Pada dasarnya, Sri Wahyumi melambung dari sebuah situasi tatanan politik yang serba paradoks. Hal ini yang menarik diintip dari langkah bidak politik dan sejumlah kontroversi anak perbatasan yang lengkapnya bernama Sri Wahyumi Maria Manalip ini.
Banyak orang salah mengira, Sri Wahyumi jadi idola berkat penampilannya yang selalu modis dan bergaya teenagers saat menjabat sebagai Bupati Talaud. Padahal, menyelami langkah politik perempuan tangguh ini, ternyata sedalam kita memahami ungkapan Edwin Louis Cole: “Pemenang adalah bukan yang tidak pernah jatuh, tapi yang tidak pernah menyerah”.
Juli 2019 nanti, perempuan pertama yang menjabat Bupati Kabupaten Kepulauan Talaud itu akan mengakhiri masa jabatannya. Namun sejak Januari 2019 lalu, nama Sri Wahyumi kembali melambung. Sejumlah media massa menyebutnya sebagai figur yang pas menjadi Walikota Manado.
Jimmy R. Tindi, politisi Partai Hanura, menyatakan kemungkinan besar partainya akan mengusung Sri Wahyumi di ajang Pemilihan Walikota (Pilwako) Manado 2020 nanti.
“Ia sudah setuju untuk maju di Pilwako Manado,” kata Tindi pada pekan terakhir Februari 2019.
Langkah politik Sri Wahyumi pada hakekatnya menarik dicermati. Terutama, tentang sikapnya yang bebas lepas sebagai petarung dari luar kadang partai politik, tapi mampu menduduki jabatan politis baik sebagai anggota legislatif, bahkan eksekutif.
Bagi kalangan awam, langkah politik semacam ini cenderung dipandang penuh kontroversi. Karena, partai politik (parpol) hanyalah kendaraan “rental” dalam pemilihan. Tapi faktanya memang demikian bila mengacu pada ungkapan Sayfa Aulia Achidsti, dosen Fisip Universitas Sebelas Maret, Direktur Pusat Analisis Risiko Kebijakan (PARK) dalam sebuah artikelnya.
Dikatakan Achidsti, ada fenomena menjelang masa kampanye, parpol sibuk melihat ke luar menyaring daftar tokoh yang bakal diusung. Dari latar belakang mana tidak soal, yang penting daya tarung elektabilitasnya punya peluang terpilih.
Lebih dalam menelusuri situasi tatanan politik serba paradox yang dilalui Sri Wayumi dapat dimulai dari kutipan wawancara Sekretaris Sekolah Partai PDIP, Eva Kusuma Sundari dengan Detiknews, Januari 2018. Sundari mengatakan, Bupati Sri Wahyumi Maria Manalip adalah simpatisan PDIP, bukan kader PDIP. Alasan Sundari, ia tidak pernah menemui Sri Wahyumi di Sekolah Partai PDIP.
Ketika pertama kali mencalonkan diri sebagai Calon Bupati Talaud pada 2013. Sri Wahyumi dan Petrus Tuange, sebagai Calon Wakil Bupati, maju lewat dukungan Partai Gerindra, Partai Penegak Demokrasi Indonesia (PPDI) dan Partai Peduli Rakyat Nasional (PPRN).
Pasca memenangkan Pilkada Talaud 9 Desember 2013, Sri Wahyumi bukannya jadi pimpinan salah satu partai pendukungnya dalam Pilkada, justru ia bertarung sebagai calon Ketua DPC PDIP Talaud. Sebagai Bupati terpilih, Sri Wahyumi dengan mudah menjadi Ketua DPC partai berlambang banteng Moncong putih itu.
Pada Pilkada 2018, pasca terjadi kerenggangan hubungan dengan PDIP, Sri Wahyumi memilih maju dari jalur perseorangan (independen) bersama Gunawan Talenggoran (calon Wakil Bupati).
Kendati kalah tipis dalam Pilkada 2018 untuk masa kepemimpinan kedua di Kabupaten Kepulauan Talaud, karier politik perempuan tangguh ini tak langsung redup. Ia justru kembali tampil sebagai Ketua DPD Partai Hanura Kabupaten Talaud.
Jauh ke belakang, saat pertama kali terjun ke kancah politik, Sri Manalip mengikwalinya lewat Partai Golkar dalam pemilihan anggota legislatif.
Kariernya di legislatif dinilai cemerlang karena selain mampu bertahan selama dua periode di kursi DPRD Kabupaten Talaud, ia dikenal sebagai sosok aktifis lingkungan yang vocal melawan aktivitas pertambangan.
Dan sejak Februari 2019, Sri Manalip mulai ramai disebut-sebut sebagai salah satu figur calon Walikota Manado. Apakah Partai Hanura –yang terhitung belum lama menggaetnya ini—sedang menyiapkan panggung pertarungan yang baru Sri?
“Langkah ke Pilwako Manado sangat terbuka bagi Sri Wahyumi,” ujar Jim R Tindi, memastikan.
Mengapa Sri Manalip masih tampak menawan bagi parpol? Sebab pertama, masyarakat dan partai politik tahu dimana kekalahannya di Pilkada Talaud 2018 llalu, lebih banyak disebabkan oleh apa yang didefinisikan dalam The Controversy over Dirty Hands in Politics (Paul dan David, 2000): “Politik adalah tangan yang kotor jika bekerja tanpa etika”, atau yang popular disebut sebagai political gimmick.
Kedua, rekam jejaknya –terutama tentang ketegasan, bersih korupsi selama memimpin, dan usia mudanya— menjadi daya tarik tersendiri bagi parpol.
Ketiga, tatanan parpol saat ini tengah berada dalam paradox. Dan ini yang banyak mengecoh pandangan awam yang memandang parpol semata rumah para kader partai. Sementara di sisi lain, parpol sibuk melihat ke luar menyaring daftar tokoh yang bakal diusung. (bersambung)
Penulis : Iverdixon Tinungki
Discussion about this post