Manado, Barta1.com – Berbagai aspirasi masyarakat yang tinggal dibantaran sungai terus diperjuangkan anggota DPRD Sulawesi Utara, khususnya Dapil Kota Manado.
Yongkie Limen, mengungkapkan setiap orang yang mengalami bencana dan sudah diberikan perumahan di Pandu, katanya tidak akan dibayar lagi. “Orang punya lahan dan turun-temurun memiliki sertifikat, kemudian akan dibarter dengan perumahan di Pandu dengan harga Rp 40 juta. Itu kan tidak masuk akal, luasan lahan masyarakat tidak sebanding dengan apa yang mereka dapatkan di Pandu,” ungkap anggota legislatif dari Fraksi Golkar di depan Kepala Balai Wilayah Sungai (BWS) Sulawesi 1, I Komang Sunda, di Ruang Komisi III DPRD Sulawesi Utara, belum lama ini.
Menurut Yongkie, semisalnya dirinya memiliki lahan di bantaran sungai, ketika bencana mendapatkan fasiltas rumah di Pandu, kemudian lahannya di bantaran sungai dikasih secara cuma-cuma. Secara blak-blakan, Yongkie menyebut dirinya tidak mau seperti itu.
“Sebenarnya Pemerintah Kota Manado mau melakukan pembebasan lahan, mungkin tidak memiliki anggaran maka tidak terlaksana. Maka dari itu, saya memohon kepada kepala BWS Sulawesi 1 untuk memprioritaskan masyarakat yang ada di bantaran sungai ini,” pinta Yongkie.
Dengan kekurangan yang ada, Yongkie meminta, I Komang Sunda untuk membantu Kota Manado, mengingat keuangan pemerintah Kota sudah tidak mampu lagi. “Dibeberapa bantaran sungai terjadi relokasi, dan bapak bisa membayar semua itu. Sekali lagi, dimohonkan bantuan bagi masyarakat yang ada di bantaran sungai Manado, yang belum terselesaikan hingga hari ini,” ujarnya.
Begitupun dengan Amir Liputo, anggota Fraksi Nyiur Melambai ini, mempertanyakan persoalan bantuan ganti rugi bagi masyarakat di bantaran sungai Kota Manado, yang di potong sebanyak Rp 40 juta. Potongan itu, dilayangkan bagi masyarakat yang sudah menerima bantuan perumahan di Pandu. Apalagi bagi masyarakat yang kembali lagi, ke rumahnya yang dahulu.
“Berkaitan dengan informasi yang berkembang ini, dimohonkan kejelasannya, karena masyarakat bertanya-tanya terkait masalah ini, sedangkan lahan mereka baru diukur. Kenapa harus ada kebijakan seperti ini,” tanya Amir kepada Komang.
Amir menceritakan bahwa dirinya pernah menghubungi pihak pejabat pembuat komitmen BWS Sulawesi 1, guna mempertanyakan persoalan ini. Katanya, yang masuk itu adalah wilayah bantaran sungai Kairagi sampai Ternate, dan sudah ada beritanya tinggal ditandatangani. Namun berkembang saat ini, jika masyarakat yang sudah mendapatkan bantuan di tahun 2014, yakni ganti rugi Rumah di Pandu, akan terjadi pemotongan.
“Mohon kejelasan terkait persoalan ini. Pada agenda reses, khususnya anggota DPRD Provinsi Sulawesi Utara dari dapil Kota Manado, persoalan ini terus berkembang dan menyebabkan keresahan bagi masyarakat,” terang kader PKS ini.
Kepala BWS Sulawesi 1, I Komang Sunda, menjawab bahwa Penlok 3 sungai sudah dibahas. Pada pembahasan dan sosialisasi, semua pihak diundang. Dirinya bersama Walikota Manado juga, mempertanyakan hal ini.
“Namun pertama-tema adalah mencari kejelasan mengenai bantuan. Misalnya dari BNPB itu bentuknya seperti apa, itu yang kami minta dari Pemerintah Kota Manado. Supaya jelas, karena sama-sama menggunakan anggaran Pemerintah. Di satu sisi jangan sampai dobol pembayaran. Jika dobol pembayaran dampaknya masalah hukum,” jelas Komang.
