KOLASE
Karya: Iverdixon Tinungki
Panggung pertunjukan. Ruang terbuka kompleks perkampungan kumuh. Dikelilingi rumah petak, beberapa di antaranya bersusun. Tempat penghuni berkumpul. Di sana ada yang bermain catur, menggosok batu akik, beberapa ibu berkumpul di salah satu beranda membersihkan sayur. Ada yang mencuci pakaian dekat sumur, membakar ikan. Ada yang bermain gitar. Warung kecil di salah satu pojok juga jualan kopi. Beberapa orang ngopi sambil ngobrol. Kehidupan ramai dan miris bercampur aduk. Seorang penyapu membersihkannya setiap hari. Pertunjukan dimulai dengan suasana keseharian perkampungan itu. Hatler lelaki esentrik kurang waras duduk di tempat agak tinggi sambil sesekali memainkan imajinasinya dengan senapan angin. Tiba-tiba terdengar bunyi tembakan yang keras. Semua mendadak berhenti.Sesaat kemudian Hatler bersuara, semua memandangnya tanpa bergerak.
Hatler:
Itu peluru ketujuh dari tujuh hari ketika kita tiba di sini sebagai manusia, diciptakan Allah sebagai makhluk berakal untuk menamai kali dan padang lusuh yang harus kita tuntaskan pada semua kisah sejarah yang akan dibaca abad-abad belum tiba. Tapi apa gerangan dalam dekapan kita hari ini di sini, di tengah kekuasaan yang buas dan agama suka berselisih, selain doa yang kita bakar sebagai unggun menghanguskan, belati yang terhunus melukai ulu hati kebaikan. Maka kutembak tujuh hari itu hingga dadanya terbongkar, darahnya berceceran menjadi lumpur. Karena begitu kekuasaan menghendaki waktu tanpa hari. Dan agama memerosotkan hakekat tugasnya yang sejati. Siapa aku? Aku tak tahu!
Perempuan yang sedang mencuci pakaian dekat sumur menimpali dengan sebuah puisi.
Perempuan:
seorang ibu dan dua orang anaknya. dengan penutup
kepala biru menatap Rohingnya
panas tak biasa, ada bau mesiu di udara
tangisan sudah lama ditebah
dalam hati
tagisan tak lagi punya arti
seorang ibu dan dua orang anaknya. keduanya laki-laki.
keduanya masih kecil. keduanya tak tahu apa arti mati.
keduanya menyelip takut dan rintih ke dalam hati
masih putih
panas tak biasa, ada bau mesiu di udara. mereka terduduk
di muka pintu rumah, entah mau ke mana. yang lekap
diingatan mereka tinggal satu kata; mama. hanya kata itu
penawar kelabu, penawar hati menyosong tejam peluru
di bumi mana Rohingya punya makna. apakah karena mereka
hitam dan minoritas maka harus mati di jalanan? apakah karena
mereka Rohingya maka tak punya tempat di dunia nyata? apakah
karena mereka Rohingya maka harus diperkosa dan disiksa?
di Rakhine, di tanah tempat luka menganga, hati yang buntung
mengulurkan tangan. tapi ke mana, kepada siapa. setiap tanya
terulur jadi gempa. tubuh menggelicit jatuh
tersungkur ke abu, menghidukan kita bau mati biru
warna bisu yang tak mampu tersedu
di balik kawat berduri, di kubang lumpur anyir berlendir,
di batasbatas menutup jalan untuk lari, Rohingnya tergugu
sendiri
sungguh pilu Rohingnya di bawah langit bumi yang harmoninya
direnggut darinya . sungguh risau Rohingnya menjaga nafasnya biar
bertambah meski itu hanya sehari. Rohingnya seakan
nama tibatiba jadi karma dalam mati tak bermarga
Rohingnya sungguh aku berduka untuknya
Siapa aku? Aku tak tahu.
