TIKUNG KIAWA
(Buat sahabatku Adi Putong)
kita akan mengenang rumah burungburung pematik buih
bentang huma petani yang bernyanyi
kakikaki pancuran mendandani lembah dengan gambaran hutan
menawar gunda pada jarijarinya yang tiada letih
seperti sahabat tak berhitung dengan lupa
alam senantiasa sabar merapikan pucukpucuk pohon
saat kita menoleh ke tingkaptingkap kebun sayur, petakpetak sawah
ia mengilhami kabut mendenyutkan getarannya
melontar takdir terpenjara dalam hidup tinggal sedepa
di sini menitmenit digenangi cahaya hidup baru
dan burungburung itu berterbangan hingga ke hulu dada
seakan gelas kaca tibatiba pecah dalam hati
mendekap kita dengan cuaca dan gema
dan bibit ingatan ditaburkannya tumbuh pada getar sukma
mengolah embun dan air mata di seutas nafas setiap kali menetas
sejenak kita tertawan oleh keindahan lembah, embusan air
bidang tanah mengenapkan seberapa dalam Tawaang menikamnya
kita pun ikut merasa ada batas pada langkah, ada tepi di balik nafas
lalu kita merasa beruntung bersua tikung ini
sebelum meluncur lebih jauh ke lipatan diri
yang rahasia, yang tersembunyi
2014
JENDELA KAMAR
di sana kudengar dengus letih buruh melintas
melepas hayalan masa kecil ke atas terik jalan
dan aku melihat bayangbayang surealis dari hayalan
sulit terbunuh, kembali tumbuh dari jurang ingatan
jurang di tepi mata begitu sayu memandang laju hari
harus dikejar setiap hari dengan tawa lebih perih dari tangisan
begitu setiap kali hingga terali dan bingkai rapuh sendiri
mendekati tiga puluh tahun sejak rumah kubangun
dari sana aku melihat cahaya siang hari
menerangi puisipuisi berkelindan dan berlari
kian kemari, kian ke sini, ke sanubari
lalu menyelusup ke tubuhku yang ikut tua oleh waktu
aku nyaris menulis setiap hari dengan air mata
setiap kali mereka melintas lagi menjinjing
pemandangan yang sama
lukaku sendiri terus bertambah setiap kali mereka kembali
sesekali aku terjaga deruh pesawat terbang
dan bunyibunyi asing yang lain
kadangkadang kusangka sebagai desahan maut
menarikku menengok keluar tanpa alasan
dan kembali kusadari jendela itu telah merapuh
bersama bagian kusut dari hatiku pelanpelan lisut
di tangan maut yang sabar menunggu
sampai hutan kenangan itu kian merimbun merimba
di balik pemandangan lalulalang pendar bimbang
yang samar, dan yang benarbenar dijeritkan
aku nyaris tak punya alasan mengganti jendela itu
karena sama dengan diriku terus menua oleh kenangan
sampai kotakkotak berkaca jatuh jadi serpihan
2014
PADA SENYUM ISTRIKU
pada senyum istriku
kadang aku terkenang masa kecil
pohonpohon kenari
serumpun bougenvile ungu putih’
kini juga tumbuh di halaman rumah kami
masa lalu dan masa kini
selalu sebuah diri
mengekal renung
ibu itu abadi
aku seperti bocah bergelantungan
pada takutku masa itu
ada bayang hantu berbulu di pelepah nira
masih sama wujudnya dalam beribu hari
diamdiam aku pergi ke dada ibu
benteng pelindung
di mana takut tak berani bergemuruh
dekap aku istriku
seperti ibu dulu mendekapku
2014
RUMAH NENEK MERTUA
seperti buku dari masa lalu begitu rumah nenek mertua itu
ia tak pernah pergi dari pulau
kendati sekadar mengatakan di sini mimpimimpi itu menepi
