Jakarta, Barta1.com – Komisioner Bawaslu RI, Herwyn Malonda memandang penyelenggara pemilu dan partai politik perlu mulai memikirkan proses daur ulang sampah yang diakibatkan dari jalannya proses pemilu, seperti surat suara atau kotak suara. Dia menilai sejauh ini belum ada klausul yang jelas dan tegas dalam regulasi kepemiluan yang mengatur terhadap kepedulian lingkungan.
“Karena apabila hal tersebut tidak dipikirkan, sampah logistik pemilu akan kembali menjadi limbah yang cenderung berlawanan dengan narasi pemilu ramah lingkungan serta membahayakan lingkungan hidup,” ujar Malonda diskusi terfokus bertajuk menguatkan narasi lingkungan hidup di tahun politik yang digelar Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia atau The Society of Indonesian Environmental (SIEJ) di Jakarta, Rabu (21/6/2023).
Diskusi yang menghadirkan pegiat pers, praktisi politik, lembaga penyelenggara pemilu hingga organisasi lingkungan hidup ini, ditujukan untuk mejadikan topik-topik lingkungan hidup, termasuk krisis iklim, sebagai prioritas pemberitaan jelang hajatan politik di tahun 2024.
Joni Aswira, Ketua Umum SIEJ mengatakan, krisis iklim telah menjadi perhatian politik dunia, yang masih diperhadapkan sejumlah tantangan. Dia mencontohkan, ketika Conference of the Parties (COP) ke 27 di Mesir, tahun 2022, the Institute for Strategic Dialogue merilis laporan tentang adanya upaya untuk membersihkan citra industri fosil dengan menyebarkan disinformasi.
Laporan berjudul “Deny, Deceive, Delay” itu mengungkap data perpustakaan iklan Meta, perusahaan teknologi yang menaungi berbagai media sosial populer, untuk menunjukkan adanya 3.781 iklan aktif dari entitas terkait bahan bakar fosil yang menghabiskan $3-4 juta, antara 1 September hingga 23 November 2022 di Facebook dan Instagram.
“Belanja iklan ini merupakan upaya mereka (entitas terkait industri fosil) melakukan disinformasi bahwa perubahan iklim itu tidak ada, tidak akan berdampak apa-apa bagi manusia,” ujar Joni. “Mereka juga mengkampanyekan bahwa transisi energi akan mengancam keamanan energi di Amerika.” Di Indonesia sendiri, lanjutnya, seturut hasil survei YouGov yang terbit pada 2020, mengungkap sebanyak 18% responden yang tidak percaya aktivitas manusia menyebabkan perubahan iklim.
Persentase itu disebut lebih tinggi dari 24 negara lain yang jadi bagian dalam riset tersebut. Padahal laporan terbaru Panel Antar-Pemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC), badan ilmiah paling berwenang di dunia, tanpa ragu mengatakan aktivitas manusia, terutama melalui emisi gas rumah kaca, telah menyebabkan suhu permukaan global mencapai 1,1° C antara tahun 2011-2020.
Meski demikian, riset Yayasan Cerah dan Indikator pada tahun 2021 diyakini memberi ruang kepercayaan pada penerimaan isu-isu lingkungan. Riset itu menyebut, kerusakan iklim dan polusi merupakan dua isu utama yang menjadi kekhawatiran responden muda Indonesia terkait isu perubahan atau krisis iklim, masing-masing di angka 82% dan 74%.
“Artinya mereka (responden muda) mulai sadar dengan dampak perubahan iklim,” tambah Joni. Baginya, temuan-temuan tadi merupakan peluang dan tantangan untuk menjadikan perubahan iklim sebagai topik yang relevan dan penting bagi pemuda-pemudi Indonesia. Apalagi, populasi Gen-Z dan Milenial mencakup lebih dari 60% pemilih dalam Pemilu 2024.
Atas dasar itu, SIEJ sebagai satu-satunya organisasi jurnalis lingkungan hidup di Indonesia, berupaya menjadi jembatan agar topik perubahan iklim menjadi perhatian semua kalangan masyarakat.
Joni berharap, FGD tersebut dapat menambah inspirasi bagi kerja-kerja jurnalistik dalam merumuskan strategi untuk mengarusutamakan permasalahan dan dampak, serta upaya-upaya mitigasi perubahan iklim.
Penulis : Agustinus Hari
Discussion about this post