JAKARTA, BARTA1.COM – Perhelatan politik pemilihan umum presiden-wakil presiden resmi dimulai setelah dua pasang calon, Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, mendaftarkan diri ke Komisi Pemilihan Umum, Jumat (10/8/2018) lalu. Seperti pengalaman pemilihan umum presiden sebelumnya, pasca pendaftaran calon biasanya diikuti oleh dukungan (juga penentangan) secara terbuka dari berbagai kelompok masyarakat terhadap calon yang akan berkompetisi.
Aura dukung-mendukung mulai sangat terasa di media sosial, baik itu Twitter, Facebook, Instagram dan lain-lain, dengan pernyataan yang “sangat terang” hingga yang “samar-samar”. Yang ikut dalam perbincangan ramai dalam ajang politik lima tahunan ini tidak hanya politisi atau tim suksesnya, tapi juga jurnalis. Keikutsertaan jurnalis dalam “aura dukung mendukung” seperti ini –meski tak selalu diniatkan seperti itu—akan berdampak pada kepentingan publik, kepatuhan jurnalis pada kode etik dan tujuan profesinya, serta citra jurnalis Indonesia secara keseluruhan.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menyerukan jurnalis dan media harus berusaha mendahulukan kepentingan publik dari yang lainnya. Pasal 1 Kode Etik Jurnalistik (KEJ) menyatakan, “Wartawan Indonesia bersikap independen…”.
“Sikap ini antara lain harus ditunjukkan dengan menjadikan pertimbangan “apakah ini penting dan baik bagi publik” sebagai alasan utama untuk meliput atau tidak meliput sebuah peristiwa terkait pemilihan presiden. Meski tak menutup mata bahwa media merupakan lembaga bisnis yang harus mendapatkan keuntungan ekonomi, tapi itu hendaknya tidak menjadi pertimbangan utama atau satu-satunya dalam memilih tema yang akan diliput,” ujar Ketua Umum, Abdul Manan didampingi Sekjen Revolusi Riza, dalam siaran pers bernomor 049/AJI/P.S/VIII/2018, di Jakarta, Selasa (14/8/2018).
Dia menyamaikan jurnalis harus berusaha maksimal untuk menjaga independensinya. Memberikan pendapat atau pernyataan di media sosial adalah bagian dari kebebasan berekspresi yang dilindungi Konstitusi. Namun, untuk jurnalis, hendaklah pemanfaatan hak itu digunakan secara berhati-hati agar tidak mempengaruhi independensinya.
“Ekspresi jurnalis di depan publik (termasuk media sosial) tentang calon tertentu akan membuat independensinya menjadi tanda tanya dan itu bisa menyulitkan jurnalis dalam menjalankan profesinya. Sebagai implementasi dari prinsip independensi ini pula maka jurnalis tidak boleh menjadi tim sukses partai atau calon presiden, baik resmi atau tidak resmi. Sebab, menjadi tim sukses dipastikan akan membuatnya tidak bisa bersikap independen,” katanya.
Jurnalis dan media harus selalu berusaha bersikap profesional. Undang Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers menyebut tiga fungsi utama media, dua di antaranya adalah memberikan “pendidikan” dan menjalankan “fungsi kontrol sosial”.
“Dalam momentum pemilihan umum presiden saat ini, amanat itu sepatutnya ditunjukkan dengan membuat liputan yang memenuhi dua fungsi tersebut. Hal itu bisa dilakukan antara lain dengan membuat liputan yang fokus pada pengungkapan rekam jejak calon, konsistensi sikap calon terhadap isu-isu penting, dan kredibilitasnya saat menjalankan fungsi pelayanan publik,” beber Manan.
Penulis: Agustinus Hari
Discussion about this post