ruang lantai marmer berwarna oranye
bekas peluh lalu di bingkai jendela
menjajakan kenangan: keluarga itu dibangun dari sini
dari masa kolonial ketika antara hidup dan maut tak pernah berdamai
dan kita kembali mengerti, kekuatan ternyata hanya ketika bersama
mengikat diri seperti tiga rumpun bunga oliander
nyaris seabad menjaga hidupnya di halaman dari musim ke musim
kembangnya berwarna merah muda barangkali
telah beribu kali gugur mengupacarai siklus biar tak berhenti
tapi tumbuh kembali
atau deret pohon lemon nipis di sampingsampingnya
berbuah lebat meriwayatkan tanah diam itu tetap saja menempa asam
hingga asin punya kawan saat menanak kehidupan
villa ini semacam serpihan terbaik dari surat nenek
mengajak orangorang dicintai pulang
di sini setiap orang menemukan kembali diri mereka yang hilang
dan memulai langkah baru ke depan
dekat dapur ada sumur tadah hujan yang besar
tempat kenangankenangan itu dulu mandi
dan selalu siap memberi basa kembali
kendati kemarau terlalu panjang disuatu ketika nanti
antara ruang tamu dan ruang keluarga dipisah sekat bercat biru
juga sebuah pintu berbingkai kayu dipasangi kaca warna merah dan ungu
bukankah itu warna pulau yang menunggu
–tolol sekali bila kita bersimpul
pulau tak lebih rumah yang bisu–
di tiga kamar tidurnya yang luas seluruh kelelahan lelap dan pulas
anakanak tumbuh di atas ranjang kayu hitam yang kuat
lemarilemari ukir bagai sejarah antik
terkuas di meja cermin beralas marmer bening mata
–di sini kita membaca halhal terindah dari hening—
barangkali seberkas tawa lebih bermakna dibanding seribu katakata
rumah ini bersih sepanjang hari
meski kesedihan mempertontonkan diri
dan kebaikan jadi makanan iblis
gordinggordingnya akan terkuak saat angin laut masuk
merawat semua kisah dan garis waktu
di rumah itu setahun sekali nenek mertua menanti anakanaknya
menantumenantunya, cucucucunya, cucumenantunya, serta cecenya
mari berkumpul, katanya
hari itu, hari pisah tahun
ia akan mengenakan kebaya, menyanggul rambutnya
duduk di tengah ruang keluarga
dan semua datang mencium tangannya
esoknya ia telah menyiapkan suatu pesta seperti tahun sebelumnya
juga tari dan nyanyian untuk digenapkan ke catatan hatinya
di sana ia akan tersenyum
mendoakan semua
juga pulau jauh dan udik ini
diberkati seperti sediakala
sejak laut ditetapkan asin di lidah
2014
MUBECA
ketika rombongan mubeca itu tiba di jalanan
aku tak hanya melihat tubuhtubuh penari
di sana juga keramaian ombak menenun jiwa
senja kemilau mewujudkan rohrohnya
seakan tak ada bisa menampik
musikmusik alam memenuhi ruang hati
semua orang pulau itu berbaris
tarian riang dan riuh kembali dimulai
sebuah tradisi di tempat sepi
sesungguhnya gerak burungburung langit bebas
sayap meliuk kedalam suarasuara kegembiraan
sebuah parodi jalanan
bungabunga oliander gugur ke dataran makam
pohonpohon sukun, nusu, juga bergetar
selalu ada kehormatan mesti ditunai
atas waktu pergi dan musim kembali
kemana sunyi, kemana sepi. semua itu bersembunyi
saat beberapa lelaki menari dengan mahir
perempuanperempuan tua bernyanyi dengan fasi. ada juga anakanak
barisan pemuda pemudi. mereka jenaka.
