Manado, Barta1.com – Kharisma Kurama, ketua PH Wilayah AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) Sulut secara tegas menyampaikan kepada anggota DPRD Provinsi Sulut, Pricylia Elviera Rondo dan Feramitha Mokodompit di Ruang Paripurna DPRD Provinsi Sulut, Jumat (11/10/2024).
“Jangan banggakan pembangunan jalan Tol Manado – Bitung ini, karena menggusur situs Minahasa,” ungkap Kharisma.
Kemudian, dengan gampangnya pemerintah menyampaikan nanti akan direlokasikan. “Bagi orang Minahasa tanah itu adalah Ibu, tanah itu mama. Menggusur tanah seperti memperkosa orang tua kami. Dan negara tidak pernah memfasilitasi untuk kami berdiskusi, memberikan ruang bagi masyarakat adat secara bermakna.”
“Sekali lagi tidak diundang secara bermakna. Jangan hanya diundang satu dua orang, kemudian melakukan diskusi dan ngopi-ngopi di Hotel. Opa Supit (Supit Karundeng tokoh adat Sulut) saja berjuang bersama komunitasnya mengelilingi Minahasa untuk memperbaiki situs-situs yang ada, itu menggunakan uang pribadi. Tidak ada partisipasi negara, tapi mandat dari Undang-Undang Dasar 1945 pasal 18 b dengan tegas mengatur tentang pengakuan masyarakat adat,” ujarnya.
Kharisma menambahkan, 10 tahun terkahir ini, Undang-Undang adat tidak pernah disahkan, diduga kuat sengaja dicegat oleh oknum tertentu. Salah satunya adalah, Presiden dan anggota DPR RI.
“Selama Covid-19, masyarakat adat mampu melakukan resiliensi yang kemudian dibangga – banggakan pemerintah, termasuk pemerintah Sulut berkaitan dengan ketahanan pangan. Persoalan ketahanan pangan bukan hebatnya Gubernur, Olly Dondokambey, tapi masyarakat adat mampu berdaulat politik dan berdaulat ekonomi secara mandiri,” jelasnya.
Untuk itu, tambah dia, sampaikan kepada Gubernur jangan ajarkan masyarakat Kelelondey berkebun, tapi jangan ganggu tanahnya. Itu yang mereka butuhkan.
“Tanah yang dipertahankan oleh masyarakat Kelelondey adalah tanah leluhurnya, bukan milik Gubernur punya. Itu yang kemudian menjadi persolan, hingga saat ini Pemerintah Provinsi Sulut dan DPRD Provinsi Sulut tidak memiliki solusi, serta tidak melibatkan masyarakat adat secara bermakna,” ucapnya.
Anggota DPRD Provinsi Sulut harus tahu, AMAN mencatat ada 11 juta hektare negara merampas wilayah adat. “Negara belum merdeka, torang pe leluhur sudah tinggal di atas tanah ini, yang disebut sebagai orang tua. Jadi tugas kami menjaga orang tua,” terang Karisma.
“Yang dibutuhkan oleh masyarakat hari ini adalah, pengakuan, pemenuhan dan perlindungan secara kongkrit. Bilang ke Presiden segera sahkan Undang-undang masyarakat adat, supaya tidak ada konflik di wilayah adat. Dan kongkrit kan itu di Sulut dengan pembentukan peraturan daerah (Perda),” cetusnya.
Perda kemajuan kebudayaan.
Kharisma Kurama mendengar bahwa DPRD Provinsi Sulut telah melakukan konsultasi tentang Perda kemajuan kebudayaan. Bagaimana wilayah budaya akan maju, jika wilayah adat pemerintah rampas terus menerus.
“Jangan kemudian, dibuatkan Perda dan hanya libatkan beberapa orang untuk diskusi di Hotel. Libatkan Opa Supit dalam penyusunan, itu pelibatan yang bermakna. Tanyakan ke Opa apa yang masyarakat mau. Bukan cuman undang sekelompok orang, untuk kemudian merepresentasikan kondisi masyarakat adat. Yang belakangan dalam isi, Perda ada kata-kata rasis. Jika itu akan diloloskan akan berpotensi, DPRD dan Pemerintah Provinsi Sulut itu rasis. Ada poinnya di dalam,” jelasnya lagi.
Setelah mendengar aspirasi dari keterwakilan AMAN Sulut, Pricylia Elviera Rondo, selaku anggota DPRD Provinsi Sulut Fraksi PDI Perjuangan menyebut bahwa aspirasi kebanyakan dari daerah pemilihannya, dan sudah ditampung. Dan akan ditindaklanjut sesuai dengan mekanisme yang ada, yang di mana setiap aspirasi akan diserahkan kepada pimpinan.(*)
Peliput: Meikel Pontolondo
Discussion about this post