Sangihe, Barta1.com – Pagi itu, sebelum mentari sempat menunjukkan sinarnya, Kampung Para Lelle di Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara, telah diramaikan oleh teriakan semangat. Teriakan ini bukan sembarang suara, melainkan ajakan untuk mengikuti Maneke, sebuah ritual penangkapan ikan tradisional yang telah lama ditinggalkan dan kini mulai dihidupkan kembali.
Meneke, tradisi leluhur yang sarat makna ini, kembali menggeliat di tengah denyut nadi kehidupan masyarakat pesisir Pulau Para Lelle. Tradisi yang telah lama terkubur ini kini dibangkitkan kembali, membawa semangat baru dan harapan bagi kelestarian budaya dan kearifan lokal.
Undangan dari berbagai tempat dan profesi berdatangan, antusias menyambut kebangkitan tradisi yang telah puluhan tahun ditinggalkan ini. Termasuk Penjabat Bupati Sangihe, Albert Huppy Wounde, bersama istri, Sekretaris Daerah, perwakilan legislatif, pejabat Dinas Pariwisata Provinsi, Dinas Kelautan dan Perikanan Daerah Provinsi Sulut, Guru Besar Pariwisata Politeknik Negeri Manado, Ketua ASITA, Ketua ASIDEWI, dan masih banyak lagi.
Dengan langkah kaki yang masih berat, mereka menuju tepian pantai, menyambut sang mentari yang mulai menyapa ufuk timur. Di kejauhan, terlihat puluhan orang dan dua perahu Kengkang yang memuat Seke, sebuah alat tangkap ikan tradisional yang terbuat dari bambu, ijuk, kayu nibong, dan janur kelapa.
Diiringi doa dan harapan, para nelayan yang tergabung dalam kelompok (semacam kelompok nelayan) Seke Malekaheng mendayung perahu mereka dengan penuh semangat. Kekompakan dan irama yang seirama menjadi kunci utama dalam tradisi ini. Jaring yang terbuat dari bambu dan janur pun direntangkan, siap menjerat ikan-ikan yang berlimpah di lautan.
Setelah beberapa jam berjibaku dengan arus untuk menarik Seke, jerih payah mereka terbayar lunas. Ribuan ikan terperangkap dan berhasil diarahkan ke bibir pantai. Sorak-sorai kegembiraan menggema di angkasa, menggemakan rasa syukur atas limpahan rezeki dari Sang Pencipta.
Penjabat Bupati Sangihe, Albert Huppy Wounde, terkagum-kagum menyaksikan keunikan tradisi menangkap ikan hanya dengan menggunakan alat tradisional itu. Wounde menjadi saksi kebangkitan kembali tradisi yang sebenarnya sudah berakhir tahun 1980-an.
“Saya sangat kagum dan mengapresiasi kebersamaan masyarakat Para Lelle yang begitu kompak dalam melakukan tradisi Maneke. Luar biasa saya menyaksikan langsung bagaimana ribuan ikan itu bisa diarahkan ke pantai hanya menggunakan alat tradisional,” ungkap Wounde.
Lebih lanjut, Wounde menyampaikan bahwa Meneke bukan sekadar tradisi penangkapan ikan biasa. Di balik kesederhanaannya, terkandung nilai-nilai luhur seperti kebersamaan, gotong royong, dan rasa syukur atas karunia alam. Tradisi ini menjadi pengingat bagi generasi penerus untuk selalu menjaga kelestarian laut dan budayanya.
“Ini harus dilestarikan. Saya kira ini kan sudah dimulai, jangan sampai punah. Jadi saya sudah bicara dengan teman-teman tadi, dan saya sudah gandeng juga yang dari Pariwisata untuk menyeriusi berbagai hal di pulau ini,” kata Wounde.
Meneke adalah simbol identitas dan rasa cinta tanah air yang tertanam kuat di dalam sanubari masyarakat Pulau Para Lelle. Tradisi ini menjadi pengikat mereka, mempersatukan mereka dalam semangat untuk melestarikan warisan leluhur.
Di era modernisasi yang kian pesat, tradisi Meneke hadir sebagai oase di tengah hiruk pikuk kehidupan. Tradisi ini menjadi pengingat bahwa di tengah kemajuan teknologi, nilai-nilai luhur dan kearifan lokal tetaplah memiliki tempat yang penting.
“Bersyukur hari ini bisa melaksanakan kegiatan Seke. Seke ini sudah punah sebenarnya dan pada tahun ini kami berupaya untuk melaksanakannya lagi,” ujar Elengkey Nesar, Kapitalaung Kampung Para, Senin (17/6/2024).
Kebangkitan Meneke di Pulau Para Lelle diharapkan dapat menjadi inspirasi bagi daerah lain di Indonesia untuk melestarikan tradisi dan budayanya. Tradisi ini bukan hanya tentang masa lampau, tetapi juga tentang masa depan, tentang identitas bangsa, dan tentang warisan budaya yang tak ternilai harganya.
Kampung Para Lelle, secara geografis merupakan wilayah pulau dalam satu kawasan kepulauan di Kecamatan Tatoareng, Kabupaten Kepulauan Sangihe. Sebelah utara berbatasan dengan Kampung Para I, sebelah timur berbatasan dengan Laut Maluku, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Siau Tagulandang Biaro, dan sebelah barat berbatasan dengan Laut Sulawesi.
Peliput: Rendy Saselah
Discussion about this post