wajah bertabur bedak dan lulur yang banyak
menutupi duka cita pulaupulau kita dan sejarahnya yang terluka
aku pun naik mubeca itu, naik ke puncakpuncak gerak hati
mengikuti waktu dalam garisgaris riang tak bertepi
hingga aku lupa ini hanya sebuah pulau kecil
ombakombaknya menggunung
senantiasa diharap meredah pada tiap ketika nanti
aku masuk kejejak gerak. jalanan beralas batubatu kapur menderit
irama musik tak putusputusnya menyudahi hening pulau
kami mengelilingi semua jalan di pesisir
baru berhenti ketika senja tergelincir
malam kembali membagi apa yang ia miliki
beberapa telah mabuk, lainnya masih berusaha bernyanyi
diamdiam aku merasa ingin terus menari
dalam mubeca
dalam irama lebih riang lagi
2014
ORANG-ORANG SALINGKERE
anakanak nelayan ditempa ombak
rambutnya memerah antara sepi dan kemalangan
bagai rambut jagung muda mengeriting oleh geram
tapi mereka masih saja riang mengakrabi tawatawa terbenam
seakan muskil cinta semacam itu masih ada
dalam Salingkere. pulaupulau seperti mimpi mustahil
di atas abad yang segalanya kini begitu gemilang
di hamparanhamparan karang mereka berkejaran
seperti burung dan ikanikan tak peduli pada kepalsuan
kegembiraan mereka serupa asin dan anyir menubuh nafas
dan ada yang selalu membucah dalam dada:
–barangkali semangat menabuh sejarah moyang
sebelum tulangbelulang masa lalu itu retak tak berderam—
laut kadang buas dan teduh
anginangin liar mabuk dari fasifik
menusukan didih ke atas kulit
mereka masih saja melarung dari sengit ke sengit
ini pulauku. pulau kami, kata orangorang dengan bangga
mendepa pantai kecil
lingkaran pulau sebegitu sempit
kurang dari seratus jiwa
tapi mereka melangirnya dalam dekap
ya Salingkere
ada gereja dari kayu dengan dinding coran pasir putih
selalu mengelupas oleh uap asin
semua minggu tertampung
saat benihbenih penghiburan itu jatuh
airair hujan ditadah dalam sebuah peringi
selalu ditanak dalam nama laut dan langit
menggenapi kisah lahir dan mati
kebunkebun palawija tak cukup
buat makan dan bermimpi
mereka harus pergi ke pulau lain mencari beras, umbiumbian
ditukar dengan hasil ikan yang melimpah
di seputar pesisirpesisir sunyi ini mereka menyalakan kenduri
lalu perahuperahu besar dan kecil
selalu kembali dengan kabarkabar ramai
mengisi kesunyian dengan kisahkisah sedemikian damai
2014
PEREMPUAN MARI MENIKAH DALAM OMBAK
perempuan, mari menikah
dalam ombak
merasakan persetubuhan
ikanikan
berciuman sebuas hiu
bercengkerama serupa megalondon
aku telah menabung arus
seabad belum kutetas
aku memilihmu
buat kuterjang
mari
mari kemari
ke laut lepas ereksi ini
hanya laut tak berdusta padamu
ia sungguh bila mencintaimu
ia sungguh bila membunuhmu
perempuan bertelanjanglah di sini
di luas dada pulau sesungguhnya kau mimpi
sejuta perahu melintas
hanya kau kupanggil kekasih
perempuan mari kemari
telah kusiapkan banyak musim
kau tak perlu memilih
semua punya sisi nikmat sendiri
ombak, bui, arus, dan kedalaman
menatang kau selami
menikahlah denganku seperti putri
duyungduyung akan menari
dipecahan cahaya bulan memantul
membentuk garisgaris perak
di malam hari kau rindui
kita akan mabuk
merayakan hari pengantin
di palung terdalam
di sebuah liang
kau sebut hati
kau yakini kebebasan hakiki
2013
ANAK ANAK ITU PADA AKHIRNYA
(buat Vick dan Aldes)
anakanak itu pada akhirnya sebuah kantata di atas jalannya
sendiri. yang ditata dari batubatu berserakan, udara dingin
kesepian, damardamar yang dilupakan di hamparan
kegelapan. dan mereka pasti menemukan hariharinya yang
lolos dari reruntuhan masa lalu. dan mereka melaju seperti
embusan angin menembus tinggi dan landai kehidupan. dan
akan berdiri di panggungpanggung mereka sendiri dengan
gemuruh kemenangan bernyawa api. mereka akan
bersenandung atau bernyanyi melipat kebanggaan yang
tak harus dikibarkan berlebih karena selalu ada puncak lain
menanti taklukan
pada hari seperti ini sungguh aku merasa bagian dari manusia
lalai yang hanya punya seretih api mendetaki jantung mereka.
selebihnya aku diasingkan ambisi tak bernyawa di ujungujung
pedang berlumur noda tangisan. pada hari seperti ini sungguh
aku belukar penuh jebakan tanpa setangkai mawar atau
lagulagu penghiburan yang dapat kunyanyikan untuk mereka.
