Manado, Barta1.com – Rimbunan pepohonan menemani pegunungan yang tak banyak pengunjungnya, begitulah cerita Djandriaty Nasaru (53), terkait pengalamannya melakukan pendakian perdana ke Gunung Lolombulan.

Gunung yang memiliki ketinggian 1402 MDPL, yang keberadaannya di antara Kabupaten Minahasa dan Minahasa Selatan, Sulawesi Utara itu, belum lama ini dikunjungi oleh team Planning Jelajah, salah satu di antaranya adalah Djandriaty.
Usia terbilang tidak muda lagi, namun bagi perempuan kelahiran Manado, 25 Januari 1971 itu bahwa pendakian sudah menjadi hobi sejak dirinya duduk dibangku sekolah menengah atas (SMA).
Hal itu dibuktikan ketika dirinya mampu mencapai beberapa puncak pengunungan, di antaranya puncak Gunung Klabat, Soputan Anak dan Mama, Manado Tua, Masarang, Mahawu, Sempu, Ruang, Manimporok , Gamalama, Gamkonora, Tampusu, Lokon, dan terakhir adalah puncak Lolombulan.
“Gunung Lolombulan salah satu Gunung yang kelihatan jarang dikunjungi oleh para pendaki maupun masyarakat setempat, bahkan yang bisa dilihat dari puncaknya adalah rentetan pepohonan dan tumbuhan liar,” ungkap Djandriaty kepada Barta1.com, Jumat (04/10/2024).
Bahkan perjalanan yang dilakukan melalui Desa Raanan Baru, Kecamatan Motoling Barat itu, kata Djandriaty, memakan waktu 4 jam untuk mencapai puncaknya. ” Perjalanan dimulai dari kaki Gunung pukul 9.00 Wita, dan tiba di puncaknya sekira pukul 12. 00 Wita dengan membuka jalur yang baru sambil menggunakan avenza maps (aplikasi peta). Gunung Lolombulan sendiri, tidak memilki post seperti kebanyakan Gunung lainnya, karena di sana jalurnya masih sangat rapat. “
“Sedangkan tracknya beragam yah, baik itu bertanjakan, turunan maupun landai, semuanya dipenuhi dengan banyaknya tumbuhan rotan,” ujar anak ke 3 dari 5 bersaudara dari pasangan Robby Nasaru dan Chadidjah Bagindo.
Ia juga menambahkan selama membuka jalur untuk mencapai puncak Gunung Lolombulan, mereka tak sengaja bertemu dengan beberapa hewan, seperti ular dan lintah. “Bahkan Lolombulan sendiri menjadi hutan lindung bagi satwa yang terancam puna, seperti kelelawar, tikus ekor putih, babi hutan, ayam hutan dan burung.”
“Namun, yang sering ditemui di hutan lindung dengan luasan 1.780 hektar ini adalah lintah, di sana itu ada 2 jenis lintah dilihat dari warnanya, yakni hitam maupun cokelat,” terang Yola sapaan akrab oleh rekan-rekannya itu sambil menyebut jarak Gunung Lolombulan dengan Ibu Kota Sulawesi Utara, Kota Manado. Hanya memakan waktu 2 jam 31 menit, dengan menggunakan kendaraan roda dua maupun empat.
Lanjut Ibu dari 3 anak ini, bahwa area Gunung Lolombulan ini memiliki potensi pariwisata yang baik, jika mampu diperhatikan dan dikelola oleh Pemerintah dan masyarakat setempat.
“Di sana itu bisa dimanfaatkan Pegunungan Lolombulan sebagai tempat wisata, berikutnya ada air terjun wolinow dan air panas perkebunan marisa, sekali lagi jika ini mampu diperhatikan, akan mendatangkan keuntungan yang begitu besar,” jelasnya.
Anggota Gerakan Pecinta Alam Kawanua (Geplak) Manado ini bahkan menyebut, banyak kekayaan alam yang bisa dilihat dari setiap pendakian, salah satunya di Pegunungan Lolombulan. Untuk melihat kesemuanya itu, tidak lepas dari kesiapan fisik dan mental, kemudian logistik, serta materi dan pengetahuan dari setiap pendaki.
“Selama ini kami melakukan perjalanan dengan waktu 3 hari, kebanyakan diambil di hari libur, seperti Jumat sampai Minggu, namun jika ada planning perjalanan 2 sampai 3 gunung, mungkin akan lebih dari 3 hari lamanya,” tuturnya.
Menurut Yola, setiap perjalanan dijadikannya sebagai pembelajaran hidup, di mana tugas Ibu Rumah Tangga dan aktivitas pendakian sama-sama ingin mencapai puncaknya, yaitu kebahagiaan.
“Saat melakukan pendakian, saya akan terus berupaya untuk mencapai puncaknya, apapun hambatannya. Sama halnya, sebagai seorang Ibu Rumah Tangga yang ingin mencapai puncak kebahagiaan bersama keluarga, sekalipun rintangan selalu datang silih berganti, tapi kami selalu mengandalkan Allah, yang selalu menuntun dan membimbing saya bersama keluarga untuk menuju puncak sesungguhnya,” imbuhnya.
Sekali lagi, jika ada yang bertanya alasan di usia seperti ini masih tertarik dengan aktivitas yang penuh dengan ardenalin ini. Yola menjawab, semuanya karena kebahagiaan. “Saya akan terus melakukan pendakian, karena masih banyak misteri yang belum terpecahkan dari setiap pendakian, atau setiap pegunungan yang dikunjungi,” katanya.
“Intinya, dalam melakukan pendakian yang diutamakan adalah etika perilaku, baik sesama team maupun kepada masyarakat yang akan ditemui, serta tidak merusak alam saat melakukan pendakian. Sedianya pergi dengan keadaan baik, begitupun ketika kembali ke Rumah, sembari memberikan pengalaman, cerita, dan pengetahuan yang baru,” pungkasnya. (*)
Peliput: Meikel Pontolondo
Discussion about this post