Caleg Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Dapil Nusa Utara untuk DPRD Sulut Jull Takaliuang adalah salah seorang perempuan Indonesia penerima penghargaan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk kepeduliannya pada masalah kemanusiaan dan perdamaian.
Perempuan Sangihe yang dikenal sebagai aktivis yang gigih membela kepentingan rakyat ini pada Pemilu sebelumnya sempat ikut menjadi peserta dalam pemilihan DPD RI utusan Provinsi Sulut dengan total perolehan suara 57 ribu.
Dengan modal kepercayaan masyarakat yang relatif kuat itu, pada Pemilu 2024 nanti, selain dipercayakan sebagai Ketua PSI Sangihe, Jull Takaliuang terusung untuk bertarung dari Nusa Utara.
Berikut catatan kronologis integritas Caleg yang jelang 20 tahun dikenal sebagai aktivis yang giat membela kepentingan rakyat ini:
Maret 2004 s/d Desember 2005
Menangani (advokasi) kasus Buyat. Dimulai dari melakukan pengobatan gratis dengan mengajak dr Jane Pangemanan. Hasil pengobatan dengan dr Jane Pangemanan diseminarkan bersama Perkumpulan Kelola Manado di FPIK Unsrat. Selanjutnya bersama-sama jaringan NGO nasional melakukan testimoni kasus pencemaran lingkungan oleh PT Newmont Minahasa Raya di Buyat yang berakibat timbulnya korban manusia.
Menfasilitasi masyarakat Buyat Pante direlokasi ke desa Duminanga Kabupaten Bolaang Mongondow. Kemudian menfasilitasi masyarakat Desa Buyat membentuk Kelompok Kesehatan Masyarakat Buyat (KKMB). Menfasilitasi kedua masyarakat ini agar mendapatkan perhatian khusus dari Departemen Kesehatan RI, dengan hasil di desa Duminanga dibangun sebuah PUSKESMAS dengan fasilitas ambulance. Di desa Buyat, PUSTU yang sudah ada diperbanyak fasilitasnya oleh Depkes RI dan juga diberikan 1 (satu) unit ambulance.
Januari 2005 s/d Desember 2007
Menangani (advokasi) masyarakat Malalayang menolak reklamasi pantai Malalayang. Ijin-ijin reklamasi akhirnya dicabut oleh Walikota Manado yang berujung digugatnya Pemerintah Kota Manado oleh perusahaan reklamator di PN Manado. Memfasilitasi masyarakat untuk mengintervensi perkara ini oleh masyakarat yang hasilnya pengadilan menolak seluruh gugatan reklamator (2007).
2006
Menangani (advokasi) masyarakat pulau Bangka Kecamatan Likupang Timur yang pulaunya dijarah oleh pencuri kayu (illegal logging. Setelah diinvestigasi ternyata dalang illegal logging adalah oknum-oknum polisi dari Polsek Likupang. Hasilnya, seuruh personil Polsek Likupang diganti, dan masuknya proyek reboisasi sebesar Rp 2,4 miliar ke desa Lihunu Pulau Bangka.
September 2005 s/d sekarang
Menangani (advokasi) masyarakat lingkar tambang (34 desa di Kabupaten Minahasa Utara dan Kota Bitung) PT Meares Soputan Mining (MSM), perusahaan kontrak karya tambang emas, kemudian membentuk organisasi Ammalta dengan anggotanya adalah masyarakat dari 11 desa di sekitar areal tambang. Hasilnya pada bulan Februari 2007 Gubernur Sulut menolak Amdal PT MSM. Akan tetapi seiring berubahnya arah politik dan kepentingan Pilkada tahun 2010, pemerintah RI melalui menteri KLH Rahmat Witoelar menandatangani ijin lingkungan bagi perusahaan ini. Dan, sekarang ini, dampaknya adalah ‘kemiskinan massal nelayan yang berada di wilayah sekitar tambang ini yakni nelayan di kecamatan Likupang Timur Minahasa Utara dan Batu Putih Bitung.
Juli–Desember 2008
Menangani (advokasi) masyarakat Kabupaten Kepulauan Sangihe tentang keberadaan PT East Asia Mineral Coorporation (Kuasa Pertambangan) di Pulau Sangihe, dan memberikan masukan kepada pemerintah kabupaten Sangihe tentang dampak negatif yang luas terhadap lingkungan pulau Sangihe yang hanya memiliki luas daratan 736 Km ( sekitar 73,600 ha) apabila perusahaan tambang emas beroperasi. Karena secara langsung merubah bentang alam dan sangat berpotensi menimbulkan bencana di pulau kecil Sangihe.
Januari–Maret 2009
Menangani (advokasi) masyarakat Kabupaten Kepulauan Sangihe tentang rencana penambangan pasir besi oleh perusahaan dari Taiwan di pulau Sangihe, dan memberikan masukan kepada pemerintah kabupaten Sangihe tentang dampak negatif terhadap sustainabilitas pembangunan Kabupaten Sangihe jika perusahaan tambang pasir besi ini beroperasi. Antara lain memicu abrasi dan berdampak mengecilnya luas pulau(daratan) yang bersinergi dengan climate change.