aku tahu mereka sering menangis oleh kesusahan. tapi anakanak
itu terus berjalan tanpa sesal bersama lukaluka yang datang dari
sayatanku. bahkan mereka mengecupku di malam hari seakan itu hadiah untuk penyesalanku
anakanak itu pada akhirnya adalah unggas yang cantik meniti
sonata dahandahan kehidupan. pertarungan mereka menerbitkan sayapsayap yang gigih mengepak melampaui renunganku akan batasbatas yang tak terjangkau oleh tanganku oleh nafasku. kini aku adalah penonton keramaian mereka sambil teranggukangguk dalam pukau kemajuan yang melesat penuh keyakinan. penuh perasaan riang
SAHABATKU JONI
sabankali ia lewat, aku melihat kenangan ikan
di pundaknya. ikanikan yang melesat dari reruntuhan
laut di matanya. ikanikan yang berlindung di bawah
bayanganbayangan Tuhan. ada kilatan silau, dan
jeramjeram berkelok tajam. membentuk gambargambar
antara pilu dan kegembiraan.
sebagai anak pesisir yang ceraiberai. tak kutemukan
lagi harihari kami yang bergulir dalam kegembiraan itu.
di langit hanya pilu dan jeram lain diarungi jalak,
elangelang perantau, dan merpati yang binasa.
burungburung itu beranjak menghindar gaduh kota
yang kian melebar membentang genitnya
sedang pada suatu pagi kami samasama melihat
kupukupu menetas di tembok gedung. gedunggedung
angkuh itu bangkit mencibir sayapsayap kecil yang tumbuh
sebegitu rapuh . memang setinggi apa orangorang payah
bisa terbang. tapi yang berlindung dan tertawan di bawah
kemegahan memuaskan mata adalah mereka yang tak
berani mengarungi kehidupan. di pojokpojok itulah para
bandit merampas semua katakata manis dengan lidah
penuh darah
sabankali ia lewat, aku melihat kenangan Kana yang
padam dari irama suaranya yang menipis. tak kutemukan
lagi kelimpahan laut utara yang dulu melepas jutaan ikan
dari cangkangnya. ia seperti mengajakku samasama
berenang di kencang arus yang baru saja tiba melintas
jeram curam di dadanya. ia seakan hanyut didera kebuntuan
dan harihari berlalu begitu saja di pundaknya
kadang ia datang ke rumahku, kadang sebagai Joni,
kadang sebagai satu dua kenangan ikan yang terjala oleh
waktu. kami bercakap sebagai dua piatu tentang empat
puluh tahun kami merayai laut yang hilang itu
PADA KATA LUKA MAHONI
(A. Syubbanudin Alwy)
buku yang kau tinggalkan
jadi kembaran cahaya ibu
melahirkan kita
pada kata luka mahoni kaugubah
ia menyematkan hujan arak di tenggorokan
dan sepatah kata kotor muntahan
tergeletak di jalanjalan
di halaman panjang
di beranda nakal tempat kita menghabiskan hari
tak kutemukan perpisahan matahari
karena diri adalah api dari cahaya itu sendiri
tak jauh, sebuah pulau terpekur serupa dinosaurus
menunggumu dengan punggung diliari ilalang
masih di tempat lelapnya
menagih janjimu kembali membangunkannya
badik kauh asah dan jaket coklatmu
membentang tanah lain dipenuhi ilham
lihatlah aku menulis pertempuran dingin kecupan
di halaman laut yang kesepian
aku mulai dari batu
batu penyangga dermaga tempat datang dan pulang
tempat kita menunggu bulan menjadi tajam
menusuk malam tenggelam bersama silam
lalu asal usul perahu kau pertanyakan
selalu pecah bersama pangkal akal yang tumbang
harihari susah kita susupkan ke binar mata
di harihari liar itu
sepatah kata kotor memuai bak balon raksasa
terangkat menuju sarang api lain yang kita takutkan
dan telah mendidih semua kesakitan
datanglah kembali ke tanah perjanjian nuh ini
dengan topi bulu rusia dimusuhi anjing
lolongnya telah sampai ke hutanhutanku
mengertaki nuri di ranting mahoni
yang sama kita puisikan
IVERDIXON TINUNGKI, Menulis puisi, drama, cerpen, novel, scenario film televisi. Menyutradarai teater. “Senandung Kasih Fitri” adalah sebuah drama telivisi serial yang diproduksi dan ditayangkan TVRI Nasional yang diangkat dari scenario yang ditulisnya. Ia juga menjadi mentor penulisan scenario film anak “Tulisan dari Pulisan” dan “Semateir” yang mendapat penghargaan piala Gatra Kencana Indonesia. Sejumlah karya dramanya dipentaskan di tingkat nasional.