Penyapu:
Zaman seperti selalu punya alasan membunuh apa yang diamanatkan Tuhan. Selalu ada kisah penganiayaan keji dalam sejarah iman. Pedang-pedang tajam kekuasaan, memacung ribuan orang hingga merenggang nyawa di tiang eksekusi , seperti Paulus, Bartolomeus , Thomas, dan Lukas. Di atas seluruh sejarah martir untuk Kristus itu kita seperti memandang cermin diri lebih utuh saat doa kembali remuk di jalan-jalan sunyi, di bawah langit utara bergerimis ini.
Siapa aku? Aku tak tahu.
Terdengar bunyi lonceng.
Hatler memantik korek api menyalakan rokoknya.
Setelah menghisap beberapa kali ia berseru keras.
Hatler:
Haleluyah!
Penyapu:
hidup dilabel dengan tanda-tanda penyerahan pada nama, pada kekuasaan, pada angka-angka palsu, pada segala instan. Dalam sehari tak ada lagi bisa tidur tenang tanpa gangguan berhala-berhala zaman. Sihir-sihir itu menyeruak tanpa ampun, tanpa merasa bersalah. Aku hanya seorang penyapu, siapa aku, siapa kita dalam sejarah, aku tak tahu.
Anela membuka jendela rumah petak lantai atas miliknya, Ia nampak menggantung pakaian dan sebuah BH pada tali di samping jendela. Dibor yang lagi ngopi sontak senang melihat Anela.
Dibor:
Hai Anela!
Anela:
Hai Dibor!
Dibor:
O Anela yang membangkitkan gairahku
di tengah masyarakat yang sakit
Dan suara anjinganjing politik menggertak
Kamu pasti tahu aku menyukai Yasunari Kawabata
Karena gadis penari dari Izu
Bahwa tak ada keinginan tunggal dalam diri perempuan
Namun lelaki bukan berarti tak punya airmata
Di bumi biru itulah aku ditempa
Bahwa gadis paling bisu sekalipun
Punya permata di pucukpucuk bibirnya
Dan pabila engkau memeluk dan mengecupnya
Seluruh tubuhnya akan berkata: manusia
Tak semata lapisan dongeng dalam sejarah purba
Namun injil yang hidup kendati tersembunyi
Di tepitepi laut
Di semak benua
Dan bintangbintang berkedip
Yang dibutuhkan adalah saling membawa pada cahaya
Hingga antara perumpamaan gandum dan ilalang
Kita memilih bahagia saja
Anela:
Kata-katamu seperti penyair Dibor. Tapi isi kepalamu melulu api dari nyala birahi paling mesum.
Dibor:
(Terbehak)
Mana lagumu Anela? Bernyanyilah!
Anela:
Laguku telah diterkam putus asa. Apalagi pelanggan kurang!
Dibor:
Putus asa setara dengan kematian. Kematian mulai mengalahkanmu. Bagaimana kalau malam ini aku pelangganmu?
Anela:
Percuma Dibor! Kamu itu karung bocor. Paling-paling minta gratis. Tak ada paha gratis di planet bumi Dibor. Kau tahu, harga paha bisa memuat seorang jendral membunuh seorang kopral.
Dibori:
Kan sama-sama enak!
(terbahak)
Anela:
Enak apanya, yang enak itu kuda tahu!
Anela menutup jendela. Terdengar bunyi serine disusul tembakan. Semua tiba-tiba cemas.
Hatler:
Haleluyah!
Penyapu menyanyi kemudian diikuti semua orang.
Lagu penyapu dan Orang-orang :
Bagi mereka yang tidak punya kampung halaman
Apa yang dirindukan selain cinta
Karena ia anak tunggal kebenaran
Anak kudus kebaikan
Pabila di atas menara para malaikat bernyanyi
Sebuah malam akan menjadi menyenangkan
Berilah seluruh cinta dikecupkan ke dahi
Karena cintalah petanda engkau manusia
Suasana kembali cair pada keseharian perkampungan itu. Di warung Kopi tiba-tiba beberapa orang mendiskusikan situasi kampung itu.
