Manado, Barta1.com — Aparat penegak hukum (APH) diminta lebih jeli dalam menuntaskan kasus kejahatan seksual yang menimpa perempuan. Kondisi begitu karena penuntasan dan pengungkapan kasus sejenis tidak bisa dilakukan dengan pendekatan restorative justice atau keadilan restoratif.
Hal itu disampaikan peneliti Jaringan Pengawas Kebijakan Pemerintah (JKPP) DPW Sulawesi Utara, Hendra Lumempouw, Rabu (19/02/2025). Salah satu alasan utama mengapa restorasi keadilan tak bisa digunakan, karena kata dia kasus bertentangan dengan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
“Pihak kepolisian maupun kejaksaan tidak boleh memfasilitasi kasus kejahatan seksual ini dengan Restorasi Justice. Sebab sudah tidak sesuai pernyataan dari Direktur Tindak Pidana terhadap Perempuan dan Anak (PPA) serta Pidana Perdagangan Orang (PPO) Polri, Brigjen Pol Desy Andriani,” kata Hendra.
Restorative justice adalah pendekatan penyelesaian tindak pidana yang lebih mengutamakan kesepakatan antara pihak-pihak yang terlibat.
Hendra menyampaikan ini untuk menyorot kasus dugaan kejahatan seksual yang kini tengah ditangani aparat kepolisian Sulawesi Utara. Persoalan itu melibatkan oknum ASN Dinas Pekerjaan Umum Kota Manado yang telah ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Nomor SP.Sidik/18/II/2023/Dit. Reskrimum tanggal 13 Februari 2023 serta Surat Penetapan Tersangka Nomor S.Tap/35/V/2023/Dit.Reskrimum tanggal 10 Mei 2023.
TI diduga melakukan tindak pidana kejahatan seksual sebagaimana diatur dalam Pasal 14 huruf A, huruf B, dan huruf C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Penghapusan Kekerasan Seksual.
“Ada kabar yang kami terima saat ini penyelesaian kasus dalam skema restorative justice dan kami ingatkan upaya semacam ini harus dihindari oleh APH,” kata dia.
Lebih lebar lagi, sudah ada penegasan dari Direktur Tindak Pidana terhadap Perempuan dan Anak (PPA) serta Pidana Perdagangan Orang (PPO) Polri, Brigjen Pol Desy Andriani bahwa kasus kekerasan seksual tidak dapat diselesaikan melalui mekanisme restorative justice (keadilan restoratif). Pernyataan itu disampaikan dalam konferensi pers di auditorium gedung Bareskrim Polri, Jakarta, pada Desember 2024.
“Kami menyadari pasca-undang-undang TPKS itu, kita merespons cepat dengan mengirimkan (petunjuk dan arah) Jukrah kepada Bapak Kapolri yang ditandatangani bapak Kabareskrim Polri, salah satu pasal mengatakan tidak bisa diselesaikan di luar proses peradilan,” ujarnya seperti lansiran kompas.com.
Desy juga menegaskan bahwa pasal tersebut tetap berlaku dan pihaknya berkomitmen untuk mengeksekusi pasal-pasal dalam undang-undang TPKS hingga berkas perkara masuk ke tingkat pengadilan.
Lebih lanjut, Desy menekankan pentingnya penerapan prinsip “no excuse” dalam penerapan undang-undang TPKS.
Hal yang juga dikatakan oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) terkait isu adanya jual beli terkait penerapan restorative justice. Kejagung menegaskan penerapan restorative justice harus memenuhi berbagai syarat. Ia menyebut restorative justice tidak bisa diberlakukan di kasus pelaku kejahatan seksual.
Dikutip dari detiknews, Ketut mengatakan ada persyaratan yang harus dipenuhi berdasarkan ketentuan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 antara lain, (1) pelaku baru pertama kali melakukan tindak pidana (bukan residivis); (2) ancaman hukumannya tidak lebih dari 5 tahun; (3) kerugian yang diderita korban tidak lebih dari Rp2.500.000; (4) dan yang paling penting tindak pidana yang dilakukan tidak berdampak luas ke masyarakat. Ia menyebut kasus pelecehan seksual dan kasus pemerkosaan tidak bisa dihentikan dengan restorative justice.
“Dari persyaratan tersebut, kasus pemerkosaan atau pelecehan seksual termasuk eksploitasi seksual, tidak termasuk dalam kategori kasus yang bisa dihentikan berdasarkan keadilan restoratif,” kata Ketut Sumedana yang dikutip dari detiknews, dalam keterangannya, Januari 2023 tahun lalu.
Sehingga menurut Hendra Lumempouw, aparat kepolisian Sulawesi Utara jangan sampai gegabah dalam upaya penuntasan kasus yang kini lagi ditangani terkait dugaan kejahatan seksual.
“Jangan sampai upaya menghukum predator seksual berseberangan dengan apa yang sudah ditegaskan Mabes Polri, khususnya Direktur Tindak Pidana terhadap Perempuan dan Anak serta Pidana Perdagangan Orang Polri,” jelas dia. (**)
Editor:
Ady Putong
Discussion about this post