Tahun 2016 dramanya “Kata Mati” memenangkan Festival Teater Remaja Indonesia, di Grand Teater Taman Ismail Marzuki Jakarta. Ia pembicara pada sejumlah forum seni dan sastra nasional dan daerah. Beberapa kali diundang Dewan Kesenian Jakarta untuk membacakan puisi di Taman Ismail Marzuki Jakarta. Membaca puisi di Gedung Kesenian Jakarta.
Penerima Anugerah Puisi tahun 2013 lewat Buku Kumpulan Puisi “KLIKITONG” sebagai Buku Pilihan pada Sayembara Buku Puisi Indonesia. Penerima Anugerah Puisi tahun 2014 lewat Buku Kumpulan Puisi “MAKATARA” sebagai Buku Pilihan pada Sayembara Buku Puisi Indonesia. Puisi dan esainya pernah dimuat diantaranya: di majalah sastra Horison, Harian Sinar Harapan, Harian Indopos dan berbagai media yang terbit di Indonesia.
Karya-karya yang telah diterbitkan: Malam Terakhir Pilatus, Kumpulan Drama, Selo Aheng Utara 2017. Manado Mooi, Kumpulan Puisi Bahasa Manado, Selo Aheng Utara, 2017. Jalur Rempah, Kumpulan Puisi, Teras Budaya 2016. Longuseiku, Kumpulan Puisi, Teras Budaya 2016. Dari Ramensa ke Manongga, Kumpulan Cerita Rakyat Talaud, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Kepulauan Talaud 2016. Kopero, Kumpulan Puisi, Teras Budaya 2015. Makatara, Kumpulan Puisi, Teras Budaya 2014. Moraya, Sepilihan Puisi Berlatar Minahasa, Taman Budaya Sulut 2014. Kepas, sebuah novel, Teras Budaya 2013. Klikitong, Kumpulan Puisi, Teras Budaya 2013. Aku Laut Aku Ombak, Kumpulan puisi, Kutub Jokyakarta 2009. Di Tangan Angin, Kumpulan Puisi, SKM 2001. Surat-Surat Sunyi Rerumputan, Kumpulan Puisi, Departemen IPAIT Sinode GMIM 1977. Sakral, Kumpulan Puisi, Alit Muara 1987.
Sejumlah puisinya juga terangkum dalam Antologi: Mimbar Penyair Abad 21, Balai Pustaka 1996. Dua Penyair Sulut, Bengkel Seni Mandiri 1990. Sasambo, Forum Komunikasi Budaya Satal 1989. Aceh Berduka, Balai Bahasa Medan 2004. Pinangan, Teras Budaya 2012. Metamorfosis, Teras Budaya Jakarta, 2014. Bersepeda ke Bulan, Indopos 2014. Metamorfosis, Teras Budaya 2015. NUN, Yayasan Haripuisi Indonesia 2015. Antologi Puisi 100 Penyair Indonesia – Malaysia 2015. Palagan Sastra, Teras Budaya Jakarta, serta Antologi Drama “Empat Nuansa”, Taman Budaya Sulut 1996.
Karya-karya nonfiksi diantaranya: Delik Nedosa, Sebuah Kajian Hukum Adat Sangihe, Kantor Kejaksaan Tinggi Sulut, 2002. Nazaret, Sejarah Gereja, 2012. Gunung Hermon, Sejarah Gereja, 2013. Ia juga menjadi editor Antologi Puisi Guru, Balai Bahasa Provinsi Sulut, 2005. Puisi Siswa, Antologi Puisi Siswa, Balai Bahasa Provinsi Sulut. (*)
Discussion about this post