Kartigo:
Tidak ada pilihan bagi kita. Kita harus tinggalkan tempat ini. Perkampungan ini tak aman lagi. Selalu ada teror.
Dibor:
Benar katamu Kartigo. Kita tak mungkin hidup terus-menerus dalam ketakutan. Aku ingin menjalani mati yang tenang.
Kartigo:
Padahal kita sudah tinggal di sini sangat lama. Sudah sejak orang tua dari orang tua kita.
Bahkan lebih lama dari usia kemerdekaan bangsa ini. Ke mana kita akan pergi.
Hatler:
Mereka yaang hidup bukan mereka yang bertahan hidup, Tapi mereka yang berani memulai hidup. Menumbuhkan kenangan baru, kenangan yang lebih baik dari apa diucapkan sebintik air mata. Kenangan yang lebih baik dari apa diucapkan sepotong senyuman. Kenangan kupukupu melesat dari kepompong mengindahkan dunia, atau apa yang dirasa bebunga saat mekar, hingga layu tak akan disesal. siapa aku? Aku tak tahu.
Pak Tua muncul berjalan menuju warung.
Kartigo:
Pak Tua, kau dengar apa yang diucapkan Hatler? Aku tahu kau sangat percaya pada kata-kata semacam itu, bahwa Tuhan akan menolong kita.
Pak Tua:
(setelah berhenti sejenak)
Hatler punya alasan bertahan di sini. Karena ia memiliki logikanya sendiri.
Kartigo:
Sebut saja ucapan si gila Hatler itu benar bahwa Tuhan akan menolong kita, tapi caranya adalah kita pergi dari tempat ini. Kerahkan daya pikir kita, logika-logika kita. Apakah kita punya alasan lebih untuk bertahan di sini?
Pak Tua:
Iman tidak meniadakan logika. Meski kita terjebak dalam keadaan buruk. Tapi saat kita percaya cinta Tuhan pada manusia, setidaknya hati kita tak menjadi hampa. Apa artinya pergi ke tempat lain kalau hanya dipertemukan dengan perasaan hampa yang sama.
Pak Tua lanjut beranjak menuju warung. Seorang petugas penagih pinjaman koperasi mampir ke tempat ngopi.
Petugas Koperasi:
Koperasi…koperasi. Tagihan hari ini silahkan dibayar!
Beberapa orang termasuk ibu-ibu yang sedang membersihkan sayur mendatangi petugas koperasi yang duduk di Warung kopi. Mereka menyetor tagihannya. Petugas menulis dibukunya.
Pak Tua bertanya pada Serence yang baru muncul dari belakang warung.
Pak Tua:
Bolehkah saya mendapatkan beras lagi, sekilo saja.
Serence:
Pak Tua sudah tak bisa ngutang lagi. Utangnya sudah terlalu banyak.
Pak Tua:
(Pergi sambil ngomel)
Saya ini mantan pejuang revolusi. Saya ikut berperang untuk menjaga kemerdekaan bangsa kita ini. Heran, ngutang beras saja jadi persoalan. Kalian memang generasi yang tak tahu menghargai jasa para pahlawan.
Tiba-tiba Broto dan Boris yang sedang pemain catur berkelahi gara-gara salah satu bermain curang.
Boris:
(Menjambak kerak baju Broto)
Kamu curang Broto! Aku tidak bisa terima kalah dengan cara mainmu yang curang.
Broto:
(Melawan)
Sapa bilang kita curang. Ngana yang biongo. Selama ini kiapa ngana Boris pernah untung pa kita?
Boris:
Tapi kudamu melangkah tidak el.
Broto:
Kiapa kalau nyanda el?
Boris:
Ya itu artinya kamu curang!
