau Lembeh. Survei dilakukan kepada masyarakat untuk menggali semua bentuk pengalaman dan menampung aspirasi yang perlu diverifikasi secara bersamaan sehingga akan didapatkan pandangan yang obyektif,” bebernya.
Survei ini menggunakan pendekatan sosial ekonomi dan spasial, dimana dalam pendekatan sosial tim survei mendekati masyarakat dan mengumpulkan informasi terkait perspektif dan pengalaman masing-masing.
“Proses geo-referensi juga dilakukan untuk memasukkan data ke dalam peta digital yang berisi berbagai potensi bahaya dan bentuk-bentuk adaptasi yang dilakukan oleh masyarakat,” ujarnya.
Selain itu, menurut Safran Yusri, pertimbangan utama tiga kelurahan terpilih merupakan tiga daerah dengan investasi tinggi dari program CCDP IFAD yang banyak mendapatkan investasi pembangunan SDM dan infrastruktur di sektor bahari.
“Jika tiga kelurahan ini masih rentan, berarti ada indikasi kemungkinan kelurahan lain yang minim investasi akan jauh lebih terancam bahaya bencana dan perubahan iklim,” ujarnya.
Program ini disambut baik oleh masyarakat dan pemerintah yang menilai kerentanan masyarakat sejauh ini belum menjadi perhatian. “Sejauh ini persepsi masyarakat sesungguhnya sangat diperlukan. Jika terjadi sesuatu masyarakatlah yang akan paling besar menerima dampaknya dan apakah masyarakat akan mampu menghadapinya atau malah rentan,” kata Youbi Rori (59) warga Kelurahan Pintu Kota.
Asisten Bidang Perekonomian dan Pembangunan Kota Bitung, Drs Jefri Wowiling MSi, menambahkan saat ini Indonesia sedang mengalami tahap ujian dari Maha Kuasa.
“Selawesi Tengah terjadi gempa dan tsunami, Jawa Timur tepatnya di Situbondo, NTT di Lombok terjadi gempa yang efek kerusakannya tergolong parah. Sejauh ini Sulut khususnya Kota Bitung tetap waspada terhadap bencana alam, karena masuk kategori merah yang artinya berpotensi tinggi bencana alam,” terangnya.
Wowiling menambahkan Kota Bitung diibaratkan bagai supermarket bencana atau berpotensi dilanda bencana seperti gempa bumi, gunung berapi, gelombang tinggi, atau angin kencang.
“Masyarakat harus siap dalam menghadapi fenomena dan bencana alam. Kita tidak pernah tahu kapan dan dimana bencana itu akan datang, tapi setidaknya kita harus paham mekanisme adaptasinya,” tandas mantan Kadis Lingkungan Hidup Bitung.
Peliput : Meikel Pontolondo
Discussion about this post