Malunsemahe adalah sebuah ungkapan salam yang kerap terdengar di kalangan umat Kristiani di Kabupaten Kepulauan Sangihe. Ungkapan ini telah menjadi bagian yang akrab dalam berbagai peribadatan maupun kegiatan budaya di daerah ini. Kendati demikian, pada akhirnya Malunsemahe tidak semata-mata mencerminkan sebuah salam yang eksklusif bagi agama tertentu.
Ungkapan ini justru memiliki kedalaman makna yang melintasi sekat-sekat keagamaan. Dalam sejarahnya, Malunsemahe dirancang dengan bijaksana melalui perpaduan nilai-nilai budaya lokal dan perspektif teologis umat Kristiani di Sangihe. Dengan akar yang begitu kaya akan sejarah dan budaya, Malunsemahe kini menjadi simbol keakraban dan penghormatan dalam berbagai aktivitas masyarakat Sangihe.
Pada suatu siang di tahun 2022, saya berkesempatan bertemu dengan (Alm) Bapak, Anton Takalumang di rumahnya di Lorong Kota, Kelurahan Soataloara II, Kecamatan Tahuna. Pertemuan kami segera berujung keakraban. Selain karena kami sama-sama berasal dari Manganitu juga karena kecintaan kami pada bahasa dan seni, terlebih kerendahan hati dan ketertarikannya berdiskusi dengan anak-anak muda di usia senjanya waktu itu.
Dalam pertemuan itu, beliau menceritakan banyak hal. Mulai dari pengalamannya menggambar sketsa Bataha Santiago, jauh sebelum orang-orang tertarik mengimajinasikan sosok pahlawan itu untuk melukisnya, hingga menyusun bahan ajar pembelajaran Bahasa Sangihe. Salah satu momen yang masih lekat dalam ingatan saya adalah ketika ia berbagi cerita tentang perjalanan salam “Malunsemahe” yang dijawab “Maluensang”.

Sebuah salam yang mengakar pada nilai-nilai kristiani yang diramu dari Bahasa Sangihe. Tak hanya itu, ia juga menyebutkan harapannya agar naskah-naskah pembelajaran Bahasa Sangihe yang telah ia susun bisa diterbitkan, sebuah tugas yang hingga kini masih menjadi utang janji saya kepadanya untuk mencari sponsor penerbit, hingga ia tutup usia pada tahun 2024.
Menurut Takalumang, Salam khas kristiani “Shalom” yang diterjemahkan ke dalam bahasa Sangihe menjadi “Malunsemahe” dengan jawaban “Maluensang” memiliki sejarah panjang. Salam ini pertama kali digunakan di GMIST Jemaat Zaitun Paghulu Resort Manganitu dan semakin dikenal saat pembangunan Kanisah GMIST Jemaat Zaitun Paghulu pada tahun 2010.
Seiring waktu, lanjut dia, penggunaan salam “Malunsemahe” dijawab “Maluensang” meluas ke GMIST Jemaat “Efrata” Tahuna. Dari situ, tradisi salam ini menyebar ke seluruh jemaat GMIST di wilayah pelayanan gereja tersebut, menjadi bagian identitas yang mengakar dalam komunitas Kristen Sangihe.
Salam “Malunsemahe” yang telah menjadi tradisi di GMIST Jemaat Efrata Tahuna, ternyata memunculkan polemik di kalangan jemaat. Pada Minggu, 6 Agustus 2017. “ Seorang Khadim dari mimbar jemaat mengangkat teori Jaya Suprana tentang “Kelirumologi,” dengan mengatakan, “Sudah tahu keliru tetap diucapkan,” yang menyinggung penggunaan salam tersebut,” ungkapnya.
Polemik pun semakin berkembang pada pertengahan tahun 2019, ketika seorang Khadim dari mimbar mengganti salam “Malunsemahe” dengan “Tabea” dan meminta jemaat menjawab “Tabe,” disertai penjelasan mengenai perubahan ini.
Bahkan tuturnya, dua bulan setelahnya, seorang Khadim kembali mengucapkan salam “Malunsemahe,” namun kali ini jemaat diminta untuk menjawab “Mangkerene.” Perubahan ini menurut informasi yang diperolehnya berlanjut hingga peringatan HUT Daerah pada 31 Januari 2020, di mana salam “Malunsemahe” kembali dijawab dengan “Mangkerene.” Perubahan ini menimbulkan pertanyaan di kalangan jemaat mengenai konsistensi dan makna dari salam yang terus berubah.
Polemik yang berkembang mengenai penggunaan salam “Malunsemahe” di GMIST Jemaat Efrata Tahuna mendapat tanggapan melalui kajian ilmiah singkat darinya. Dalam catatan ilmiahnya, Takalumang menjelaskan beberapa aspek penting mengenai bahasa Sangihe, terutama yang berkaitan dengan terjemahan kata “Shalom” menjadi “Malunsemahe” yang dijawab dengan “Maluensang.”
Tinjauan Linguistik dan Teologis
Bahasa Sangihe tercatat dalam buku De Zending op de Sangi en Talaud eilanden, Daniel Brilman, serta kemudian pernah diahas oleh Prof. Dr. H.T. Usup, seorang pakar bahasa, yang menyebutkan tiga wilayah dialek utama: Sangihe Besar, Siau, dan Taghulandang. Dialek Sangihe Besar sendiri dibagi menjadi beberapa subdialek, seperti Tamako, Manganitu, Tahuna, Kendahe, Talawid, dan Tabukan.
Dialek Manganitu, menurut Takalumang, merupakan bahasa awal pekabaran Injil di wilayah ini, di mana Alkitab dan lagu-lagu Kristen ditulis menggunakan bahasa subdialek Manganitu, termasuk dalam pemuridan oleh Zendeling Ernst Traugott Steller.