Broto:
Kiapa kalau curang, ngana mo mau apa? Bakalai? Ngana kira kita tako pa ngana!
(Broto membanting Boris dengan cepat hingga jatuh. Saat mau menyerang kembali ibu-ibu cepat melerai.
Broto:
Woi ngana cuma pendatang di kampung ini, jang stel-stel tangka kita pe kerak. Ngana kira kita daong lemong? E kita Broto, preman kampung ini. Tai tusa ngana!
Boris:
(Marah)
Awas kamu! Kamu akang saya balas!
Broto:
Stel-stel ba ancam, pake bahasa bukuleh. Woi kakarlak, kita tau ngana pe kartu. Suka kita bongkar? Salah satu jo kita mo cumu neh. Ngana datang sini karena ser mo bahugel deng Serence. Ngana goda-goda pa Serence supaya dapa roko gratis.
Serence:
(Dari warungnya)
Woi jang bawa-bawa kita pe nama e. Ngoni pe urusan bakalai catur kiapa cumu-cumu kita pe nama?
Broto:
Ndak usah basambunyi Serence, kita tahu nganaleh main mata deng Boris!
Serence:
Woi kado, jang asal-asal ngana pe mulu.
Broto:
Ah ngana stel sambunyileh Serence, ngana kwa suka pa dia, karena di antara torang samua di sini cuma dia yang bapa pake neces. Sarjana mar nganggur. Ngana kira kita ndak lia ngoni dua baku bawa di pasar ampa lima Sabtu lalu?
Serence:
(Marah dan maju melampar selop ke Broto, kemudian meringsek, tapi ditahan ibu-ibu.)
Ta biasa ngana mulu pece, kado! (Serence kembali ke warungnya)
Broto:
Manyangkal? Hari-harileh kwa ngana kase kopi gratis pa dia!
Serence:
Bukang ngana pe urusan itu Kado! E kita deng Boris so lama batamang sejak torang sama-sama kuliah dulu.
Broto:
Adoh… (Tertawa) cinta lama bersemi kembali dang? (ngakak lagi) (Bicara Boris) Woi kakarlak, coba ngana haga ka atas (Menunjuk ke arah Hatler) laki-laki itu depe nama Hatler. Ngana tahu dia penyandang 2 tangkorak. Dia Serence pe laki. Pigi jo ngana jang jadi tangkorak ka tiga!
Boris akhirnya pergi dengan menahan amarahnya. Exit. Suasana menjadi agak sunyi. Semua kembali ke aktivitas masing-masing. Tiba-tiba beberapa orang mengejar seorang pencuri melintas di tempat itu. Sesaat kemudian Hatler mengarahkan senjata anginnya ke langit lalu seperti menembak sesuatu.
Hatler:
Dor…dor..dor……… Hari ini terluka lagi!
Anela membuka jendela menggantung beberapa celana dalamnya sambil menyanyikan sebuah lagu dangdut. Mendengar lagu Sanela Dibor langsung bergoyang.
Dibor:
(Sambil bergoyang)
Ini lagu yang kutunggu, kau memang Anelaku sayang!
Tiba-tiba terdengar suara keras Petugas Koperasi memarahi dua ibu yang tidak menyetor tagihan koperasi. Suara itu membuat Anela menghentikan lagunya.
Petugas Koperasi:
Bayar! Kalian harus bayar…
Ibu 1:
Tapi saya tak punya uang lagi Pak. Sudah dua minggu kami dilarang jualan di pinggir jalan sana.
Ibu 2:
Iya Pak…tenda-tenda kami sudah dibongkar pamong praja.
Petugas Koperasi:
Itu bukan urusan saya. Tenda kalian dibongkar pamong praja atau diterjang badai itu bukan urusan saya. Urusan saya adalah menagih pinjaman koperasi. Kalau sudah tidak punya uang, jual barang-barang kalian yang punya harga agar menjadi uang. Intinya pinjaman koperasi harus dibayar.