Hasilnya, rencana operasi pertambangan pasir besi dikaji kembali, dan atas saran tersebut akhirnya pemerintah kabupaten Sangihe melakukan kajian lalu mencabut ijin (membatalkannya) beroperasinya pertambangan pasir besi tersebut.
Agustus 2011–2019
Mendampingi masyarakat desa Kahuku, Lihunu, Libas dan Ehe yang mendiami pulau Bangka kecamatan Likupang Timur Minahasa Utara menuntut pemerintah untuk menjamin Hak Masyarakat atas lingkungan hidup yang sehat dan layak
Pulau Bangka, berpasir putih yang eksotik dihuni oleh sekitar 2500 jiwa penduduk ini luasnya hanya 3319 ha, tetapi oleh Bupati Minahasa Utara, sejak 2008 telah diberikan ijin eksplorasi tambang bijih besi kepada sebuah perusahaan China, PT. Mikgro Metal Perdana seluas 2000 ha. Masyarakat tidak pernah tahu dan tidak pernah disosialisasikan bahwa pulaunya akan menjadi areal pertambangan bijih besi dan mereka harus terusir dari tanah leluhurnya.
Menghindari konflik sosial yang bakal diwarnai dengan kekerasan, maka Januari 2012 diajukanlah gugatan dengan tuntutan pembatalan ijin eksplorasi yang dikeluarkan Bupati Minahasa Utara di PTUN Manado oleh 10 (perwakilan 4 desa) orang masyarakat pulau Bangka. 30 Agustus 2012 Pengadilan Administratif (PTUN) Manado (dalam putusannya No. 04/G.TUN/2012/PTUN.MDO) menolak tuntutan oleh Masyarakat Bangka dan penggiat pariwisata untuk membatalkan ijin eksplorasi secara administratif dengan alasan telah melewati tenggat waktu pengajuan gugatan.
Masyarakat Bangka dan penggiat pariwisata berhasil naik banding pada Pengadilan Tinggi Administratif Makassar, Sulawesi Selatan. Pada 1 Maret 2013 (dalam putusan No. 165/B.TUN/2012/PTUN.MKS), pengadilan ini telah membalikkan putusan Pengadilan TUN Manado. Para hakim menerima semua poin keberatan yang diajukan pada kasus tersebut. Putusan pengadilan mencabut ijin eksplorasi beserta perpanjangannya.
Bupati dan PT MMP menolak hasil putusan Pengadilan Tinggi Administratif Makassar dan naik banding ke tingkat Mahkamah Agung di Jakarta.
24 September 2013 Mahkamah Agung menolak permohonan banding yang diajukan Bupati dan PT MMP. Meskipun masyarakat sudah dimenangkan oleh MA perusahaan ini tetap saja dibackup oleh Gubernur, Bupati dan Polda Sulut. Bahkan Menteri ESDM Jero Wacik menerbitkan ijin operasi produksi pada tanggal 17 Agustus 2014. Oleh sebab itu, masyarakat kembali mengajukan tuntutan pembatalan ijin operasi produksi PT. MMP tersebut yang diajukan melalui PTUN Jakarta sejak Oktober 2014. Dan Majelis Hakim Perkara ini pada tanggal 14 Juli 2015 telah memutuskan “menerima gugatan masyarakat secara keseluruhan” (Masyarakat pulau Bangka menang).
Dan, dalam waktu yang hampir bersamaan diperoleh informasi dari MA juga bahwa PK yang diajukan oleh Bupati dan Perusahaan Tambang ditolak MA sejak 4 Maret 2015. Hal itu berarti bahwa PT. MMP sudah tidak mempunyai ijin eksplorasi karena sudah dibatalkan sampai level hukum terakhir di Indonesia.
Melanjutkan pendampingan dan penguatan masyarakat Pulau Bangka menggugat Menteri
ESDM di PTUN Jakarta atas Ijin Usaha Produksi (IUP) PT. MMP yang di tandatangani oleh Jero Wacik. Perjuangan masyarakat juga berhasil menang sampai di tingkat MA. Sehingga IUP tersebut dicabut oleh Menteri ESDM. Maka Perusahaan Tambang Bijih besi yang sudah bercokol dan merusak pulau Bangka, harus segera angkat kaki dari pulau tersebut.
2017–Sekarang
Melakukan advokasi dan pendampingan terhadap masyarakat Desa Tiberias kecamatan Poigar Kabupaten Bolaang Mongondow. Masyarakat diperhadapkan pada upaya “pengkaplingan” lahan garapan yang sudah ditanami kelapa sejak puluhan tahun oleh orang-orang tua mereka.
