Manado, Barta1.com – Tim Advokasi Lingkungan Hidup dan Pesisir Sulawesi Utara (Sulut) mendesak Kepolisian Sektor Tuminting untuk segera menghentikan kriminalisasi terhadap nelayan pejuang lingkungan hidup.
Bahkan Koordinator Aliansi Masyarakat Peduli Lingkungan Hidup, Henly Rahman bersama masyarakat meminta pengembang reklamasi pesisir utara Manado untuk tidak memperalat hukum melawan partisipasi publik (SLAPP). Di mana pada tanggal 3 Januari 2025, Polsek Tuminting menetapkan Johanis Adriaan sebagai tersangka tindak pidana penganiayaan berdasarkan Surat Nomor: B/02/I/2025.
Menurutnya, upaya kriminalisasi ini merupakan modus PT. MUP selaku pengembang untuk menghalangi perlawanan masyarakat. Alasan pertama, peristiwa yang melatarbelakangi adanya laporan polisi sebetulnya merupakan bentuk penolakan masyarakat terhadap pembangunan reklamasi. Tepatnya pada tanggal 5 September 2024, sejumlah orang-orang suruhan pengembang melakukan pemasangan pagar untuk menutup area proyek di titik lokasi penolakan nelayan di Kelurahan Bitung Karangria. Sontak kegiatan itu memicu reaksi dari beberapa nelayan yang berada di lokasi. saat itu juga, Johanis menegur para suruhan pengembang itu untuk tidak melanjutkan aktifitas tersebut sambil menunjukan surat dari DPRD Provinsi Sulut yang merekomendasikan penghentian sementara pembangunan reklamasi.
“Korban lalu berupaya memindahkan sebuah kanal baja ringan yang merupakan bahan pembuatan pagar. Tiba-tiba seseorang dari pihak pengembang menarik baja ringan yang sedang dipegang oleh Johanis hingga mengakibatkan luka sobek 9 jahitan pada telapak tangan kanannya. Dari saksi-saksi yang berada di lokasi kejadian juga didapati keterangan bahwa setelah menarik baja ringan dari tangan korban, pelapor tidak mengalami luka sama sekali. Jadi, Penetapan tersangka juga hanya didasarkan pada 2 orang keterangan saksi yang juga adalah orang-orang suruhan pengembang, sehingga patut diduga terjadi rekayasa kasus penganiayaan yang pada nyatanya tidak pernah terjadi. Atas dasar-dasar itu, unsur kesengajaan dan unsur perbuatan pidana tidak terpenuhi sehingga penetapan tersangka oleh Polsek Tuminting terhadap korban menjadi tidak jelas,” tutur Henly.
Kedua, korban merupakan pembela lingkungan hidup yang haknya dilindungi oleh undang-undang. Johanis Adriaan sendiri merupakan masyarakat nelayan Tuminting yang tengah menghadapi perampasan ruang hidup wilayah pesisir melalui pembangunan reklamasi di Teluk Manado. “Reklamasi tersebut didasarkan pada Izin Lingkungan Hidup yang diterbitkan Pemerintah Daerah Sulut kepada PT. MUP untuk pembangunan Kawasan pusat bisnis dan pariwisata seluas 90 ha di wilayah pesisir Kecamatan Tuminting.”
“Masyarakat menjelaskan ketika adanya pembangunan reklamasi dapat menghalangi akses nelayan terhadap laut sehingga berakibat pada hilangnya mata pencahariaan nelayan. Selain itu, infrastruktur reklamasi dapat mengganggu biota laut dan alur laut serta merusak terumbu karang. Reklamasi pesisir juga dapat meningkatkan kerentanan masyarakat pesisir terhadap bencana ekologis dampak perubahan iklim, seperti banjir, badai rob, dan tanah longsor,” ucapnya.
Bersama masyarakat, ia tambahkan, nelayan dan jaringan masyarakat sipil yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Peduli Lingkungan Hidup, korban melakukan aktifitas pembelaan seperti melakukan hearing dengan DPRD Provinsi Sulut mencoba mengajukan gugatan lingkungan hidup ke PTUN, dan terlibat dalam aksi-aksi unjuk rasa. Atas rekayasa kasus dan upaya kriminalisasi dari PT. MUP, LBH Manado selaku kuasa hukum telah menyurat kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Komnas HAM untuk memberikan perlindungan hukum terhadap Johanis Adriaan sebagai pembela HAM yang memperjuangkan lingkungan hidup.
Bahkan LBH Manado juga telah membuat pengaduan ke Bagwassidik Polda Sulut, bahwa PT. MUP dan Polsek Tuminting melakukan SLAPP (Strategic Lawsuit Against Public Partisipation) terhadap pembela lingkungan hidup yang sedang mempertahankan wilayah pesisir dari ancaman kerusakan akibat adanya reklamasi di Teluk Manado.
“Berdasarkan uraian tersebut diatas, Koalisi Advokasi Lingkungan Hidup dan Pesisir Sulawesi Utara, menilai bahwa upaya kriminalisasi serta permbungkaman terhadap partisipasi publik yang dialami nelayan Tuminting adalah pelanggaran terhadap UUD NRI 1945, Pasal 28E ayat (3) Pasal 28F, Pasal 28H ayat (1) dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM serta Pasal 66 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup jo UU No. 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja di mana “Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata,”pungkasnya.
Untuk itu pihaknya menuntut:
1. Mengecam upaya kriminalisasi dan segala bentuk SLAPP (Strategic Lawsuit Against Public Partisipation) terhadap pembela lingkungan hidup;
2. Kepolisian Sektor Tuminting menghentikan penyidikan terhadap Johanis Adriaan berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Nomor: SP.Sidik/286/X/2024/Reskrim, Tanggal 31 Oktober 2024;
3. Kementerian Lingkungan Hidup RI memberikan perlindungan hukum terhadap pembela lingkungan hidup nelayan Tuminting;
4. Komnas HAM RI memberikan perlindungan terhadap korban serta melakukan pemantauan pelanggaran hak-hak pembela HAM dan lingkungan hidup dalam upaya kriminalisasi terhadap pembela lingkungan hidup;
5. Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Utara melakukan atensi dan evaluasi terhadap Penyidik yang menangani perkara a quo. (*)
Peliput: Meikel Pontolondo
Discussion about this post