Ibu 1:
Berikan kami kelonggaran waktu pak. Apalagi anak saya sedang sakit.
Ibu 2:
Iya pak, benar pak anaknya lagi sakit.
Petugas Koperasi:
(kepada Ibu 2)
Lantas anakmu juga sakit?
Ibu 2:
Anak saya baru meninggal akibat gizi buruk pak.
Petugas Koperasi:
Anakmu, nenekmu, kakekmu yang meninggal itu bukan urusan saya! Urusan saya adalah kalian harus bayar tagihan koperasi. Bayar!
Anela:
(Jengkel melihat tingkah petugas koperasi)
Pak koperasi, kamu jangan terlalu kasar pada perempuan. Tolong hargai mereka. Mereka memang punya pinjaman, tapi merekabukan binatang yang patut kamu hardik. Baru jadi petugas koperasi sudah angkuh dan sombong.
Petugas Koperasi:
Eh kupu-kupu malam, tutup mulutmu! Jangan ikut campur, nanti kutampar kau.
Anela:
(Tersinggung)
Apa kamu bilang mau menampar aku?
(Anela keluar dari rumahnya dan turun dengan penuh amarah dan mendekati petugas koperasi)
Aku memang kupu-kupu malam, tapi aku juga manusia! Coba kamu tampar…coba kamu tampar…tampar.
(Anela meraih buku dan catatan-catatan milik petugas koperasi lalu membantingnya ke lantai. Petugas koperasi menampar Anela. Anela pun mengamuk ke arah petugas koperasi. Orang-orang berusaha melerai perkelahian itu, sementara Hatler melafalkan puisi menggambarkan keberanian Anela lewat kutipan bait Puisi WS Rendra “BERSATULAH PELACUR-PELACUR KOTA JAKARTA”)
Hatler:
Wahai pelacur-pelacur kota Jakarta
Sekarang bangkitlah
Sanggul kembali rambutmu
Karena setelah menyesal
Datanglah kini giliranmu
Bukan untuk membela diri melulu
Tapi untuk lancarkan serangan
Karena
Sesalkan mana yang mesti kau sesalkan
Tapi jangan kaurela dibikin korban
Bersatulah
Ambillah galah
Kibarkan kutang-kutangmu dihujungnya
Araklah keliling kota
Sebagai panji yang telah mereka nodai
Kinilah giliranmu menuntut
Bunyi serine disusul bunyi tembakan. Perkelahian sontak berhenti. Sesaat kemudian jeritan Serence memecah kesunyian. Ia tertembak dan roboh di dekat sebuah meja. Hatler bergegas turun meraih Serence ke dalam pelukannya. Sesaat kemudian baru terdengar suara Hatler yang penuh amarah.
Hatler:
Siapa yang melakukannya?
Tak ada yang berani menjawabnya. Orang-orang justru dengan penuh perasaan menyanyikan lagu Mengheningkan Cipta. Mendengar lagu itu Pak Tua mendadak muncul lagi di panggung persis mendekati penghujung lagu itu.
Pak Tua:
(Monolog)
Saya amat senang, amat tergugah mendengar lagu itu lagi. Dulu di masa revolusi dengan hikmat kami menyanyikan lagu itu, menghormati mereka yang gugur dalam pertempuran. Kalian tahu, pada masa itu, aku adalah prajurit yang berada di garis depan. Aku tak pernah keder pada musuh, pada hentakan senapan. Aku maju dan terus maju memuntahkan bedilku. Kalian tahu karena apa? Karena merah putih. Karena tanah air ini harus terus tegak berdiri. Harus terus dibela dalam hidup dan mati. (Tiba-tiba sinis menatap Serence yang terkulai dipelukan Hatler.) Hmmmm… kendati dengan jasa kepahlawanan sebesar itu, ngutang sekilo beras kepada perempuan yang terkulai itu aku tidak diberikan.