32 orang masyarakat sudah ditangkap dan ditahan di Polres Bolaang Mongondow. Akan tetapi setelah menjalani proses hukum, putusan hakim adalah bebas murni. Akan tetapi perusahaan Sawit ini tidak mau berhenti. Bahkan masuk merangsek ke lahan yang sedang digarap (ditanami dengan tanaman pangan seperti jagung, ubi,pisang dll) dengan menggunakan kekuatan APH baik Polri maupun TNI.
Pimpinan komunitas petani penggarap yang berhasil terpilih menjadi kepala desa bapak Abner Patras sedang ditahan oleh Polres Bolaang-Mongondow, atas laporan pencurian kelapa perusahaan. Padahal, perusahaa tidak pernah menanam kelapa yang mereka klaim sebagai milik mereka. Menghadapi proses hukum yang melanggar hukum ini, upaya yang dilakukan adalah mengajukan gugatan pra peradilan yang sementara berlangsung.
2019–Sekarang
Melakukan advokasi dan pendampingan terhadap masyarakat di desa Paputungan, Jaya Karsa, dan Tanah Putih di Kecamatan Likupang Barat Minahasa Utara. Maasyarakat menghadapi persoalan kehilangan akses hak atas tanah dan sumder daya alam lainnya seperti pantai dan pesisir di sekitarnya. Masyarakat berhadapan dengan investor pariwisata yang mengkapling 350 Ha lahan milik masyarakat untuk pembangunan sebuah berbintang hotel dan kawasannya. 350 ha lahan yang dikuasa dengan cara-cara yang tidak patut bahkan diduga melanggar hukum.
Sebagai nelayan dan petani yang sudah lahir besar di kampungnya, sampai hari ini masyarakat masih memegang bukti-bukti kepemilikan sah dari tanah yang sudah dikapling oleh perusahaan. Diduga kuat penerbitan sertifikat melibatkan banyak mafia tanah baik dari level kampung sampai institusi yang menerbitkannya. Masyarakat yang berjuang mempertahankan haknya malah menghadapi berbagai upaya kriminalisasi. Bahkan sudah ada yang masuk penjara, dalam perjuangannya. Upaya litigasi (proses) hukum sementara berjalan.
2021–sekarang
Melakukan advokasi menyelamatkan pulau Sangihe melalui sebuah Gerakan Save Sangihe Island (SSI) dari ancaman kehancuran lingkungan apabila PT.Tambang Emas Sangihe (TMS) akan beroperasi. Sejak Maret 2021, perusahaan mensosialisasikan adanya Peningkatan Ijin Usaha Operasi Produks- – Kontrak Karya kepada PT.TMS melalui SK nomor : 163.K/MB/04/DJB/2021 yang didasarkan penerbitannya pada Ijin Lingkungan no. 503/DPMPTSP/IL/182/IX/2020 yang diterbitkan oleh Pemprov Sulut. Luas konsesi yang diberikan kepada PT.TMS melalui ijin ini adalah 42.000 ha. Sementara luas daratan pulau Sangihe hanya 73.600 ha. Artinya 57% daratan pulau Sangihe akan dibabat oleh perusahaan ini.
UU no. 1 tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau kecil tegas melarang dilakukannya pertambangan mineral di pulau kecil.
Bagi masyarakat Sangihe, pulau ini adalah serpihan surga yang jatuh ke bumi. Dengan kesahajaannya, kehidupan di pulau ini sangat nyaman, aman dan sejahtera. Sumber daya alam dari darat dan laut melimpah, sesungguhnya cukup memenuhi kebutuhan masyarakat Sangihe.
Di Pulau Sangihe terdapat 2 lempeng besar yakni Lempeng Eurasia dan Lempeng Pasifik, serta dua 2 lempeng kecil yakni Lempeng Sangihe dan Lempeng Maluku.Ada 3 Gunung Api Bawah Laut, dan 1 gunung api aktif yakni Gunung Awu. Topografi daratan Sangihe terdiri dari pengunungan yang curam, dan struktur tanahnya sangat labil. Jika intensitas hujan sangat tinggi maka akan terjadi longsor di banyak wilayah rentan. Karena itu, pulau ini adalah pulau kecil yang ringkih yang harus dihindarkan dari ekploitasi massif pertambangan yang akan menggunakan metode open pit (pengeboman).
Kesadaran untuk menyelamatkan ruang hidup bagi masyarakat Sangihe sangat tinggi. Sehingga Gerakan SSI, telah mendapatkan dukungan baik di local, nasional dan internasional.
Untuk menghindarkan terjadinya konflik social, maka selain membangun kesadaran kolektif untuk berjuang dengan argumentasi dan data-data akurat, maka SSI telah memilih jalur hukum dan menang.
Di tengah perjuangan yang keras itu, masyarakat diperhadapkan dengan upaya kriminalisasi terhadap warga yang mempertahankan ruang hidupnya. Tetapi memperjuangkan kehidupan di pulau ini adalah pilihan. Secara paralel penguatan melalui di tingkat local masyarakat Sangihe tetap dilakukan secara terus-menerus. (*)
Editor:
Iverdixon Tinungki
Discussion about this post