Pada sosialisasi sudah dimintakan dari Kota Manado, berkaitan dengan bentuk bantuan uang atau relokasi yang diberikan. Kalau bantuan tidak bisa dihitung, baru namanya bantuan. Ketika bantuan relokasi, misalnya seseorang kena bencana dan Rumahnya terendam, kemudian dipindahkan kesatu lokasi dan mendapat lahan, itu juga tidak bisa dobol bantuannya.
“Apalagi ini masih dalam pengadaan tanah. Dan ini di dalam P2P, di dalamnya ada Asdatun (Asisten Perdata dan Tata Usaha Negara) Kejati (Kejaksaan Tinggi). Jadi kami meminta, pendapat pada Asdatun. Keputusan ini bukan ada pada kami, semuanya diserahkan sepenuhnya kepada proses hukum, sesuai dengan pendapat Kejaksaan.”
Kejaksaan juga menyampaikan berkaitan dengan Rumah diganti 200 juta, kemudian tadinya sudah dapat 40 juta. Asdatun menambahkan, bahwa 200 juta dikurangi 40 juta, jadi diterima itu tinggal 140 juta. Jadi ini landasan yang perlu diketahui.
“Ini kan ranahnya Pemerintah Kota Manado. Namun, BWS Sulawesi 1 terus meminta penjelasan dari Pemerintah Kota, terkait bantuan ini bentuknya seperti apa. Jika Kota Manado mengatakan, ini hanya relokasi dan mendapatkan Rumah, kemudian dapat bantuan cuman 40 juta, berarti itu menjadi dasar dari P2P,” sahutnya.
Setelah mengedar penjelasan Komang, terkait bantuan ganti rugi lahan masyarakat di bantaran sungai. Amir Liputo menanggapinya, dengan mengatakan akan mengadakan Rapat Dengar pendapat (RDP) kembali, dan akan mengundang Pemerintah Kota Manado.
Sebelumnya Barta1.com telah memberitakan nasib masyarakat Mahawu, kecamatan Tuminting, Kota Manado, yang tak kunjung diperbaiki daerah aliran sungai (DAS), setelah di bongkar. kemudian, menjadi ancaman ketika hujan datang.
Beberapa Kepala Keluarga (KK) di Kelurahan Mahawu, Kecamatan Tuminting, Kota Manado, mengeluhkan pelebaran sungai yang tak kunjung diperbaiki hingga saat ini.
Adi Suhardjo, salah satu warga, menuturkan pelebaran sungai dilakukan pemerintah sejak bulan Januari 2023, namun hingga saat ini tidak ada titik terang, terkait perbaikan selanjutnya. “Adanya pelebaran sungai tidak dirapatkan terlebih dahulu dengan masyarakat. Akibatnya, rumah kami sebagian rusak akibat alat berat. Seperti 3 kamar mandi hilang, kemudian lantai dan dinding retak. Kerusakan itu tidak ada kejelasan tentang ganti rugi, dimana saya sudah bermohon ke kelurahan dan camat, tetapi tidak ada jawabannya,” ujarnya.
Kerusakan itu, kata Adi, membuat dirinya mengeluarkan uang Rp 10 juta untuk memperbaiki rumahnya akibat tekanan alat berat. “Rencana kami mau dipindahkan ke area perumahan relokasi Pandu, namun tak sebanding dengan rumah yang kami huni. Kami hanya diberi rumah dengan fasilitas satu kamar saja, kemudian lokasinya juga sering longsor,” jelasnya.
Adi menambahkan, bahwa lahan yang ia tinggali ini memiliki sertifikatnya. “Jika tidak memiliki anggaran, seharusnya pemerintah jangan dulu melakukan pembongkaran. Ketika kejadian sudah seperti ini, hujan sedikit saja air sudah masuk ke Rumah kami. Secara perlahan-lahan pemerintah mengusir masyarakatnya, dengan cara yang tidak elegan,” tuturnya.