Hatler:
(Dengan penuh amarah)
Berarti kau yang menembak istriku Pak Tua! Kubunuh kau!
Pak Tua:
Hatler kamu bicara apa. Ini hanya sebuah pertunjukan.
Mengapa kau keluar dari scenario?
Hatler:
Ini darah. Ini darah yang nyata, bukan darah pertunjukan Pak Tua.
Pak Tua:
Aku yang menulis naskah pertunjukan ini Hatler. Aku sutradaranya. Aku tahu apa yang terjadi.
Dengan cepat Hatler beranjak mendekati Pak Tua lalu membelit lengannya yang kekar ke leher Pak Tua.
Hatler:
Pak Tua,aku sudah terbiasa dengan darah. Aku bisa membedakan mana darah dalam pertunjukan
dan mana darah yang sebenarnya. (Hatler menarik Pak Tua ke arah mayat Serence dengan gusar. Pak Tua memeriksa Serence, sambil menggeleng kepalanya.)
Hatler:
(Monolog)
Aku sudah terbiasa dengan permainan kotor, sebelum bergabung dengan grup teater ini Pak Tua. Aku terbiasa membunuh, menipu dan mencelakai orang dengan cara-cara yang cerdas. Aku pandai dalam kejahatan sebelum kita bertemu Pak Tua. Tapi kau merekrutku. Kau menjanjikan aku menjadi manusia yang baik, menjadi orang yang bisa menginspirasikan kebaikan bagi orang lain. Aku mengaku sangat tergoda menjadi manusia yang baik dan hidup sewajarnya dalam semangat kebaikan. Tapi apa yang terjadi Pak Tua. Grup pertunjukan kita tak lebih kumpulan manusia melarat, hidup dalam kondisi paling menghancurkan. Naskahmu penuh Injil penuh pesan-pesan Kristus, tapi perut kita keroncongan. Naskahmu memuja-muja patriotisme dan semangat kebangsaan, sementara diri kita tergelempang di bawah atap-atap rumah gubuk, hidup seperti anjing liar. Di mana pemerintah untuk rakyatnya yang miskin, selain datang dengan sangar mengusir dan menggusur. Karena rakyat miskin dianggap noda dalam kegemilangan politik yang harus dilenyapkan, bukan patut diselamatkan. Lalu di mana gereja untuk umatnya yang merana? Kita dibiarkan seperti seseorang yang terdampar di sebuah pulau kosong. Ia berharap ada sebuah perahu yang datang menolongnya membebaskan diri. Dan benar para HambaTuhan datang mendoakan pergumulannya, tapi ketika mereka pulang bersama kapal mereka, dia ditinggalkan tetap di sana, di pulau penuh pergumulan itu. Aku berharap banyak padamu Pak Tua. Tapi lihat… Serence istriku terkulai. Ia mati Pak Tua. Kau boleh menyangkal tidak menembaknya. Tapi siapapun yang menembaknya, Serence mati di tengah pertunjukanmu. Bagiku itu sama dengan tanganmu sendiri yang mengirim peluru ke tubuh istriku. Kau mengerti Pak Tua?
Hatler meraih tubuh Serence hendak membawanya pergi.
Pak Tua:
Hatler, dapatkah kau menahan diri hingga pertunjukan ini selesai? Dapatkah kau menunggu bagian kongklusi dari lakon ini?
Hatler:
Apalogimu telah usang Pak Tua.
Hatler tetap beranjak pergi sambil membawa tubuh Serence. Sementara Pak Tua terduduk lesuh pada sebuah kotak. Anela mendekati Pak Tua dan duduk di dekatnya.
Anela:
Aku tahu betapa kacau pertunjukan ini, setelah Hatler keluar dari alur naskah Pak Tua. Tapi kalau pertunjukan ini terpaksa berhenti tanpa akhir sebagaimana mestinya, bagaimana dengan bagian kisah yang kuperankan Pak Tua. Di luar panggung aku adalah pelacur. Di dalam lakonmu juga aku berperan sebagai pelacur.