Takalumang melanjutkan dengan menjelaskan dari perspektif sosiolinguistik dan leksikologi, bahwa kata “Malunsemahe” yang dijawab “Maluensang” berhubungan dengan perubahan fonem. Dalam kajian fonologi, terdapat prefiks “Ma” yang digunakan untuk menguatkan arti suatu kata, seperti contoh pada kata-kata berikut:
Lunsemahe (sehat) menjadi Malunsemahe (sangat sehat)
Lumbihade (bernas) menjadi Malumbihade (sangat bernas)
Lumpunese (senang) menjadi Malumpenese (sangat senang)
Luensang (lega) menjadi Maluensang (sangat lega)
Penggunaan kata “Shalom” dalam bahasa Ibrani memiliki makna yang luas, mencakup arti senang, sehat, sukacita, lega, sejahtera, damai, dan tenang. Dalam kajian Takalumang, kata ini diterjemahkan dalam bahasa Sangihe menjadi “Lunsemahe,” yang diubah menjadi “Malunsemahe” (sangat sehat), dan dijawab dengan “Maluensang” (sangat lega). Maka dari itu dia, menganggap bahwa terjemahan ini tidak salah, karena sesuai dengan konteks dan pemahaman bahasa Sangihe.
Takalumang juga menambahkan, penggunaan salam ini telah memberi dampak positif bagi jemaat. Sejak awal pelayanan dan pembangunan kanisah, salam “Malunsemahe” yang dijawab “Maluensang” telah memberikan semangat dan harapan baru bagi jemaat, menciptakan spirit yang lebih dalam dan memperkuat hubungan komunitas. Keberhasilan ini mendorong terciptanya GMIST Jemaat “Tentan Duata” yang resmi diperkenalkan pada April 2012.
Dengan penjelasan ilmiah ini, Takalumang meyakini bahwa penggunaan salam tersebut tidak hanya sah secara linguistik, tetapi juga memiliki nilai spiritual yang mendalam dalam kehidupan jemaat GMIST. Dengan demikian, menurutnya, penjelasan ini merupakan sebuah kesaksian mengenai tanggung jawab iman dalam melayani jemaat saat masih menjabat sebagai penatua.
Dia menyarankan bahwa jika ada keinginan untuk mengganti salam “Shalom” yang diterjemahkan menjadi “Malunsemahe” dan dijawab dengan “Maluensang,” sebaiknya disampaikan dasar dan argumentasi yang meyakinkan kepada BP Sinode, agar BP Sinode GMIST dapat mengambil keputusan yang tepat. Ia juga menyerahkan sepenuhnya keputusan ini kepada BP Sinode GMIST pada waktu itu, sambil mengimbau agar para Khadim kembali mengembalikan fungsi mimbar pekabaran Injil di jemaat sesuai dengan tugas dan peranannya.
Anton Takalumang, meski memiliki dedikasi dan pemahaman mendalam tentang budaya, lebih memilih untuk disebut sebagai pemerhati ketimbang gelar seperti budayawan. Dalam catatan singkat yang diberikan kepada penulis, ia menceritakan bahwa ia dibesarkan di lingkungan yang menggunakan Bahasa Sangihe sub-dialek Manganitu, yang menjadikannya seorang pemerhati bahasa ini secara alami. Sejak kecil, ia terbiasa mendengar dan menggunakan bahasa ini, yang kemudian memupuk ketertarikannya untuk mempelajari serta melestarikannya.
Sepanjang masa pendidikan dari Sekolah Dasar (SD) hingga SLTA (SGA), Bahasa Sangihe selalu menjadi bagian integral dari proses belajar mengajar, yang kelak membentuk landasan pengabdian seumur hidupnya terhadap bahasa dan budaya Sangihe.
Pada tahun 1967, selain menjalankan tugas sebagai guru, dirinya turut terlibat dalam pelayanan di Pulau Marore. Dalam tugas ini, ia dipercaya untuk menerjemahkan Tata Ibadah Minggu Adven dari Bahasa Sangihe ke Bahasa Indonesia, sebagai bagian dari pelayanan gereja.
Pada tahun 1993, bersama 15 tua-tua adat lainnya, Takalumang diminta oleh pemerintah untuk menyusun buku bacaan untuk siswa SD dan SMP. Kerja sama dengan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud) menetapkan bahwa Bahasa Sangihe yang digunakan dalam pembelajaran adalah dialek Sangihe Besar, khususnya sub-dialek Manganitu.
Sebagai penanggung jawab naskah, Takalumang menekankan pentingnya pendekatan ilmiah dalam pembelajaran Bahasa Sangihe, yang mengacu pada kaidah kebahasaan nasional maupun internasional, bukan hanya secara otodidak.
Pendekatan ilmiah inilah yang menjadikannya rujukan utama bagi para peneliti Bahasa Sangihe dari berbagai negara. Ia menjawab berbagai pertanyaan dan memberikan informasi kepada tokoh-tokoh penting seperti Mr. Kenneth Merioth dari Amerika Serikat dan Mrs. Allice dari Kanada, yang berasal dari organisasi “Bahasa Internasional” yang meneliti penggunaan Bahasa Sangihe, termasuk di Mindanao Selatan, Filipina. Antara tahun 2010 hingga 2013, ia juga memberikan wawasan mendalam kepada Takashi, seorang peneliti dari Jepang, yang mengkaji Bahasa Sangihe untuk disertasi doktoralnya.
Anton Takalumang meninggal dunia pada April 2024 dalam usia 83 tahun dan dimakamkan di kampung halamannya, Paghulu, Kecamatan Manganitu, Kabupaten Kepulauan Sangihe.*
Penulis: Rendy Saselah
Discussion about this post