Begitupun dengan Ratna Umar sembari memperlihatkan bagian dapur rumahnya sudah hilang akibat pelebaran sungai. “Saya sudah 40 tahun tinggal di Kelurahan Mahawu ini. Baru kali ini, mendapatkan tindakan seperti ini. Kami mau dipindahkan di lokasi yang jauh dari mata pencaharian,” ucapnya.
Setiap hujan, Ratna menceritakan bahwa dirinya tidak bisa tidur. Ia lebih memilih untuk berlindung di Masjid, mengingat pelebaran sungai yang tidak diperbaiki akan menjadi malah petaka bagi masyarakat Mahawu.
Anggota DPRD Sulut, Amir Liputo, mempertanyakan kelanjutan pembangunan Sungai Mahawu dan Bailang kepada Kepala Balai Wilayah Sungai (BWS) Sulawesi 1, I Komang Sudana. “Sungai Mahawu dan Bailang sudah dibongkar, namun pekerjaannya sudah terhenti. Sekarang sudah memasuki musim hujan, masyarakat sudah bertanya-tanya. Apakah ini ada kesengajaan untuk menghanyutkan masyarakat. Jika bapak tidak percaya mari kita turun ke lapangan untuk melihat kondisi yang ada,” sahutnya.
Wakil rakyat Dapil Manado ini menyebut ada keanehan pada saat pemasangan bronjong hanya sebagian saja, sedangkan tempat lain tidak. Sedangkan alat berat, sudah melakukan pengalian dibeberapa tempat.
“Bersyukur beberapa bulan ini musim panas, ketika hujan nanti harus diingat ada dua rumah ibadah, baik itu gereja maupun masjid sudah di tebing. Kemudian, ada rumah warga. Anehnya lagi, ada tanggul yang dibongkar dengan alasan akan dibuat baru, namun hingga saat ini perbaikan tanggul tak ada kejelasan. Tanggul tersebut sebagai penahan luapan air, ketika saat ini tidak diperbaiki bagaimana kami mau menjelaskan kepada masyarakat,” terang Amir.
Anggota Fraksi Nyiur Melambai ini meminta, pihak BWS Sulawesi 1 untuk segera memperhatikan wilayah yang sungainya sudah digali. “Dahulu ketika hujan sehari saja, air masuk ke rumah warga nanti malam hari. Masyarakat masih bisa mengemas barang-barangnya, sekarang sudah tidak lagi karena tanggulnya sudah dibongkar. Ini persoalannya, nanti diperlebar 10 meter baru dibuat Bronjong. Kalau begitu, jangan dulu dibongkar tanggul-tanggulnya. Kasihan masyarakat kecil, tolong ini menjadi perhatian jangan sampai habis di perencanaan setiap tahunnya,” tegasnya.
I Komang Sudana, menjelaskan bahwa dirinya belum turun ke lokasi yang dijelaskan. “Saya baru turun di area Politeknik. Saya sepakat dengan apa yang disampaikan oleh Pak Amir Liputo. Namun pekerjaan ini ada batasnya dengan surat tanggap bencana, kemudian berkaitan dengan Sungai Bailang dan Mahawu kami bekerja sama dengan pemerintah kota. Kami tidak bisa masuk jika pemerintah kota tidak menjamin lahannya. Berkaitan dengan perbaikan semua ditunjuk oleh Walikota Manado, sehingga pada titik-titik tertentu kami kerjakan,” jawab Komang pada Amir.
Lanjut Komang, berkaitan dengan daerah yang sudah dibongkar pihaknya akan melihat anggaran di Satker (Satuan Kerja), mengingat mereka yang selalu di lapangan. “Persoalan yang bapak sampaikan ini nanti kita cek secara bersama-sama di lapangan, akan tetapi kita akan ekspos dahulu,” pungkasnya.
Pembahasan berkaitan dengan Sungai Mahawu dan Bailang dibahas di rapat dengar pendapat oleh Komisi III DPRD Sulawesi Utara bersama BWS Sulawesi 1.
Peliput: Meikel Pontolondo
Discussion about this post