Pak Tua membelai kepala Anela.
Pak Tua:
Kau tahu Anela, saat menulis sebuah lakon, yang terpikir olehku hanya memberi. Aku berharap setiap lakon yang kutulis menginspirasikan orang lain akan kehidupan yang lebih baik. Aku tak pernah berpikir menerima upah dari apa yang kukerjakan. Bahkan dalam menyelesaikan lakon yang sedang kita pentaskan ini, aku cukup beruntung menerima bantuan dua bungkus rokok dari Ando dan Biru. Pada sebuah festival teater, dari dua puluh tiga grup yang tampil, sebanyak lima belas grup menampilkan lakon yang kutulis, dan kau tahu Anela, sepulang nonton pertunjukan-pertunjukan itu aku pulang kehujanan diboncengan gojek. Tapi aku bahagia saja. Aku bahagia menjalani kehidupan yang konotasinya setara dengan kemiskinan. Hidup adalah tentang memilih Anela. Ada dua ruas jalan di sana. Satunya ke arah kehancuran. Lainnya menuju kedamaian.
Aku berharap kau akan memilih yang terbaik Anela. Pertunjukan ini seperti getsemani bagiku. Seperti saat-saat kritis dalam kehidupan Yesus saat Ia memohon BapaNya melalukan cawan penderitaan dariNya. Begitu juga kehidupan penulis lakon seperti aku. Setiap kali sebuah karya lahir lebih nampak sebagai cawan perderitaan yang harus dikhlaskan. Karena aku yakin dengan karya itu orang-orang akan merasa selalu ada matahari di esok pagi bagi mereka. Juga seperti harapanku untukmu Anela.
Semua orang tiba-tiba bernyanyi.
Lagu Orang-orang :
pada tubuh kenangan suara burung murai
kebun-kebun jagung yang menampung kesunyian angin
rahasia-rahasia kecantikan yang tumpah ke seluruh sungai
aku ingin mencakapkan hatiku yang kacau
saat cinta itu terbunuh
waktu abadi mengalir di sini
di alur kenangan hujan
saat akarakar rumput menggigil
apa yang kau seterukan pada hatiku.
Pak Tua:
Bubarlah kalian. Pertunjukan akan kita lanjutkan pada suatu hari nanti.
Para aktor meninggalkan panggung. Terisa Pak Tua Sendiri di sana.
Pak Tua:
Penonton sekalian terima kasih sudah menikmati pertunjukanku meski hanya sampai di sini. Apalagi sejatinya sebuah pertunjukan adalah realitas kehidupan keseharian kalian sendiri. Kita semua adalah protagonis sekaligus antagonis bagi diri kita, bagi sesama kita, bagi alam semesta kita. Demikian sebuah kehendak bebas adalah anugerah terbesar Tuhan agar setiap orang merdeka menentukan pilihan hitam atau putih bahkan memilih tak punya pilihan sama sekali.
Lampu perlahan padam. Mendadak terdengar bunyi tembakan. Lampu menyala lagi. Di atas panggung tampak Hatler dengan senjatanya. Ia baru menembak Pak Tua. Dalam keadaan sekarat Pak Tua berusaha bicara.
Pak Tua:
Terima kasih. Kau telah benar-benar mengakhir pertunjukan ini dengan baik, dengan peran baru sebagaimana yang kau inginkan.
Pak Tua terkulai, lalu tak bergerak lagi. Pada saat yang sama muncul Serence dari dalam warung.
Serence:
(Marah ke Hatler)
Judas… Kau Judas…!
Hatler mengarahkan senjata ke Serence. Lampu mendadak padam. Terdengar bunyi tembakan.
Tamat. Desember 2022.
Discussion about this post